Bagi mereka yang tergolong penyelenggara negara, menyerahkan LHKPN (Laporan harta Kekayaan Penyelenggara Negara) adalah wajib. Sayangnya kepatuhan atas kewajiban itu masih buruk.
Sikap abai para penyelenggara negara atas kewajiban itu adalah persoalan serius yang bukan saja perlu mendapat perhatian, melainkan juga haru segera menemukan strategi yang jelas untuk mengatasinya.
Pertengahan Januari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyurati sejumlah instansi terkait rendahnya kepatuhan untuk menyampaikan LHKPN. Selain mengingatkan kewajiban untuk menyerahkan LHKPN paling lambat pada Maret mendatang, dalam surat itu, KPK meminta pimpinan instansi untuk memberikan sanksi sesuai peraturan kepada penyelenggara negara.
Rendahnya kepatuhan penyelenggara negara dalam menyerahkan LHKPN terlihat dari data-data yang diungkap KPK perihal rincian tingkat kepatuhan di sejumlah lembaga.
Perhatikanlah, misal, data tentang 10 kementerian dengan tingkat kepatuhan paling rendah dalam menyerahkan LHKPN 2018. Di posisi paling rendah adalah Kementerian Pertahanan. Di kementerian itu, dari 80 orang penyelenggara negara, hanya 10 persen yang menyampaikan LHKPN.
Di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, ada 315 orang yang wajib lapor LHKPN. Namun hanya 18,41 persen saja yang memenuhi kewajiban itu. Sedangkan di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dari 130 orang yang wajib lapor LHKPN, hanya 19,23 persen yang menjalankan kewajibannya.
Pemerintah provinsi yang tingkat kepatuhannya rendah dalam menyampaikan LHKPN adalah Provinsi Papua Barat. Di pemprov tersebut ada 517 orang yang wajib menyerahkan LHKPN. Namun hanya 0,39 persen saja yang mematuhinya.
Di Pemprov Sulawesi Selatan hanya 1,50 persen dari 532 penyelenggara negara yang memenuhi kewajiban penyerahan LHKPN. Tak begitu jauh berbeda dengan itu, di Pemprov Maluku hanya 1,72 persen yang menyampaikan laporan harta kekayaannya dari 698 orang yang wajib menyerahkan LHKPN.
Di lembaga legislatif, tingkat kepatuhan dalam menyampaikan LHKPN pun sangat rendah. Dari 537 wajib lapor di DPR, hanya hanya 21,42 persen saja yang taat dengan kewajibannya.
Secara keseluruhan tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN 2018, menurut KPK, mencapai 64,05 persen saja. Angka itu menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 78 persen.
Ada banyak dalih yang dikemukakan terkait kepatuhan yang sangat rendah ini. Ada yang menyatakan bahwa pelaporan LHKPN itu sangat rumit. Ada juga, karena sekarang pelaporan bisa dilakukan secara elektronik, yang mengaku gagap teknologi.
Kita tahu, untuk setiap upaya untuk menghindarkan diri dari kewajiban, selalu saja ada dalih yang bisa diambil secara asal-asalan. Jadi ihwal kerumitan dan gagap teknologi sebagai dalih atas ketidakpatuhan itu sungguh menggelikan.
Dua perkara itu –kerumitan dan gagap teknologi- bukanlah perkara yang sangat rumit. Hanya butuh itikad baik saja untuk mengatasinya.
Pertanyaannya, apakah para penyelenggara negara punya itikad baik untuk memenuhi kewajibannya?
Kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya tercantum dalam Undang-undang Nomor 28/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Dalam Pasal 5 UU 28/199 itu, jelas tegas disebutkan bahwa setiap penyelenggara negara wajib bersedia diperiksa, melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Selama menjabat, menurut Pasal 5 Peraturan KPK Nomor 07/2016, penyelenggara negara wajib menyampaikan LHKPN secara periodik setiap 1 tahun atas harta kekayaan yang diperolehnya sejak 1 Januari sampai 31 Desember, paling lambat pada 31 Maret tahun berikutnya.
Jika kewajiban itu tidak dipatuhi, KPK tidak punya kewenangan apapun untuk memberikan sanksi. KPK hanya memberikan rekomendasi agar pimpinan instansi memberikan sanksi kepada para penyelenggara negara di instansinya yang tidak mematuhi kewajiban terkait LHKPN.
UU nomor 28/1999 memang menyebutkan sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak bersedia diperiksa, melaporkan dan mengumumkan kekayaannya. Namun sanksi yang disebut dalam Pasal 20 undang-undang tersebut adalah “sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Tak ada rumusan sanksi yang jelas dan tegas bagi para penyelenggara negara yang mengabaikan kewajibannya untuk menyampaikan LHKPN. Lumrah jika banyak penyelenggara negara mengabaikan kewajibannya itu dengan enteng.
Ketentuan mengenai sanksi yang tegas dan jelas bagi mereka yang melanggar kewajibannya dalam menyerahkan LHKPN sangatlah diperlukan. Untuk mewujudkannya, jelas, perlu dorongan politik yang kuat dari semua pihak yang menghendaki negeri ini mempunyai jalan yang terukur menuju pemberantasan korupsi.
Sebetulnya, di luar kebutuhan adanya ketentuan sanksi yang jelas dan tegas itu, penunaian kewajiban untuk menyampaikan LHKPN –sebagai bagian dari langkah menuju penyelenggara negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme itu- adalah perkara menjaga integritas. Ada integritas yang dipertaruhkan ketika seorang penyelenggara negara mengabaikan kewajibannya itu.
Apakah integritas masih dianggap sebagai hal penting yang perlu dijaga oleh para penyelenggara negara? Itu pertanyaan dasarnya.
Yang pasti, mereka yang meremehkan integritas dirinya sungguhlah tidak layak menjadi penyelenggara negara.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/mengejar-lhkpn-menjaga-integritas-penyelenggara-negara