Kemanusiaan, dan payung hukum pembebasan Abu Bakar Ba'asyir

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Para santri di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah dikabarkan akan bersiap menyambut pembebasan salah satu pendirinya: Abu Bakar Ba’asyir.

Persiapan penyambutan itu tentu berkaitan dengan kabar yang santer muncul di akhir pekan lalu bahwa terpidana kasus terorisme itu akan dibebaskan dalam satu atau dua hari ke depan.

Kabar itu bermula dari pernyataan Yusril Ihza Mahendra pada Jumat (18/1/2019) ketika tiba di Lapas. Ketua Umum Partai Bulan Bintang –yang juga pengacara pasangan capres Jokowi-Amin, dan mantan Menteri Hukum dan HAM- itu mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo bermaksud memberikan pembebasan kepada Ba’asyir yang masih menjalani masa hukumannya.

Dengan cepat hal itu menyulut pertanyaan –bahkan menjadi polemik- terkait motivasi yang melatarbelakangi niat itu, serta dasar dan konstruksi hukum yang melandasinya.

Bisa ditebak, pada tahun politik, segala hal cenderung dikait-kaitkan dengan motif-motif politik elektoral. Muncul tudingan bahwa niat untuk membebaskan Ba’asyir itu demi kepentingan pasangan Jokowi-Amin dalam Pilpres 2019 ini.

Di media sosial isu golput pun mencuat sebagai bentuk kekecewaan sebagian pendukung Jokowi-Amin atas niat tersebut.

Tudingan tentang kepentingan politik elektoral di balik niat pembebasan Ba’asyir itu tampaknya tidak punya dasar kuat. Sebab, niat itu justru lebih berpotensi mengikis dukungan dari kelompok yang sangat menentang ekstremisme dan fundamentalisme agama –yang selama ini terlibat banyak memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Amin.

Pada saat yang sama, niat tersebut juga belum tentu mampu mengambil hati para pemilih yang selama ini mencurigai petahana sebagai pihak yang tidak bersahabat dengan ulama.

Bahkan sangat mencolok mata di media sosial para pendukung Prabowo-Sandi berterimakasih atas niat itu sambil tegas menyatakan dukungannya tetap kepada pasangan calon nomor 02 itu.

Di luar urusan elektoral, masih dari sudut politik, niat pembebasan Ba’asyir itu mengecewakan Australia. Warga Australia, yang keluarganya menjadi korban bom Bali, menyatakan kekecewaannya.

Sementara Scott Morrison, Perdana Menteri Australia, menyatakan “keberatan paling dalam” atas rencana Presiden Joko Widodo itu.

Ba’asyir memang pernah diadili dalam kasus konspirasi bom Bali 2002. Dalam kasus itu, Ba’asyir sempat dipenjara selama 26 bulan. Dalam sidang banding, ia dibebaskan pada 2006. Namun niat pembebasannya itu tidak berhubungan dengan kasus bom Bali. Sebab saat ini Ba’asyir menjalani hukuman dalam kasus pendanaan latihan teroris di Aceh.

Dari sisi politik, pertanyaan pentingnya adalah apakah pembebasan Ba’asyir tidak berpotensi membangkitkan persoalan keamanan negara –terutama terkait terorisme.

Ada pengamat yang memang menyatakan bahwa, berkat putra-putranya, saat ini Ba’asyir tidak lagi menjadi pendukung ISIS. Pengamat lain memandang, pembebasan Ba’asyir itu tidak akan mengganggu keamanan negara.

Presiden Joko Widodo seharusnya memaparkan isu keamanan atas rencana pembebasan terpidana kasus terorisme ini. Pandangan resmi pemerintah atas isu tersebut tentu perlu diketahui oleh warga negara.

Niat Presiden Joko Widodo untuk membebaskan Ba’asyir juga memicu polemik hukum. Terutama, terkait dasar hukum atas pembebasan itu.

Pembebasan terpidana dari hukumannya hanya bisa dilakukan dengan 3 opsi. Pertama, bebas murni, pembebasan bersyarat, dan grasi Presiden.

Untuk bisa bebas murni dari masa hukumannya, Ba’asyir masih harus menjalaninya beberapa tahun lagi. Dalam kasusnya, Ba’asyir baru bebas murni pada tahun 2026.

Untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah bahwa narapidana sudah menjalani paling singkat dua per tiga dari masa hukumannya.

Selain syarat tadi, khusus narapidana kasus terorisme ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya, seperti disebutkan dalam Pasal 84 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 03/ 2018, adalah secara tertulis menyatakan ikrar “kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Menurut Kementerian Hukum dan HAM, Ba’asyir belum mau membuat ikrar tertulis ihwal kesetiaan kepada negara itu. Sedangkan hal yang dinyatakan Yusril bukanlah bahwa Ba’asyir menolak berikrar setia kepada NKRI, melainkan menolak berikrar setia kepada Pancasila.

Opsi ketiga untuk pembebasan adalah grasi. Sampai hari Jumat (18/1/2019) minggu lalu, Kemenkumham menyatakan belum menerima surat grasi dari Presiden terkait pembebasan Ba’asyir

Yusril sendiri menyebut pembebasan Ba’asyir itu akan mengesampingkan ketentuan peraturan menteri yang mengatur pembebasan bersyarat itu sehingga pembebasan itu menjadi tanpa syarat.

Presiden, menurut Yusril, lebih menekankan pertimbangan kemanusiaan. Presiden mengakui bahwa pertimbangan utama niat pembebasan Ba’asyir adalah kemanusiaan: usia dan kesehatan.

Tentu tak ada yang keliru dengan nilai kemanusiaan. Nilai tersebut sesuai Pancasila. Sebagai langkah politik negara, pembebasan yang menyandarkan pertimbangan kepada kemanusiaan itu penting untuk menunjukkan bahwa negeri ini menjunjung nilai kemanusiaan. Dan, jelas, pertimbangan kemanusiaan juga akan memberikan efek deradikalisasi yang bagus.

Namun, tidaklah cukup menyandarkan diri kepada pertimbangan itu saja dalam memutuskan kebijakan negara. Setiap kebijakan di negeri ini haruslah bersandar kepada payung hukum yang jelas. Presiden harus sungguh bersandar kepada payung hukum yang jelas dalam membebaskan Ba’asyir.

Mengabaikan dasar hukum atas suatu tindakan dalam praktik bernegara bukan hanya akan menjadi blunder politik. Lebih berbahaya lagi, hal itu akan membangun ketidakpastian hukum di negeri ini.

Kemanusiaan dan deradikalisasi itu penting. Pada saat yang sama, karena Indonesia adalah negara demokrasi, dasar hukum atas setiap keputusan itu juga penting, Pak Presiden.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kemanusiaan-dan-payung-hukum-pembebasan-abu-bakar-baasyir

Kontak