Kamis (17/1/2019) ini adalah hari pertama dari rangkaian debat calon presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam acara debat capres yang berlangsung nanti malam ada 4 topik utama yang akan diperdebatkan: hukum, terorisme, hak asasi manusia (HAM), dan korupsi.
Keempatnya seringkali saling berada dalam keadaan saling terkait dan merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat kita saat ini. Para pemilih tentu berharap akan mengenal lebih jelas pandangan kedua pasangan calon presiden mengenai keempat topik penting itu.
Perdebatan yang menyentuh hal-hal konkret tentu akan lebih bisa menarik perhatian para pemilih. Acara debat capres nanti malam akan hambar jika hanya berisikan saling silang pernyataan yang lebih bersifat normatif dan sloganistis dari kedua pasangan capres.
Kisi-kisi perdebatan memang telah diberikan kepada masing-masing pasangan capres. Namun publik belum mengetahui pertanyaan yang akan dilontarkan oleh para panelis nanti malam. Publik juga belum tahu strategi yang dipersiapkan oleh masing-masing pasangan capres dalam adu argumen yang mungkin muncul nanti malam.
Bolehlah kita berharap bahwa perdebatan nanti malam akan mengupas indeks penegakan hukum di negeri kita. Kalaupun tidak, para pemilih bisa mencermati perdebatan yang terjadi nanti malam sambil menandai isu-isu yang menjadi sorotan indeks penegakan hukum itu.
Dalam Indeks Penegakan Hukum 2017-2018 yang dikeluarkan oleh World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat 63 dari 133 negara dengan skor 0,52. Berbeda jauh dengan Singapura yang berada di peringkat 13 dengan skor 0,8.
Di lingkup Asia Tenggara, Singapura berada di peringkat satu. Sedangkan Indonesia berada di peringkat ketiga, berada di bawah Malaysia di peringkat kedua dengan skor 0,54.
Dalam Indeks Penegakan Hukum itu, WJP mencatat 8 faktor. Yaitu, pembatasan kekuasaan pemerintah, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak dasar, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, keadilan sipil, dan keadilan kriminal.
Dari 8 faktor itu, 3 faktor yang mendapatkan skor terburuk di Indonesia adalah keadilan kriminal yang mendapat skor 0,35, ketiadaan korupsi yang mendapat skor 0,37, dan keadilan sipil yang mendapat skor 0,45.
Terkait faktor keadilan kriminal, ada 3 sistem yang diukur keefektifannya: sistem penyelidikan kejahatan, sistem ajudikasi kejahatan, dan sistem hukuman. Selain itu ditakar pula imparsialitas, bebas korupsi, bebas dari pengaruh pemerintah yang tidak patut, dan terpenuhinya proses hukum dan hak-hak terdakwa.
Sedangkan terkait keadilan sipil, diukur seberapa terbebas dari diskriminasi, korupsi, pengaruh pemerintah yang tidak patut. Keadilan sipil, dalam indeks itu, pun diukur efektivitas penegakannya.
Dalam faktor ketiadaan korupsi, indeks tersebut menyorot korupsi di eksekutif, legislatif, polisi dan militer, serta lembaga yudisial.
Meskipun bukan dalam posisi terburuk dalam rangking itu, Indeks Penegakan Hukum 2017-2018 yang dikeluarkan WJP itu menunjukkan bahwa Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar dalam hal penegakan hukum.
Salah satu contoh konkret dari persoalan penegakan hukum itu adalah pembunuhan di luar hukum. Amnesty International menyoroti pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua. Amnesty International mencatat data yang memperlihatkan masih adanya kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua setiap tahun sejak 2010 sampai Februari 2018 lalu.
Dalam debat capres nanti malam, menurut kesepakatan, memang tidak boleh membahas kasus. Namun persoalan yang tergambar dari data yang dicatat Amnesty International sangatlah penting menjadi bahan perdebatan. Bukan untuk memperdebatkan akurasi data tersebut, melainkan memperdebatkan isu penegakan hukumnya.
Para pemilih perlu tahu pandangan kedua pasangan capres tentang penegakan hukum di daerah terpencil dan jauh dari liputan media. Para pemilih juga perlu tahu pandangan kedua pasangan capres tentang penegakan hukum yang bersinggungan dengan isu separatisme –seperti yang terjadi di Papua.
Hal itu penting karena, kita tahu, ketika bersinggungan dengan persoalan yang terkait eksistensi negara seperti separatisme dan terorisme, negara sering tergelincir mengabaikan penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM.
Terkait isu terorisme, sekarang kita sudah memiliki Undang-undang Tindak Pidana Terorisme yang baru. Salah satu isu penting dalam undang-undang itu adalah pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, yang masih memunculkan kekhawatiran menjadi ancaman terhadap warga sipil. Peraturan presiden yang mengatur lebih rinci keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu belum ada sampai sekarang.
Kedua pasangan calon presiden perlu menyampaikan pandangannya mengenai hal ini. Dengan demikian para pemilih bisa melihat perspektif masing-masing pasangan capres terkait kekhawatiran pelibatan TNI.
Isu yang paling pelik bagi kedua pasangan capres adalah isu HAM. Terutama sekali terkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Bagi Joko Widodo, sebagai petahana, hal ini adalah salah satu janji yang sering dianggap belum dipenuhi sampai saat ini. Selama ini pemerintahan Presiden Joko Widodo sering terlihat mencoba mengelak penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan menggunakan jalur yudisial seperti diamanatkan oleh undang-undang.
Sebetulnya isu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu bukan cuma menjadi beban bagi pasangan Jokowi-Maruf, tetapi juga bisa menjadi beban bagi pasangan Prabowo-Sandiaga.
Jokowi dianggap memiliki beban karena ada sejumlah orang di sekelilingnya yang bersinggungan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu. Prabowo pun masih sering disangkutkan dengan kasus yang dipandang mengandung pelanggaran HAM berat.
Di tengah beban itu, para pemilih tetap perlu tahu sikap dan pandangan kedua pasangan capres. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu bagaimanapun harus dituntaskan dan menemukan penyelesaiannya.
Di luar itu, isu HAM penting yang masih menjadi sorotan publik adalah kebebasan untuk berkeyakinan dan menjalankan kegiatan peribadatan. Para pemilih belum bisa melupakan sejumlah kasus kekerasan terkait keyakinan dan kegiatan peribadatan.
Para capres perlu memperlihatkan pandangan dan strateginya untuk memastikan negara menjamin kebebasan warganya untuk berkeyakinan dan menjalankan peribadatannya.
Lebih detil lagi, para capres sebaiknya menunjukkan pandangan dan strategi untuk melepaskan diri tekanan kepentingan politik sesaat yang sering mewarnai kasus-kasus seperti itu.
Dalam topik korupsi, para pemilih yang akan menonton perdebatan nanti malam pasti mengharapkan kedua pasangan capres bisa menjelaskan langkah dan strategi yang menyeluruh sesuai visi dan misi mereka dalam memberantas korupsi.
Warga negara republik ini sudah sungguh gerah dengan kejahatan korupsi, yang seolah tak bisa ditanggulangi. Dibandingkan dengan 5 tahun terakhir, operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjumlah paling banyak, dengan sasaran terbanyak adalah pejabat pemerintahan darah.
Bahkan data memperlihatkan, korupsi bukan hanya dilakukan pejabat pemerintah, melainkan juga dilakukan oleh para penegak hukum. Hakim –dan kemudian polisi- adalah penegak hukum paling banyak terlibat korupsi.
Harus ada langkah yang lebih radikal dan sistematis untuk mencegah dan memerangi korupsi. Bagaimanakah kedua pasangan capres ini menyikapinya? Itu akan menjadi bagian yang ditunggu oleh para pemilih yang akan menonton debat capres nanti malam.
Selamat berdebat. Selamat mencermati pandangan kedua pasangan capres.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/debat-capres-dan-pekerjaan-rumah-dalam-penegakan-hukum