Evaluasi capaian 100 hari pertama seorang yang memenangkan pemilihan sudah menjadi kebiasaan di dunia politik. Kebiasaan itu sebetulnya lebih merujuk kepada sejarah politik Amerika Serikat ketika Franklin D. Roosevelt menerapkan putaran pertama prakarsa New Deal yang diarahkan untuk "me-restart" negara secara ekonomi selama era Great Depression.
Di luar kaitannya dengan sejarah itu, masa 100 hari pertama bagi pemenang pemilihan -baik itu bupati, wali kota, gubernur, atau presiden- adalah masa penuh tantangan kerja. Dalam 100 hari pertama itu publik bisa melihat kemampuan kepemimpinan baru memadukan dan menggerakkan orang-orang dari timnya bersama banyak orang lama yang sudah ada terlebih dahulu di birokrasi.
Meski bukan sebuah evaluasi yang sesungguhnya atas kinerja kepala pemerintahan, dari sejumlah langkah 100 hari pertama itulah publik bisa meraba kualitas kepemimpinan dan arah yang diambil dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Hari-hari ini publik menyoroti 100 hari pertama kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno di Provinsi DKI Jakarta. Anies dan Sandi tampak sudah siap untuk membeberkan langkah yang sudah diambilnya dalam 100 hari pertama pemerintahan mereka.
Lewat video pendek di akun Instagramnya, Anies membeberkan 29 langkah yang telah dilakukan oleh dia dan Sandi untuk warga Jakarta. Dari daftar langkah-langkah yang dibeberkan tersebut, sangat tampak bahwa pasangan Anis - Sandi ingin menunjukkan kemampuannya untuk memenuhi janji-janjinya selama masa pemilihan yang lalu dalam tempo singkat.
Publik punya catatan sendiri atas 100 hari kerja gubernurnya. Itu tercermin dari pemberitaan yang muncul di media massa, yang membandingkan janji selama kampanye dengan pelaksanaannya.
Program OK OCE (One Kecamatan, One Centre for Entrepreneurship) menjanjikan, seperti terlihat di spanduk masa kampanye, "Dimodalin punya bisnis! Disediain tempat usaha! Dicariin Pembeli!". Pada praktiknya sekarang, tidak sungguh-sungguh "dimodalin". Pemerintah provinsi DKI Jakarta hanya membantu para wirausahawan untuk mengajukan pinjaman modal ke bank atau lembaga lain.
Selain itu, semula program OK OCE dijanjikan tak akan menggunakan dana dari APBD. Dalam rumusannya sekarang, program tersebut dianggarkan dalam APBD sebesar Rp82 miliar.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, Anies-Sandi pernah menjanjikan rumah tapak dengan program DP 0 rupiah. Namun rupanya, penyediaan hunian berupa rumah tapak tak bisa dipenuhi. Untuk mewujudkan program rumah DP 0 rupiah itu pada pertengahan Januari lalu Anies melakukan groundbreaking rusun sederhana milik (rusunami) di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Hunian itu diperuntukkan bagi warga Jakarta yang berpenghasilan maksimal Rp7 juta. Namun hampir bisa dipastikan, dengan harga dan skema pembayarannya, mereka yang bergaji UMP tak akan bisa menjangkaunya.
Publik juga menyoroti langkah Anies-Sandi dalam upaya menunaikan janjinya untuk menata kawasan Tanah Abang. Saat ini salah satu ruas jalan Jatibaru di kawasan Tanah Abang ditutup agar pedagang kaki lima bisa bebas berjualan di tengah jalan tersebut.
Penutupan itu membuat kawasan Tanah Abang menjadi lebih semerawut. Hal itu juga menyulut pemogokan pengemudi angkutan kota, yang merasa penghasilannya berkurang akibat penutupan jalan tersebut.
Dalam beberapa contoh tersebut, Jakarta saat ini bisalah dianggap mewakili aroma bagaimana politik populisme bekerja. Populisme, di dalam politik, menyandarkan diri pada pertentangan antara mereka yang disebut-sebut sebagai "rakyat" atau "mayoritas" yang merasa diabaikan dengan kelompok elit yang mengabaikannya.
Dalam populisme, batasan "rakyat" dan "mayoritas" pun sebetulnya tak benar-benar jelas; tidak selalu merujuk kepada seluruh populasi. Bagi mereka yang memegang pendekatan populisme dalam politik, "mayoritas' bisa saja sebetulnya tak lebih dari merujuk kepada kelompok sosial, etnis, atau ras tertentu yang dianggap "asli" atau "sejati".
Langkah mengatasnamakan "rakyat" atau "mayoritas" itu masih sangatlah sumir. Namun, meskipun sumir, hal tersebut sering dijadikan bahan retorika yang bersifat menekan.
Rezim populisme biasanya mengejar kebijakan yang bersifat jangka pendek -atau bahkan tidak realistis untuk diwujudkan. Hal itu terjadi karena rezim populisme lebih mengedepankan pemuasan emosional -dengan atas nama keberpihakan- kepada mereka yang merasa diabaikan; ketimbang bersandar kepada visi dan perencanaan yang masuk akal dan matang demi kepentingan bersama.
Itulah sebabnya sangat bisa dipahami pada umumnya janji-janji dalam pendekatan populisme sebetulnya tidak terlalu realistis untuk diwujudkan. Jika ingin memaksakan diri untuk mewujudkannya, tak jarang harus melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh peraturan dan hukum.
Penutupan jalan di kawasan Tanah Abang itu, misal, dianggap melanggar Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006. Rencana untuk memperbolehkan kembali becak beroperasi sebagai alat transportasi juga berpotensi melanggar Perda Nomor 5 tahun 2014 tentang moda transportasi dan Perda Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketertiban.
Kebijakan pembukaan kawasan Monas untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak massa juga dipandang bersinggungan dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di wilayah DKI Jakarta dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2004.
Memang salah satu hal yang dianggap kecenderungan dari politik populisme adalah menerobos supremasi hukum. Publik patut mengkritisi kecenderungan tersebut.
Di tahun-tahun politik ini, pengalaman Jakarta tersebut bisa menjadi pelajaran penting bagi publik. Politik populisme memang sering tampak menggiurkan, namun publik harus tetap bersikap kritis dan realistis.
Di luar itu semua, kita tentu masih boleh berharap, setelah lewat 100 hari pertamanya, Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno akan menempuh langkah-langkah yang lebih memuliakan warga daerahnya.
Selamat bekerja, Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/aroma-populisme-di-jakarta