Politik pengunduran diri para jenderal

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Politisi seharusnya bukanlah sejenis profesi, yang menjadi tempat untuk bekerja sesuai aturan di bidangnya untuk memperoleh ganjaran ekonomi. Politisi semestinya lebih merupakan posisi sosial untuk mengabdi di bidang politik.

Itu tentu dengan asumsi bahwa politik, seperti juga bidang lain, bisa menjadi tempat orang mengabdikan dirinya. Terjun ke bidang politik semestinya merupakan tekad untuk terlibat dalam mengelola kekuasaan dalam sebuah masyarakat manusia demi menuju arah ideal kehidupan bersama.

Orientasi kerja politik yang ideal semacam itu tentu menuntut komitmen yang kuat dari mereka yang memang berniat terjun ke bidang politik. Tantangan dan godaan di dunia politik sangat mudah membuat orang terpeleset menjadi hina dan merendahkan martabat politik itu sendiri.

Sebagai bidang pengabdian, dunia politik terbuka bagi siapa saja. Karena berurusan dengan pengelolaan kekuasaan, tentu ada syarat tertentu agar ada fairness bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), salah satu cerminan fairness itu terdapat dalam syarat calon kepala daerah. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mensyaratkan mereka, yang sedang berada dalam posisi sosial politik tertentu, untuk terlebih dahulu mengundurkan diri dari posisi tersebut.

Tentara dan polisi adalah pihak yang termasuk harus memenuhi syarat itu jika berniat mengikuti Pilkada. Hal itu tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 huruf t undang-undang tersebut.

Dalam Pilkada 2018 tercatat ada beberapa nama yang berlatar belakang tentara dan polisi, yang disebut-sebut menjadi bakal calon. Yaitu Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Inspektur Jenderal Polisi Safaruddin, Inspektur Jenderal Polisi Murad Ismail, dan Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan.

Sejak pertengahan tahun 2017 lalu, saat masih menjabat sebagai Pangkostrad, Letjen Edy Rahmayadi sudah menyampaikan niatnya untuk terjun ke dunia politik sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara. Edy menyatakan kesiapannya untuk mengundurkan diri dari jabatan yang sedang ia emban saat itu.

Pengunduran diri Letjen Edy Rahmayadi disetujui pada awal Desember 2017 oleh Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Namun Panglima TNI yang baru, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto membatalkan mutasi yang dilakukan oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, yang berimplikasi kepada kembalinya Letjen Edy Rahmayadi dalam jabatan sebagai Pangkostrad.

Namun Letjen Edy Rahmayadi bersikeras dengan niatnya untuk mundur dari TNI agar bisa mengikuti Pilkada sebagai salah satu calon kepala daerah. Awal Januari 2018 ini pengunduran diri tersebut dipastikan telah disetujui oleh Panglima TNI. Dalam waktu dekat ini Edy Rahmayadi menjadi warga sipil.

Berbeda dengan Edy, tiga jenderal dari kepolisian yang sudah menyatakan niatnya untuk terjun ke dunia politik sebagai bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 sampai hari ini masih berposisi sebagai jenderal aktif.

Terkait dengan niat untuk berpolitik itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah memutasi ketiga jenderal tersebut. Namun sampai Rabu (10/1/2018) ini ketiga jenderal polisi itu belum mengundurkan diri.

Undang-undang Pilkada memang mensyaratkan pengunduran diri itu harus dinyatakan secara tertulis "sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan". Itu artinya, calon peserta Pilkada yang berlatarbelakang tentara dan polisi boleh mengundurkan diri pada menit-menit terakhir waktu penetapan pasangan calon peserta Pilkada.

Secara hukum, memilih waktu yang mepet untuk mengundurkan diri seperti yang dilakukan oleh ketiga jenderal polisi itu tidak dilarang. Tak ada pelanggaran hukum atas sikap tersebut. Meski begitu, sikap menunda-nunda pengunduran diri sampai batas akhir penetapan calon peserta Pilkada seperti itu mengundang sejumlah pertanyaan.

Berbeda dengan Letjen Edy Rahmayadi yang mengajukan pengunduran diri sejak beberapa bulan lalu, pilihan tiga jenderal polisi untuk tidak segera mengundurkan diri akan mengundang pertanyaan dari publik: apakah motif terbesar untuk ikut menjadi peserta Pilkada? Benarkah untuk pengabdian?

Berencana mengundurkan diri setelah jelas ditetapkan sebagai calon peserta itu seperti sikap seorang yang tidak mau kehilangan pekerjaan di tempat lama sebelum ada kejelasan mendapat pekerjaan di tempat baru. Hal itu memang manusiawi, namun bisa memancing kesangsian publik kepada niat mengabdi di bidang politik.

Ketika seseorang secara terbuka telah menyatakan tekadnya untuk terjun ke dunia politik, sejak saat itu ia telah terlibat dengan tindakan politik praktis. Wajar jika kemudian sejak saat itu juga publik mempertanyakan netralitasnya sebagai tentara atau polisi.

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan mustahil akan memicu spekulasi tentang penggunaan wewenang jabatan yang masih dipegangnya saat menyatakan niat terjun berpolitik. Spekulasi itu hanya akan menghasilkan kegaduhan yang sebetulnya tak perlu terjadi.

Pilkada 2018 ini bisa menjadi pelajaran untuk pemilihan-pemilihan pada masa depan. Akan lebih bijak jika pengunduran diri dari tentara dan polisi, yang ingin terjun berpolitik, diberi ketentuan untuk dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa pemilihan.

Bagi tentara dan polisi yang berminat terjun ke dunia politik, pengunduran diri jauh-jauh hari dari dinasnya itu justru memberi kesempatan yang lebih baik kepada dirinya sendiri untuk mengakar sebagai politisi di tengah konstituennya. Pada saat yang sama hal itu akan lebih meyakinkan kepada masyarakat atas pilihannya untuk mengabdi di bidang politik.

Sikap ksatria seperti itu adalah pendidikan politik yang baik bagi masyarakat; dan bahkan bisa menjadi teladan bagi siapapun yang bermaksud untuk mengabdi di dunia politik.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/politik-pengunduran-diri-para-jenderal

Kontak