Siapapun yang melakukannya, pelacuran tetaplah hina di mata masyarakat kita karena diyakini bertentangan dengan banyak norma dalam kehidupan sosial. Karena derajat kehinaannya itu, semakin terpandang dan terkenal pelakunya, akan semakin menjadi sorotan dan cemoohan publik.
Ketika nama Vanessa Angel disebut-sebut terlibat dalam kasus pelacuran yang diekspos oleh kepolisian akhir pekan lalu, nama pesohor itu menjadi gunjingan dan olok-olokan publik. Padahal itu bukanlah kasus pelacuran yang dijajakan secara online pertama yang melibatkan nama pesohor.
Publik juga menggunjingkan dengan nada nyinyir dan sinis ihwal tingginya tarif layanan pelacuran yang dibongkar polisi itu –yang bisa mencapai Rp80 juta. Padahal itu pun bukan untuk pertama kali publik mendapati informasi tentang tingginya tarif pelacuran yang melibatkan pesohor.
Kehinaan pelacuran dan nama pesohor adalah kombinasi yang mudah menyulut kehebohan di tengah masyarakat. Dan seperti biasanya, dalam kasus semacam ini, hanya ada dua pihak yang menjadi sorotan: pesohor penjaja seks dan muncikarinya.
Sang penjaja seks menjadi objek sinisme publik karena dianggap sebagai pihak yang melanggar norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai salah satu pihak dalam praktik pelacuran, dalam banyak kasus hukum, penjaja seks tidak diperlakukan sebagai pelaku kejahatan. Mereka lebih sering diposisikan sebagai saksi korban.
Namun memang di sejumlah daerah terdapat peraturan daerah yang melarang orang menjadi pelacur. Mereka yang melanggarnya hanya, umumnya, dikenai sanksi denda yang ringan saja.
Berbeda dengan itu, selain dicibir, sang muncikari yang terjerat kasus prostitusi akan dihukum. Menjadi muncikari adalah melanggar normal susila sekaligus melanggar norma hukum yang berlaku di negara ini.
Ada dua pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bisa dikenakan kepada siapapun yang menjadi muncikari. Yaitu Pasal 296 dan Pasal 506.
Dalam kasus-kasus kejahatan prostitusi, ada satu pihak yang jarang sekali diekspos dan bahkan seolah hilang. Yaitu, sang pembeli layanan seks.
Tak seperti menimpa sang penjaja seks, sang pembeli layanan seks sering luput dari cemoohan publik –sebagai bentuk sanksi sosial. Kalaupun mendapatkannya, intensitas cemoohan yang diterima sang pembeli layanan seks tidaklah sekeras yang diarahkan kepada penjaja seks.
Dalam konteks prostitusi sebagai perdagangan seks, sang pembeli layanan seks pun tak bisa dijerat oleh hukum pidana. Sama seperti halnya sang penjaja seks.
Dalam hukum pidana yang berlaku saat ini, penjaja dan pembeli layanan seks hanya bisa dijerat dalam kasus perzinaan. Itu pun hanya jika salah satu di antara mereka berstatus sudah menikah dan diadukan oleh pasangan resminya.
Ini sungguh tidak adil. Pembeli layanan seks cenderung ‘lebih selamat’ ketimbang dua pihak lainnya: bisa lolos dari cemoohan dan tidak tidak terjerat hukum. Hukum pidana hanya menjerat muncikari saja. Padahal praktik prostitusi tidak mungkin terjadi jika tidak ada penjaja dan pembelinya.
Robby Abbas, terpidana dalam kasus pelacuran pesohor karena menjadi muncikari pada 2015, pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar bisa menjerat pembeli layanan seks ke ranah pidana. Namun MK menolak permohonan itu.
Menurut MK, persoalan yang diajukan dalam uji materi itu lebih bersifat menjadikan sebuah perbuatan yang sebelumnya tidak termasuk tindakan pidana menjadi perbuatan yang tergolong tindak pidana. Hal itu merupakan kebijakan pembuat undang-undang –yaitu DPR dan pemerintah.
Wacana yang kemudian mencuat untuk menjerat pembeli dan penjaja layanan seks justru ihwal perluasan pasal perzinaan. Dalam KUHP yang berlaku sekarang, pasal perzinaan hanya terkait perzinaan yang dilakukan oleh seseorang dengan orang yang terikat dalam perkawinan. Sempat terlontar untuk meluaskan pasal perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sama-sama tak terikat perkawinan.
Wacana itu hanya menyulut polemik lain: negara ikut campur dalam urusan privat warganya. Wacana itu sulit untuk mengerucut ke arah pemidanaan pelacuran tanpa membuka pintu yang lebar kepada negara untuk memasuki wilayah privat warganya.
Dalam konteks membentuk undang-undang untuk menjerat para pelaku prostitusi, mengapa pemerintah dan DPR tidak melihat pelacuran sebagai suatu eksploitasi perempuan?
Menganggap pelacuran sebagai sebuah pekerjaan adalah pandangan yang sama sekali tidak bisa diterima dari sisi hak asasi manusia. Dalam prostitusi, posisi pembeli seks sebetulnya membayar demi kuasa untuk mengeksploitasi perempuan. Tidaklah berlebihan jika pelacuran merupakan pemerkosaan yang berbayar.
Harus ada undang-undang yang bisa menghukum pemerkosa berbayar itu. Harus ada undang-undang yang mewajibkan negara untuk mencegah dan menyelamatkan para perempuan yang dibayar untuk diperkosa itu.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/siapkan-jerat-hukum-bagi-pemakai-jasa-pelacuran