Sensitivitas pemerintah dan netralitas di Pilkada 2018

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017 lalu pemerintah melantik satu orang berlatar belakang tentara dan satu orang berlatar belakang polisi sebagai pelaksana tugas gubernur di dua provinsi yang berbeda.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo melantik Mayjen TNI Purn Soedarmo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh pada akhir Oktober 2016. Pelantikan itu dilakukan karena gubernur definitif Aceh saat itu, dr Zaini Abdullah, mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh dalam Pilkada 2017 sehingga harus menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Dua bulan kemudian, pada akhir Desember 2016, Mendagri melantik Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Plt Gubernur Sulawesi Barat. Pelantikan itu terkait dengan berakhirnya masa jabatan Anwar Adnan Saleh sebagai Gubernur Sulawesi barat, sementara gubernur definitif masih harus melalui Pilkada serentak 2017.

Tidak ada kegaduhan apapun atas pelantikan kedua Plt gubernur yang berlatar belakang militer dan polisi. Bahkan tak banyak pers memberitakan peristiwa pelantikan itu.

Beda halnya ketika Mendagri Tjahjo Kumolo berencana menunjuk dua perwira tinggi aktif kepolisian sebagai Plt gubernur sehubungan dengan Pilkada serentak 2018.

Tjahjo berencana menunjuk Irjen Pol Mochamad Iriawan, yang sekarang menjabat Asisten Kapolri bidang Operasi, menjadi Plt Gubernur Jawa Barat. Selain itu, Tjahjo juga berencana menempatkan Irjen Pol Martuani Sormin, yang sekarang menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, menjadi Plt Gubernur Sumatera Utara.

Rencana penunjukan kedua perwira tinggi aktif Polri itu, menurut Mendagri, didasarkan kepada pendekatan stabilitas dan gelagat kerawanan. Selain itu, Mendagri mengakui keterbatasan jumlah pejabat eselon I di kementerian yang dipimpinnya, jika semua Plt gubernur -terkait Pilkada serentak 2018 ini- harus diambil dari Kementerian Dalam Negeri.

Ada 17 provinsi yang menjadi daerah pemilihan dalam Pilkada serentak kali ini. Di ketujuh belas provinsi itu, ada gubernur yang habis masa jabatannya. Ada juga yang kembali ikut mencalonkan diri dalam pemilihan.

Tjahjo juga meyakini, rencananya tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Ia menyebut Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan Permendagri nomor 1 tahun 2018 tentang cuti di luar tanggungan negara sebagai sandaran hukumnya.

Berbeda dengan senyapnya respons publik atas pelantikan Plt gubernur berlatar belakang militer dan polisi dalam Pilkada serentak 2017, rencana Mendagri kali ini bergelagat menimbulkan kegaduhan.

Sejumlah pihak mempertanyakan relevansi rencana itu dengan situasi keamanan. Bagaimanapun, seperti diketahui publik, keamanan adalah ranah kepolisian. Di tingkat provinsi, hal itu menjadi tanggung jawab Kepala Kepolisian Daerah, bukan gubernur.

Secara hukum, rencana itu bisa jadi juga menabrak ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Jabatan Plt gubernur mungkin memang lebih merupakan jabatan pelayanan publik ketimbang merupakan bentuk politik praktis yang dilarang oleh undang-undang tersebut.

Namun Pasal 28 ayat (3) undang-undang terebut menyatakan "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian." Ketentuan ini sudah sangat jelas, dan tidak mungkin multitafsir.

Selain itu juga bertentangan dengan Permendagri No.74 Tahun 2016. Pasal 4 ayat (2), peraturan ini berbunyi: Pelaksana Tugas Gubernur sebagaiman dimaksud ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah Provinsi.

Di luar potensi benturan dengan ketentuan Undang-undang Polri tadi, dengan rencana Mendagri itu, sungguh mengherankan bahwa pemerintah seperti kehilangan sensitivitas politiknya atas situasi politik 2018. Berbeda dengan Pilkada 2017, ada 3 jenderal polisi dan 1 jenderal TNI yang akan ikut bertarung dalam Pilkada 2018.

Dua di antara jenderal tersebut menjadi calon di daerah pemilihan yang masuk dalam rencana Mendagri tadi. Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan menjadi calon wakil gubernur di daerah pemilihan Jawa Barat. Sedangkan Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi menjadi calon gubernur di daerah pemilihan Sumatera Utara.

Menempatkan perwira tinggi aktif Polri di kedua daerah pemilihan tersebut sebagai Plt gubernur jelas akan mengundang kekhawatiran atas munculnya kecurangan atau setidaknya ketidaknetralan selama Pilkada. Benar bahwa sikap netral sejatinya tidak ditentukan oleh latarbelakang orang yang ditunjuk sebagai Plt gubernur.

Benar juga bahwa netralitas itu norma -sesuatu yang harus dilakukan; bukan kondisi yang pasti melekat kepada latar belakang atau asal usul seseorang. Namun pemerintah seharusnya sangat paham bahwa persepsi adalah hal penting dalam politik.

Menempatkan perwira tinggi aktif Polri sebagai Plt gubernur dalam Pilkada yang diikuti oleh calon berlatar belakang Polri jelas bisa memicu munculnya persepsi bahwa ada ketidaknetralan dalam Pilkada kali ini.

Rencana Mendagri tersebut memang belum menjadi keputusan. Presidenlah yang nantinya memberikan keputusan. Dan publik pasti berharap Presdien Joko Widodo mengambil keputusan yang lebih bijak dalam menjaga netralitas dalam Pilkada.

Di sisi lain, wacana ini mengingatkan kita bahwa tantangan besar bagi pemerintah sudah tampak untuk Pilkada Nasional 2024. Pada Pilkada 2018, dengan 17 provinsi menjadi daerah pemilihan, pemerintah mengaku kekurangan pejabat eselon I yang bisa ditunjuk sebagai Plt gubernur. Padahal pada Pilkada Nasional 2024 nanti, akan ada 33 provinsi yang menjadi daerah pemilihan.

Bagaimana situasi itu akan diantispasi oleh pemerintah? Pemerintah harus menyiapkan rencana yang baik sejak sekarang.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/sensitivitas-pemerintah-dan-netralitas-di-pilkada-2018

Kontak