Pemberantasan korupsi tak bisa dilakukan setengah hati. Energi dan kecerdasan harus diberikan secara penuh untuk menanganinya. Termasuk di dalamnya kesiapan untuk menghadapi upaya menentang dan menghalangi pengungkapan kasus-kasus korupsi.
Itu sebabnya publik sangat gembira ketika Agus Rahardjo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sempat menyampaikan pesan tegas agar jangan menghalangi langkah KPK dalam mengungkap korupsi. Pesan itu disampaikan Agus, awal 2017 lalu, saat publik juga merasakan ada upaya untuk menghambat pengungkapan kasus korupsi e-KTP
Pesan tegas itu bukan semata-mata permintaan--melainkan mewakili ketegasan lembaga KPK dalam menghadapi upaya untuk merintangi proses hukum kasus korupsi. Publik teryakinkan dengan hal itu ketika KPK menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang diduga menghalangi penyidikan dan penuntutan KPK.
Terkait kasus korupsi e-KTP, Markus Nari adalah orang pertama yang menjadi tersangka yang diduga--seperti disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah Juni 2017--"dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dan penuntutan di pengadilan."
Markus Nari diduga telah memengaruhi dua terdakwa kasus korupsi e-KTP, Irman dan Sugiharto, dan memengaruhi Miryam S. Haryani agar tidak memberikan keterangan yang benar saat bersaksi di pengadilan. Proses hukum atas kasus ini masih bergulir.
Dua orang lain yang juga diduga merintangi proses hukum kasus korupsi e-KTP adalah Fredrich Yunadi, dan dr Bimanesh Sutarjo. Fredrich Yunadi adalah mantan pengacara Setya Novanto, salah satu terdakwa dalam kasus korupsi e-KTP.
Sedangkan Bimanesh Sutarjo adalah dokter yang merawat Setya Novanto. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari lalu.
Gelagat KPK akan menetapkan tersangka dalam kasus obstruction of justice (perintangan upaya penegakan hukum) sudah tercium beberapa waktu setelah Setya Novanto disebut-sebut mengalami kecelakaan pasca-KPK menerbitkan DPO bagi mantan Ketua DPR itu.
KPK menyatakan telah mempunyai bukti cukup yang menunjukkan keduanya dengan sengaja mencegah, merintangi, menggagalkan secara langsung atau tidak langsung kasus Setya Novanto.
Obstruction of justice yang diduga telah dilakukan kedua tersangka itu terkait dengan sejumlah kejanggalan yang terlihat dalam kecelakaan mobil yang dialami oleh Setya Novanto pada November 2017.
Pada 15 November 2017 Setya Novanto tidak hadir untuk diperiksa sebagai tersangka. Ia seperti menghilang.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu juga tak ditemukan di rumahnya ketika tim KPK menyambanginya pada malam hari. Setya Novanto diimbau untuk menyerahkan diri.
Keesokan harinya KPK menerbit DPO sehingga Setya Novanto menjadi buronan. Pada malam harinya kendaraan yang ditumpangi Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan, menabrak tiang lampu jalan. Tersangka yang pernah memenangkan praperadilan itu dibawa ke RS Medika Permata Hijau.
Fredrich Yunadi, dan dr Bimanesh Sutarjo, seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, diduga bekerja sama memasukkan Novanto ke rumah sakit tersebut agar dirawat inap dengan data medis yang dimanipulasi untuk menghindari panggilan penyidik KPK.
Berbeda dengan tindakan medis yang lazim, dari tempat kecelakaan Novanto tidak dibawa ke IGD rumah sakit tersebut, melainkan ke ruang VIP yang diduga telah disiapkan terlebih dahulu berkat koordinasi antara Fredrich Yunadi, dan dr Bimanesh Sutarjo.
Kedua tersangka itu telah ditahan. Proses hukum atas keduanya sedang terus berjalan.
Bagi publik, proses peradilan atas kasus obstruction of justice tersebut sangat penting. Bagaimanapun kasus korupsi e-KTP ini merupakan kasus besar, melibatkan uang yang digarong dalam jumlah sangat besar, dan menyebut-nyebut nama besar di negeri ini.
Dalam prosesnya selama ini, publik merasakan ada upaya perlawanan atas upaya KPK dalam mengungkapkan secara lebih gamblang kasus tersebut. Upaya penentangan itu, bagi publik, adalah aksi terbuka ketidakpatuhan elite negeri ini terhadap hukum.
Publik semakin merasakan hal tersebut terutama sejak Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka. Sebagai tersangka, Setya Novanto tentu berhak untuk melakukan perlawanan hukum dengan cara. Namun, bagi publik, respons Setya Novanto atas proses hukumnya terasa mengada-ada.
Ia menghindar dari pemeriksaan dengan dalih sakit. Dan, bagi publik, puncak dramanya terjadi ketika Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kepalanya benjol sebesar bakpao. Pihak terdepan dengan narasi-narasi dramatis dalam kasus Novanto adalah pengacaranya saat itu: Fredrich Yunadi.
Itu semua menyulut banyak spekulasi di publik. Publik tak bisa merespons lain narasi-narasi itu terkecuali hanya dengan sisnisme dan satire di media sosial, yang berisiko dituntut pula oleh pengacara Novanto.
Proses peradilan kasus obstruction of justice yang disangkakan kepada pengacara dan dokter tersebut diharapkan bisa memperlihatkan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi.
Apapun keputusan pengadilan atas kasus ini nantinya, proses peradilan kasus obstruction of justice merupakan bentuk ketegasan negara dalam melawan siapapun yang merintangi upaya menegakkan hukum dan keadilan. Ketegasan itu harus ada untuk meyakinkan semua warga negara bahwa tak ada seorang pun boleh mencurangi hukum.
Dalam setiap proses hukum yang dilaluinya, setiap warga negara berhak diperlakukan secara adil dan melakukan perlawanan hukum dengan jalan yang tidak melawan hukum. Namun tak seorang warga negara pun boleh mencegah, merintangi, dan menggagalkan proses hukum yang sedang dilakukan untuk menegakkan keadilan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/tak-seorang-pun-boleh-merintangi-proses-peradilan