Pajak e-commerce tak perlu tergesa-gesa

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Pertumbuhan e-commerce di Indonesia terbilang tinggi –bahkan sering dianggap tertinggi di dunia. Pada saat yang sama, perdagangan online itu belum terjamah pajak.

Pemerintah sudah sejak beberapa waktu menilik untuk segera menerapkan pajak dalam e-commerce. Baru pada bulan ini pemerintah membuat peraturan terkait pajak e-commerce. Tepatkah pemberlakuan pajak dalam perdagangan online dilakukan saat ini?

Keinginan pemerintah untuk menerapkan pajak dalam perdagangan online itu sebetulnya sudah mencuat sejak bertahun-tahun lalu. Wacana itu berkembang dengan berbagai aspek mulai dari jenis sampai besarannya.

Belakangan wacana pajak e-commerce mengerucut ke soal besarannya, yang tidak boleh terlalu menekan para pengusaha di dalamnya. Para pihak tampaknya menyadari bahwa para pelaku e-commerce di Indonesia didominasi kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Wacana itu berujung ke keluarnya Peraturan Pemerintah 23/tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak (WP) yang Memiliki Peredaran Bruto (Omzet) Tertentu. Peraturan yang diluncurkan pada Juni 2018 itu merevisi tarif PPh final bagi pelaku UMKM dari 1 persen –sesuai PP 46/ 2013- menjadi 0,5 persen.

Dengan melihat kronologi perkembangan wacananya, sangat terasa bahwa peraturan yang menurunkan tarif PPh final bagi UMKM itu merupakan bagian dari pra kondisi menuju penerapan pajak e-commerce.

Perkiraan itu tak sepenuhnya salah. Pada ujung tahun, tepatnya 31 Desember 2018, Menteri Keuangan menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-commerce ). PMK ini berlaku mulai 1 April 2019.

Ada dua pihak yang diatur dalam PMK tersebut. Pertama, pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform marketplace. Kedua, penyedia platform marketplace selaku pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik. Perlu dicatat, dalam aturan tersebut pelaku over the-top di bidang transportasi juga digolongkan sebagai penyedia platform marketplace.

Lewat PMK itu, pemerintah memberi tekanan perlunya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi para pedagang atau penyedia jasa. NPWP para pedagang atau pengguna jasa itu harus diserahkan kepada penyedia platform marketplace.Jika tidak mempunyai NPWP, mereka bisa mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace.

Para pedagang dan penyedia jasa di marketplace itu dikenakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan. Termasuk di dalamnya PPh final 0,5 persen bagi mereka yang beromzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Jika omzetnya melebih itu, mereka wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang harus melaksanakan kewajiban terkait PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Sedangkan penyedia platform marketplace juga mempunyai sejumlah kewajiban. Antara lain, memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait barang dagangannya sendiri maupun terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.

Selain itu, penyedia platform pun wajib melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang dan penyedia jasa yang menggunakan paltform-nya.

Sempat muncul opini bahwa PMK tersebut akan otomatis memicu kenaikan harga-harga barang yang dijual secara online sebesar 10 persen. Angka 10 persen itu mengacu kepada besarnya PPN. Opini itu tidaklah sepenuhnya benar.

Ada 3 jenis pajak yang disebutkan dalam PMK tersebut: PPh, PPN, dan Pajak Pertambahan Nilai Bawang Mewah (PPnBM). Ketiga pajak itu bukanlah jenis pajak baru.

Para pengusaha yang terlibat dengan pajak tidaklah asing dengan ketiganya. Bagi tipe pengusaha ini lumrah mempertimbangkan ketiga pajak tersebut dalam menentukan strategi harga.

Lagi pula PPN hanya dikenakan dan disetorkan oleh PKP saja. Padahal sebagian besar pedagang di marketplace adalah bukan PKP. Oleh karenanya PMK tersebut belum tentu secara otomatis memicu kenaikan harga barang-barang yang dijual secara online.

Namun tentu PMK tersebut akan mengejutkan mereka yang baru memulai usaha, yang dipermudah lewat layanan marketplace itu. Mereka yang baru memulai usaha, hampir bisa dipastikan, tidaklah terbiasa dengan perpajakan. Pungutan-pungutan pajak itu belum tentu menjadi bagian yang diperhitungkan dalam usahanya.

Hal ini membuat idEA (Indonesian E-commerce Association, Asosiasi E-commerce Indonesia) cemas. Antusiasme UMKM dalam berbisnis –berkat kemudahan yang diberikan oleh platform marketplace - dikhawatirkan akan meredup gara-gara penerapan pajak e-commerce.

idEA juga mengkhawatirkan para pengguna platform marketplace-nya akan berpindah ke media sosial untuk berdagang secara online. Padahal PMK tersebut tumpul ke arah media sosial sebagai sarana yang juga selama ini sudah dipakai sebagai tempat berdagang secara online oleh cukup banyak UMKM.

Asosiasi e-commerce Indonesia itu sudah menyampaikan keberatannya dan meminta kepada pemerintah untuk menunda pemberlakuan pajak e-commerce. Keberatan itu terasa wajar karena asosiasi tersebut adalah wadah penyedia platforme-commercedi Indonesia.

Mereka khawatir kehilangan pengguna –dan merasa diperlakukan berbeda dengan penyedia media sosial, dan juga mempunyai kewajiban yang cukup kompleks menurut PMK tersebut.

Belakangan pemerintah dan asosiasi e-commerce Indonesia itu sudah bertemu dan merumuskan sejumlah kesepakatan terkait aturan pajak e-commerce.

PMK tentang pajak e-commerce ini memang bisa dilihat sebagai upaya pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama di bidang perpajakan kepada pengusaha konvensional maupun pengusaha yang berbisnis secara online. Ini patut diapresiasi.

Namun tenggat waktu pelaksanaannya yang sudah sebegitu dekat, hanya tinggal 3 bulan lagi, membuat PMK tersebut terlalu mendadak. Itu bukanlah waktu yang tepat.

Perlu waktu yang cukup untuk mengedukasi pedagang dan penyedia jasa secara online –yang didominasi oleh para pemula UMKM- terkait kewajiban-kewajiban perpajakan. Mereka bukan saja perlu tahu beragam pungutan pajak, melainkan juga perlu panduan yang mudah diikuti ihwal tata cara pelaporan dan penyetoran pajak.

Pelaku UMKM, bagaimanapun, bukanlah kelompok pengusaha yang ketat dalam hal administrasi. Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan cara yang mudah bagi kelompok ini terkait perpajakan.

Selain itu, para penyedia platform marketplace tentu juga memerlukan waktu yang cukup menyiapkan sistem dan infrastruktur untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh PMK tersebut. Sistem dan infrastruktur itu pun pasti tergantung kepada para pemangku kepentingan lain yang terlibat di perpajakan.

Penerapan pajak e-commerce memang penting dalam konteks kesetaraan berusaha. Namun perlu waktu dan langkah-langkah persiapan yang memadai agar bisa dilaksanakan dengan baik.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/pajak-e-commerce-tak-perlu-tergesa-gesa

Kontak