Akhiri ironi kekurangan guru

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Kita sedang kekurangan guru. Jumlahnya cukup besar. Kita kekurangan 980 ribu orang guru. Angka yang tak jauh dari 1 juta.

Ada 4 provinsi, yang disebut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Nasional Mohammad Ridwan dalam siaran pers akhir Januari tahun 2017 lalu, menunjukkan rasio guru dan murid tertinggi. Artinya, daerah yang paling kekurangan guru. Keempat provinsi itu adalah Kalimantan Tengah, Maluku, Papua, dan Sulawesi Tengah.

Sedangkan provinsi yang menunjukkan rasio guru dan murid terendah, menurut Ridwan, adalah Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.

Hal itu mengindikasikan ada penyebaran guru yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Di daerah, terlebih di daerah 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal), kekurangan guru itu sangat nyata.

Namun hal itu tidak berarti bahwa kekurangan guru hanya terjadi di daerah 3 T itu saja. Bahkan di daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali pun kekurangan guru dapat dirasakan.

Di Kabupaten Buleleng, Bali, misal. Di kabupaten itu terdapat 54 SMP negeri dan 482 SD negeri. Sekolah-sekolah negeri itu, menurut Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng Gede Suyasa seperti disampaikan kepada nusabali.com, memerlukan 400 orang guru lagi untuk mencapai angka ideal.

Di Pulau Jawa, kekurangan guru juga terjadi. Di Semarang, misal.

Dewi Pramuningsih, Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Semarang, pada akhir November tahun lalu pernah mengungkapkan, 463 SD negeri di Kabupaten Semarang masih membutuhkan sekitar 1.200 guru. Pada sat yang sama, di 56 SMP negeri di kabupaten tersebut, juga masih kekurangan sekitar 150 guru.

Angka itu hanya sebatas Kabupaten Semarang saja. Pada tingkat provinsi, seperti pernah diungkapkan oleh Gubernur Ganjar Pranowo pada Desember tahun lalu, Jawa Tengah kekurangan sekitar 49.631 guru.

Kekurangan guru bahkan terjadi juga di daerah yang dinyatakan mempunyai rasio guru dan murid terendah. Kabupaten Indramayu, di Provinsi Jawa Barat yang digolongkan rasio guru dan murid terendah, kekurangan sekitar 5 ribu orang guru.

Begitu juga dengan DKI Jakarta. Pada September tahun lalu Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Agus Suradika menyatakan, DKI kekurangan sekitar 14 ribu guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengakui kekurangan guru di negeri kita. Salah satu penyebab yang disebutkan oleh Muhadjir adalah tidak adanya rekurtmen guru secara reguler sudah sejak cukup lama.

"Sudah sekitar tujuh tahun kita tidak membuka rekrutmen guru secara reguler sehingga saat ini kebutuhan guru menumpuk," katanya selepas mengikuti upacara Hari Guru Nasional tahun lalu.

Tidak adanya rekrutmen selama masa itu, dibarengi dengan gelombang pensiun para guru, membuat Indonesia benar-benar dalam kondisi kekurangan guru. Di beberapa daerah -terutama di daerah 3T- mutasi guru PNS yang tidak dibarengi oleh penggantian dengan guru baru mempertajam jurang penyebaran guru.

Sejumlah daerah mengatasi persoalan kekurangan guru itu dengan mempekerjakan guru tidak tetap -atau lebih dikenal dengan sebutan guru honorer. Namun, seperti di Buleleng, strategi itu tidak juga bisa menutupi jumlah guru yang dibutuhkan kabupaten tersebut.

Itu dari sisi kuantitas. Belum lagi dari sisi kualitas. Ada sejumlah problem terkait dengan kompetensi dan sertifikasi profesi pada guru honorer.

Pada 2018 ini pemerintah berencana membuka perekrutan guru di daerah untuk kategori Aparatur Sipil Negara (ASN) -dengan prioritas status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Banyak pihak mendorong pemerintah, dalam perekrutan itu nanti, untuk memprioritaskan mereka yang sudah menjadi menjadi guru honorer.

Jumlah guru honorer, seperti pernah disampaikan Mendikbud, yang berada di bawah kewenangan Kemendikbud mencapai 737 ribu orang. Sedangkan guru honorer yang berada di bawah kewenangan Kementerian Agama berjumlah 840 ribu guru.

Pemerintah memberi gelagat akan memprioritas guru honorer dalam perekrutan tersebut, namun tetap sesuai dengan peraturan; tidak dengan serta merta mengangkat guru honorer menjadi ASN. Hal ini tampaknya dilakukan untuk memastikan kualitas guru yang direkrut sesuai dengan standar kompetensi dan profesi.

Langkah itu perlu diapresiasi sebagai upaya untuk menjaga kualitas guru. Namun pemerintah seharusnya juga menyediakan strategi yang baik untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas para guru honorer. Langkah itu, selain memberikan peluang kepada mereka yang sudah mengabdi, sekaligus merupakan bentuk apresiasi atas kerja mereka selama ini.

Pada tahun 2016 tercatat 254.669 sarjana pendidikan. Pada tahun yang sama hanya ada 2.309 sarjana yang mengikuti pendidikan profesi guru. Dan sampai sekarang kita masih kekurangan guru. Ironi ini harus diakhiri.

Itu sebabnya pemerintah perlu menyiapkan strategi yang komprehensif terkait perubahan nilai atas pekerjaan guru. Kini guru tidak bisa hanya dilihat sebagai kerja pengabdian belaka. Bagaimanapun, sekarang, guru adalah sebuah profesi.

Sebagai sebuah profesi, disertai dengan pengembangan infrastruktur pendidikan yang harus lebih baik, kesejahteraan dan jenjang karier seorang guru haruslah jelas. Mengabaikan hal itu hanya akan menjauhkan minat kaum muda untuk berprofesi sebagai guru.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/akhiri-ironi-kekurangan-guru

Kontak