Tak ada gunanya terus berkelit dari pengadilan HAM

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Langkah menuju penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tampaknya tak bisa terlalu diharapkan akan mampu bergegas. Pemerintah seolah berat untuk melangkah menuju ke arah penyelesaian itu. Kabar terbaru yang disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengonfirmasi anggapan itu.

Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu bagai permainan pingpong yang bergerak lamban. Hasil penyelidikan, yang sudah disetorkan cukup lama, dikembalikan lagi oleh penyidik. Kemudian disetorkan kembali oleh penyelidik. Bolak-balik.

Kamis (10/1/2019) kemarin komisioner Komnas HAM mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengembalikan 9 berkas perkara HAM pada November tahun lalu. Tujuh di antaranya sudah berada di Kejagung selama 4 tahun dengan “posisi substansi dan status hampir sama” seperti ketika dikembalikan pada November tahun lalu itu. Itu pertanda, tak ada kemajuan selama 4 tahun itu.

Sembilan berkas yang dikembalikan itu adalah berkas peristiwa 1965/ 1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari Lampung, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh, juga peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

Alasan pengembalian berkas itu sama dengan dalih yang diberikan sejak tahun 2002. Menurut Kejagung, berkas-berkas itu masih terlalu sumir untuk diajukan. Berkas itu dipandang tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil sehingga akan menyulitkan Kejagung dalam mengumpulkan bukti jika tetap dipaksakan untuk diterima.

Itu dalih lumrah dalam proses penanganan perkara. Namun jika dalih tersebut terus menerus dipakai untuk bolak-balik menolak berkas yang diajukan oleh Komnas HAM, publik berhak mempertanyakan kesungguhan Kejagung dalam melaksanakan kewajibannya.

Padahal, sesaat setelah menerima peserta Aksi Kamisan pada Mei tahun lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Perintah itu seolah tak digubris.

Jaksa Agung malah terlihat berdalih bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukanlah merupakan pekerjaan rumah pihaknya saja, melainkan pekerjaan rumah bersama.

Pada kesempatan lain Jaksa Agung juga meminta agar penuntasan kasus pelanggaran HAM tak dikaitkan dengan janji Presiden Joko Widodo pada masa Pemilihan Presiden 2014.

Pernyataan itu mengherankan. Betapapun, dalam kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo memang menjanjikan penyelesaian kasus HAM berat di masa lalu sehingga sangatlah wajar jika warga negara menagih janji itu.

Juga, dalam Undang-undang Nomor 26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kejagung didudukkan sebagai pihak penyidik. Sedangkan Komnas HAM merupakan penyelidik.

Penyerahan berkas dari Komnas HAM ke Kejagung merupakan bagian dari proses penyerahan hasil penyelidikan untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Jadi, dalam konteks keberlanjutan proses penegakan hukum perkara-perkara yang berkasnya sudah diserahkan oleh Komnas HAM, jelaslah bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM itu saat ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kejagung.

Bagi publik sangatlah mudah untuk mengendus gelagat bahwa negara bersikap ogah-ogahan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu lewat jalur yudisial –lewat peradilan.

Jaksa Agung berkali-kali menyampaikan bahwa pihaknya mempunyai kendala dalam mengumpulkan bukti dan fakta dari peristiwa di masa lalu. Pihaknya lebih memprioritaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU Pengadilan Hak Asasi Manusia disahkan pada tahun 2000.

Langkah untuk menghindarkan pendekatan yudisial dalam penyelesaian kasus HAM berat masa lalu juga terlihat dalam beberapa niatan yang dikemukakan oleh pemerintah. Gagasan mengenai Dewan Kerukunan Nasional (DKN) pernah dilontarkan oleh Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.

Pembentukan DKN itu diproyeksikan sebagai jalan penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara non-yudisial. Menurut Wiranto, DKN akan bekerja sesuai dengan budaya Indonesia yang mengedepankan penyelesaian musyawarah mufakat ketimbang pengadilan.

Namun tak pernah jelas bagaimana kerja DKN tersebut dalam konteks penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Yang sangat kentara dari gagasan itu adalah niatan untuk menghindarkan diri dari pengadilan HAM.

Itu juga terlihat dari rencana pemerintah untuk membentuk tim gabungan terpadu untuk mengusut kasus HAM di masa lalu itu. Gagasan ini sama sekali tidak sesuai dengan UU Pengadilan HAM, dan sungguh jelas merupakan upaya untuk menghindarkannya.

Dalam acara peringatan Hari HAM Sedunia pada Desember tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam penegakan HAM yang belum diselesaikan pemerintah.

Kesadaran itu seharusnya disusul dengan langkah yang tegas dan jelas untuk segera menyelesaikan berdasarkan amanat undang-undang. Bersikap ogah-ogahan dan terus berkelit dari kewajiban konstitusional untuk melaksanakan UU Pengadilan HAM tak akan membuat rakyat lupa kepada kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu itu.

Sebaliknya, terus menunda-nunda dan menghindarkan penegakkan hukum, akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat akibat tak adanya kepastian hukum.

Penyelesaian kasus-kasus HAM berat di masa lalu bukanlah sekadar memenuhi janji kampanye Pemilihan Presiden, melainkan memberikan kepastian hukum dan mencegah kekejaman serupa terjadi di masa depan.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/tak-ada-gunanya-terus-berkelit-dari-pengadilan-ham

Jaringan

Kontak