Kita patut mempertanyakan kepada diri sendiri. Benarkah kita hidup di tengah masyarakat yang punya kepekaan sosial dengan nilai-nilai yang menjunjung sikap saling tolong dan saling melindungi sebagai sesama warga?
Juga, apakah negara kita mempunyai dan menjalankan sistem yang cukup memadai untuk memonitor kondisi warga negara untuk memastikan bahwa semua warga memperoleh akses kepada pemenuhan kebutuhan dasar hidup mereka?
Dua pertanyaan itu patut kita ajukan sehabis kematian Elawati pada Kamis (7/2/2019) pagi minggu lalu.
Dia, Elawati, mati bunuh diri di kamarnya yang ia kunci dari dalam. Jasadnya, ditemukan oleh suaminya setelah mendobrak pintu, tergantung di atas tempat tidur mereka dengan tali terkait ke kayu kasau di langit-langit kamar.
Sebelum didapatkan mati, pagi itu tetangganya masih melihat Elawati membuang sampah dan memarahi anaknya yang tidak mau bekerja. Mengapa perempuan beranak lima itu memilih mengakhiri hidupnya?
Ratapan Idrus, suaminya, bisa memberi petunjuk untuk menjawab pertanyaan itu. Sambil mengelus pipi jasad istrinya, Idrus berkata, “Kamu begini pasti karena kecapaian mengurus saya, ibu, dan anak-anak yang sakit.”
Di kawasan pemukiman yang sangat padat di kawasan Caringin, Bogor, Jawa Barat itu keluarga Idrus tinggal bersama ibunya, istrinya dan empat anaknya. Dan, bayangkanlah, dari 7 orang di satu rumah itu, hanya Elawati yang sehat.
Idrus –yang pernah bekerja serabutan sebagai juru parkir- sudah empat bulan terkena stroke. Ibunya, yang berumur 80 tahun, sudah tua dan sakit-sakitan. Empat anaknya yang tinggal serumah pun sakit-sakitan menahun. Idrus mengaku jarang berobat karena ongkosnya terbilang mahal bagi keluarganya.
Itu adalah ironi bagi era Jaminan Kesehatan Sosial Nasional.
Semua itu bukan penderitaan yang lumrah. Bagaimana bisa kondisi yang mengenaskan itu luput dari perhatian?
Kita memang tidak bisa secara gegabah mengira warga di lingkungan itu kehilangan kepekaan sosial atas kondisi keluarga Idrus. Bisa jadi mereka tak punya cukup pengetahuan untuk membawa persoalan ini ke pihak yang lebih bisa mengatasinya.
Pertanyaan berikutnya, sedang berada dimanakah aparat negara ketika ada warga negara membutuhkan perhatian yang sangat serius? Apakah pemerintah tidak mempunyai sistem yang cukup memadai untuk mempermudah dalam membaca kondisi warga di sebuah komunitas?
Kematian Elawati menunjukkan bahwa negara tidak sungguh hadir secara dekat dengan warganya untuk memastikan mereka memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar yang layak.
Boleh jadi hal ini juga yang bisa menjelaskan mengapa persoalan lingkungan yang menyulut wabah demam berdarah dengue tak lekas teratasi setiap tahunnya di sejumlah daerah: negara tidak hadir segera dan dekat dengan warganya.
Kita tentu tidak ingin ada kasus serupa dengan Elawati terulang lagi.
Setiap orang sebagai bagian dari masyarakat harus cukup memiliki kepekaan sosial untuk memberikan perhatian dan kepedulian kepada sesama di sekeliling. Tak ada pembenar apapun yang membolehkan kita berdiam diri saat tetangga tampak kehilangan harapan karena penderitaan yang ditanggungnya.
Pada saat yang sama, sungguh tak bisa diterima bahwa pemerintah tak mempunyai informasi yang memadai mengenai kondisi warga di daerahnya.
Agar kasus serupa keluarga Elawati tidak terulang, jika benar bahwa berbagai layanan dan program terkait kesehatan serta kesejahteraan sosial memang telah ada, pemerintah harus segera mengidentifikasi letak persoalan dari kasus serupa.
Apakah akses kepada layanan dan program kesehatan serta kesejahteraan sosial itu bisa mudah dijangkau seluruh warga? Apakah sistem untuk mencatat dan melaporkan kondisi masyarakat sudah berjalan dengan benar dan responsif?
Pemerintah juga selayaknya meninjau ulang dan mengevaluasi Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Mempertimbangkan tujuan dan sasarannya, Gerakan PKK seharusnya mampu mencegah kasus serupa yang dialami keluarga Elawati.
Sebagai gerakan yang digagas untuk tumbuh dari bawah dan pengelolaannya dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri serta mempunyai 10 program pokok, Gerakan PKK sangat berpotensi bergerak lebih cepat dan dekat dalam memetakan persoalan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Terlebih, gerakan tersebut mempunyai organ terkecil yang disebut dasa wisma –sebuah kelompok yang terdiri dari 10 sampai 20 rumah yang saling berdekatan. Dengan organ terkecil itu seharusnya beragam masalah dan kebutuhan terkait kesejahteraan masyarakat dalam sebuah komunitas lebih bisa dipetakan secara lebih rinci oleh Gerakan PKK.
Namun untuk mencapai itu, perlu penyesuaian paradigma Gerakan PKK. Meskipun dimaksudkan sebagai gerakan nasional yang tumbuh dari bawah, namun struktur bangunan dari Gerakan PKK sangat terlihat top down dan lebih diarahkan sebagai jalan untuk memuluskan kebijakan pemerintah saja. Bahkan dalam beberapa sisi sering terkesan lebih bersifat formal seremonial.
Gerakan pemberdayaan dan kesejahteraan sosial harus sungguh datang dari bawah. Gerakan itu haruslah merupakan dorongan agar warga masyarakat memiliki kepekaan untuk memetakan sendiri kondisi dan kebutuhan kesejahteraan di lingkungannya, untuk kemudian menegosiasikannya dengan pemerintah agar menjadi sebuah program pembangunan yang cocok.
Kehadiran pihak yang terkait dengan birokrasi dalam struktur gerakan tersebut pun harus didudukkan sebagai bentuk dukungan politik yang akan mempermudah dan mempercepat terselenggaranya program-program gerakan. Bukan untuk semata menjadi perpanjangan kehendak pemerintah.
Tidak boleh ada lagi warga negara memilih bunuh diri karena kehilangan harapan hidup sejahtera. Negara harus menyelenggarakan sistem yang bisa memastikan bahwa setiap warga tetap memegang harapan untuk mewujudkan hidup sejahtera.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/mencegah-putusnya-harapan-untuk-hidup-sejahtera