Lagi, seorang panitera terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Panitera yang kali ini terkena OTT Senin (21/8) kemarin adalah Tarmizi, seorang Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tarmizi diduga menerima suap dari pengacara yang bernama Akhmad Zaini. Suap tersebut terkait pengurusan gugatan perkara terhadap PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI), yang digugat ganti rugi oleh perusahaan Singapura.
Diduga, Tarmizi telah menerima 3 kali uang suap. Total uang suap yang diterimanya Tarmizi berjumlah Rp425 juta.
Yang membuat kita sangat prihatin, penangkapan Tarmizi menambah deretan nama panitera yang diringkus KPK dalam kasus suap. Dua tahun lalu, KPK menangkap Syamsir Yusfan. Dia adalah panitera di Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Syamsir menerima uang suap sebesar USD2 ribu melalui tim kuasa hukum OC Kaligis. Suap tersebut terkait gugatan penyelidikan kasus Bansos yang tengah ditangani Kejati Sumut saat itu.
Tahun 2016 ada 3 panitera yang terjaring OTT KPK. Pertama, Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, Rohadi, Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ketiga, M Santoso, Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Edy terlibat suap yang terkait dengan sejumlah kasus. Edy menerima terkait penundaan teguran perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan Kymco, pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meski sudah melewati batas waktu, dan pengurusan perkara kasasi.
Rohadi ditangkap saat menerima suap Rp250 juta. Suap tersebut ditujukan untuk pengurusan perkara tindak pidana asusila dengan terdakwa pedangdut Saipul Jamil.
Sedangkan M Santoso menerima suap 28 ribu dolar Singapura. Suap itu diberikan untuk memengaruhi putusan hakim terkait gugatan perdata antara PT Mitra Maju Sukses (MMS) melawan PT Kapuas Tunggal Persada (KTP).
Tentu saja kita juga masih ingat, aparat negara yang terkait dengan pengadilan dan penegakan hukum yang pernah terjaring OTT oleh KPK itu bukan hanya panitera. Jaksa adalah posisi lain dari aparat negara penegak hukum yang juga tercatat beberapa kali terkena OTT oleh KPK.
Urip Tri Gunawan, misalnya. Anggota tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, itu tertangkap menerima suap pada tahun 2008.
Sedangkan jaksa Fahri Nurmalo dan Devianti Rohaini ditangkap KPK pada tahun 2016 karena menerima suap dalam penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana BPJS Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Pada tahun yang sama KPK menahan Farizal, jaksa di Kejaksaan Tinggi Padang, terkait dengan suap. Suap itu diterima oleh Farizal untuk mengatur sebuah perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri di Padang saat itu.
Di Bengkulu tahun 2017 ini KPK melakukan OTT terhadap Parlin Purba. Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu itu diduga menerima suap terkait dengan pengumpulan data dan bahan keterangan indikasi korupsi terkait dengan proyek pembangunan irigasi di Bengkulu.
Yang terbaru, pada bulan Agustus ini, KPK menangkap 3 orang jaksa di Pamekasan, Madura. Dari 3 orang itu, hanya satu orang saja yang dijadikan tersangka. Yaitu Rudi Indra Prasetya, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan. Penangkapan itu terkait suap penanganan suatu kasus penyelewengan dana desa.
Yang paling membuat kita miris, posisi hakim juga tidak luput dari OTT KPK. Tahun 2015 KPK menangkap 3 hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Dua orang hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu ditangkap KPK pada 2016. Yang paling mengejutkan adalah penangkapan Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi, oleh KPK pada 2017 ini.
Di satu sisi, sangatlah menyedihkan menghadapi kenyataan bahwa mereka yang seharusnya menjadi penjaga dan penegak hukum justru menjadi pihak yang melanggarnya. Di sisi lain, OTT terhadap sejumlah aparat negara yang diduga melakukan korupsi itu bisa kita lihat sebagai upaya untuk memastikan aparat negara dalam sistem hukum kita memang bersih.
Upaya itu perlu kita apresiasi. Betapapun sulitlah membayangkan penegakan hukum yang adil jika aparat negara yang melaksanakannya justru masih berperilaku kotor.
Meski begitu kita bersama harus menyadari bahwa aksi bersih-bersih terhadap aparat negara yang korup itu bisa memicu dua sikap yang ekstrim: bisa membuat masyarakat kita kehilangan atau bertambah kepercayaannya kepada penegakan hukum di negeri kita.
Masyarakat kita akan kehilangan kepercayaan kepada penegakan hukum jika instansi-instansi yang terlibat di dalamnya tidak memperlihatkan upaya untuk membenahi diri. Namun sebaliknya, kita justru akan semakin percaya kepada penegakan hukum ketika semua instansi penegak hukum menunjukkan perubahan yang berarti untuk menghindarkan praktik korupsi.
Kita tidak bisa terus menerus mengandalkan KPK untuk melakukan bersih-bersih terhadap aparat-aparat negara yang korup. Kita juga tidak bisa terus menerus menganggap korupsi itu bersumber semata dari penyimpangan moral para pelakunya.
Selain ada upaya penindakan terhadap pelaku korupsi dan tekad besar secara individual untuk setia kepada moral yang bersih, kita berharap seluruh institusi penegak hukum mengembangkan sistem yang semakin menutup peluang sekecil apapun bagi tindak korupsi. Pendek kata, institusi penegak hukum harus bersih dari korupsi dalam hal lahir, batin maupun sistem.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/membersihkan-sapu-penegakan-hukum