Reshuffle kabinet jilid 3 akhirnya terjadi juga. Presiden Joko Widodo pada Rabu (17/1/2018) melantik anggota Kabinet Kerja dan Kepala Staf Angkatan Udara yang baru di Istana Negara Jakarta.
Keempat orang yang dilantik pada hari itu antara lain Agum Gumelar menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Idrus Marham menjadi Menteri Sosial -menggantikan Khofifah Indar Parawansa, Moeldoko menjadi Kepala Staf Kepresidenan -menggantikan Teten Masduki, dan Marsekal Madya TNI Yuyu Sutisna menjadi Kepala Staf Angkatan Udara.
Seperti diduga banyak orang, reshuffle kabinet berikutnya akan berlangsung menjelang Pilkada 2018. Dugaan itu merebak sejak Khofifah Indar Parawansa -Menteri Sosial saat itu- memberikan gelagat berminat untuk ikut dalam pemilihan gubernur (Pilgub) di Jawa Timur.
Namun spekulasi tentang reshuffle kabinet jilid 3 itu sudah terdengar sejak Januari 2017. Isu reshuffle saat itu dihubungkan dengan kinerja sejumlah menteri dan situasi politik yang menghangat bersamaan dengan Pilgub DKI Jakarta 2017.
Spekulasi reshuffle pada Januari tahun lalu itu diwarnai dengan isu akan masuknya menteri yang mewakili Partai Gerindra dan PKS -yang bukan partai pendukung pemerintah. Namun Presiden Joko Widodo saat itu membantah akan melakukan reshuffle dalam waktu dekat.
Saat membuka Kongres Ekonomi Umat pada April 2017 Presiden Joko Widodo menyatakan bisa mengganti menteri yang tak bisa menyelesaikan target. Pernyataan itu dianggap sebagai sinyal bakal ada evaluasi atas kinerja menteri di Kabinet Kerja yang akan berujung pada reshuffle.
Spekulasi itu tak terbukti. Presiden Joko Widodo menyatakan, evaluasi yang dilakukan atas menteri-menterinya memperlihatkan hasil "baik-baik saja".
Dua bulan kemudian, isu reshuffle merebak lagi. Kabar burung yang beredar menyebutkan perombakan kabinet akan berlangsung setelah Lebaran. Rencana perombakan kabinet itu disebut-sebut terkait dengan 3 hal.
Pertama, dikaitkan dengan evaluasi target capaian 3 tahun Kabinet Kerja. Kedua, dihubungkan dengan Partai Amanat Nasional -sebagai salah satu partai pendukung pemerintah- yang tidak ikut mendukung penerbitan Perppu tentang Ormas. Ketiga, dihubungkan dengan konsolidasi kekuatan pendukung Joko Widodo menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Sehabis Lebaran, ternyata, tak ada perombakan kabinet. Begitu juga pada bulan Agustus 2017, meski isu reshuffle kembali merebak.
Nama Idrus Marham dan Moeldoko muncul sebagai nama yang disebut-sebut akan masuk ke kabinet saat itu. Namun Presiden Joko Widodo tak merombak kabinetnya. Wacana reshuffle kemudian mereda sampai akhir tahun, bersamaan dengan spekulasi bahwa perombakan kabinet akan berlangsung menjelang penetapan pasangan calon peserta Pilkada 2018.
Sepanjang tahun 2017 isu perombakan kabinet hampir tak lepas dengan isu evaluasi kinerja para menteri. Publik tahu, menteri adalah jabatan politik. Meskipun begitu, publik juga tahu, para menteri adalah mereka yang bertugas membantu untuk mewujudkan target-target kerja sesuai dengan visi politik presiden.
Dengan begitu, bagi publik, perombakan kabinet menjadi terasa penting hanya jika menjadi jalan untuk mewujudkan target-target kerja yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Bukan di luar hal itu.
Sayangnya, perombakan kali ini tidak meyakinkan untuk disebut sebagai upaya Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kinerja kabinetnya.
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa pada tahun keempat pemerintahannya, bidang sumber daya manusia akan menjadi fokus kerja timnya. Harus diakui, selama 3 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya pembangunan manusia tidaklah terlihat optimal.
Kinerja para pembantu presiden yang bertanggung jawab atas pembangunan manusia kurang memuaskan. Revolusi mental, misal, tak terlihat jejak upaya perwujudannya -sebagai bentuk pembangunan karakter manusia Indonesia. Bidang pendidikan dan kesehatan pun masih menyisakan begitu banyak masalah.
Dan publik tidak melihat perombakan kabinet kali ini akan memperbaiki kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo pada bidang-bidang tersebut.
Tidaklah berlebihan jika muncul anggapan di tengah masyarakat bahwa perombakan kabinet kali ini lebih terlihat sebagai persiapan Joko Widodo menyongsong Pilpres 2019 yang akan dia ikuti. Persepsi itu muncul berdasarkan gambaran yang terlihat dari reshuffle tersebut.
Mempertahankan Airlangga Hartarto -yang sudah menjadi Ketua Umum Partai Golkar- sebagai menteri, sambil memasukkan Idrus Marham -Sekjen Partai Golkar- ke dalam kabinet, adalah indikasi kuat bahwa reshuffle kali ini lebih berdimensi konsolidasi politik.
Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mempertahankan keberadaan batas ambang pencalonan presiden, posisi politik Parpol yang memperoleh kursi banyak dalam Pemilu 2014 semakin penting untuk Pilpres 2019. Partai Golkar adalah salah satunya. Sangatlah masuk akal jika Joko Widodo memerlukan dukungannya.
Selain dipandang oleh banyak pihak lebih mumpuni ketimbang Teten Masduki dalam membangun komunikasi dan konsolidasi politik di antara para pendukung Joko Widodo, keberadaan mantan Panglima TNI Moeldoko di tengah kabinet menjadi sinyal kesiapan Joko Widodo dalam merangkul keluarga dan purnawirawan TNI.
Sebagai warga negara yang berminat ikut dalam Pilpres 2019, Joko Widodo tentu berhak mempersiapkan diri dan tim pemenangannya. Namun rakyat pasti berharap, di tengah persiapan-persiapannya menuju Pilpres 2019, perombakan kabinet tersebut tidak berujung kepada konsolidasi politik semata.
Konsolidasi politik untuk kepentingan Pilpres 2019 bukanlah bagian dari kepedulian rakyat atas perombakan kabinet. Yang terpenting, bagi rakyat, Presiden Joko Widodo harus membuktikan janjinya bahwa pemerintahannya masih fokus ke pembangunan manusia dalam sisa masa pemerintahannya yang semakin mepet menuju Pilpres 2019.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/perombakan-kabinet-menuju-pilpres-2019