Hentikan politisasi isu pendidikan karakter di sekolah

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Jika mau mencari program kementerian yang umurnya sama dengan umur jabatan menterinya dan tetap hangat menjadi pembicaraan publik sejak awal sampai hari ini, maka kita harus melirik Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Tepatnya, kita harus menyebut program yang populer dikenal dengan sebutan program full day school (FDS).

Ide tentang FDS disampaikan oleh Muhadjir Effendy tak lama setelah ia dilantik menjadi Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, menggantikan Anies Baswedan. Muhadjir, yang dilantik 27 Juli 2016, menyampaikan ide FDS pada bulan Agustus 2016. Artinya, pada bulan Agustus 2017 ini umur ide FDS maupun jabatan yang diemban oleh Muhadjir sama-sama satu tahun.

Sejak pertama kali dilontarkan oleh Mendikbud Muhadjir, FDS sudah mengundang polemik di tengah masyarakat. Polemik itu belum reda; bahkan sekarang cenderung meruncing ke arah gesekan politik.

Pada awal melontarkan gagasan itu, Mendikbud Muhadjir menyatakan bahwa FDS ditujukan untuk siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Dengan FDS, para siswa bersekolah dari Senin sampai Jumat saja namun akan pulang sekolah lebih sore, yakni pukul 17.00 WIB.

Dengan waktu di sekolah yang lebih panjang itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding dengan pendidikan yang terkait dengan penambahan pengetahuan. Selain itu, menurut Muhadjir, dengan waktu pulang yang sama dengan waktu kerja orangtuanya, siswa tidak akan berada dalam waktu tanpa pengawasan. Hal itu akan mempersempit peluang negatif bagi para siswa.

Tak perlu menunggu lama, gagasan itu langsung mengundang berbagai reaksi dari banyak pihak. Petisi online yang menolak gagasan FDS itu muncul di Internet. Kebanyakan pengamat pendidikan anak memberikan penekanan agar gagasan FDS tidak serta merta dilaksanakan tanpa kajian dan persiapan yang matang. Senada dengan itu, sejumlah kepala daerah juga mengingatkan bahwa gagasan FDS perlu dikaji lebih baik karena tampaknya tidak semua daerah mampu memberlakukannya.

Kekhawatiran, bahwa FDS mengancam keberadaan madrasah diniyah (Madin) yang lebih dikenal dengan sebutan sekolah agama, juga sudah muncul sejak awal awal polemik FDS. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj menyebut FDS merugikan Madin di pelosok pedesaan. Berdasarkan sejumlah pertimbangan, Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama, yang merupakan departementasi bidang pendidikan di Nahdlatul Ulama, juga menolak penerapan FDS.

Seperti lumrahnya sebuah polemik, selain diwarnai kritik dan penolakan, gagasan tentang FDS juga memperoleh dukungan. Di tengah polemik itu, Mendikbud Muhadjir tetap berkeyakinan bahwa FDS merupakan cara untuk mendongkrak sistem pendidikan kita yang masih rendah.

Dukungan Presiden Joko Widodo atas gagasan Mendikbud Muhadjir akhirnya memperjelas bahwa FDS akan menjadi program pemerintah. Dukungan itu tampak dalam pidato Presiden Joko Widodo dalam acara Peringatan 90 Tahun Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor pertengahan September 2016.

Dukungan Presiden atas FDS itu terkait dengan kebutuhan akan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan kita. Dalam kesempatan itu Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa konsep FDS masih akan dicoba di beberapa provinsi saja.

Dalam kesempatan lain Mendikbud Muhadjir menyatakan bahwa pemerintah sudah menyiapkan 500 sekolah yang akan menjadi percontohan penerapan program FDS. Berbeda dengan gagasan awalnya, 500 sekolah itu bukan cuma SD dan SLTP; namun juga SLTA.

Secara resmi, Kemendikbud tidak pernah memakai istilah full day school untuk program tersebut. Nama resmi program tersebut adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), sesuai dengan tujuan utama gagasan tersebut.

Memasuki tahun 2017, pemerintah tampak menyasarkan program PPK ke dua arah. Pertama, mengimplementasikan program Nawacita dalam bidang pendidikan, yaitu mengembangkan pendidikan karakter. Kedua, menyelesaikan persoalan pemenuhan beban kerja guru.

Isu pemenuhan beban kerja guru tersebut terkait dengan upaya untuk menyamakan waktu kerja guru dengan aparat sipil negara lainnya. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2017 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Kewajiban tatap muka minimal 24 jam per pekan bagi guru yang selama ini berlaku, berubah menjadi kewajiban berada di sekolah selama delapan jam sehari atau minimal 37,5 jam sepekan.

Suara penentang program PPK atau FDS itu semakin terdengar lantang menjelang awal tahun ajaran baru. Isunya semakin menyempit: mempertentangkan FDS dengan Madin.

Yang sungguh memprihatinkan, polemik perihal sistem pendidikan ini semakin hari seperti mengerucut ke ranah politik. Partai Kebangkitan Bangsa, yang basis konstituennya adalah warga NU, mengancam akan menarik dukungannya terhadap Presiden Joko Widodo jika program FDS itu dipertahankan. Merespon hal itu, Partai Amanat Nasional -yang sering dikaitkan sebagai representasi Muhammadiyah dalam kancah politik sekarang- menyatakan mendukung program PPK sebagai program pemerintah.

Dengan melihat latar belakang Mendikbud Muhadjir yang berasal dari Muhammadiyah dan para penentang keras FDS yang berlatar belakang NU, tak terhindarkan, polemik perihal FDS atau PPK itu saat ini lebih memberi gambar pertarungan dua ormas Islam besar: NU dan Muhammadiyah.

Kita sangat menyesalkan hal tersebut. Bagaimana pun kedua ormas besar Islam itu adalah aset bangsa yang sangat berharga, yang patut kita jaga bersama. Keduanya adalah organisasi pendukung republik ini. Sangatlah tidak menguntungkan untuk menghadap-hadapkan keduanya dalam suasana yang keruh.

Kita berharap semua pihak menahan diri agar tidak ada peluang bagi pihak ketiga yang akan makin memperunyam situasi -yang bisa merugikan kita sebagai sebuah bangsa. Secara bersama-sama kita perlu mengembalikan polemik tentang FDS atau PPK itu kembali ke ranah pendidikan; bukan menjadi urusan di luar itu.

Lagi pula, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang sekolah lima hari akan diganti dengan Peraturan Presiden tentang Penguatan Karakter. Presiden Joko Widodo sudah memastikan, dalam Perpres tersebut tidak ada keharusan sekolah untuk mengikuti kebijakan full day school atau delapan jam sehari.

Sebaiknya kita memfokuskan diri untuk memenuhi kebutuhan pendidikan karakter bagi siswa-siswa kita. Jika masih ada perbedaan pendapat dalam memilih format, bentuk dan metodanya, maka seharusnya kita menyelesaikan dalam konteks pendidikan.

Politisasi atas isu tersebut justru akan semakin menjauhkan kita dari cita-cita mengembangkan generasi yang berkarakter baik.

 

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/hentikan-politisasi-isu-pendidikan-karakter-di-sekolah

Kontak