Perempuan dan lelaki berbaring di jalan sejak pagi pada Rabu (24/8) lalu. Mereka berasal dari Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan dan warga masyarakat lain yang sedang menutup kawasan cagar budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Aksi tersebut dilakukan untuk menggagalkan eksekusi lahan sengketa oleh Pengadilan Negeri Kuningan. Eksekusi itu akhirnya gagal dan ditunda oleh pengadilan.
Sengketa itu berawal dari gugatan Jaka Rumantaka, seorang ahli waris Pangeran Tedja Buana, yang mengklaim tanah adat tersebut sebagai milik pribadinya. Padahal tanah yang disengketakan itu adalah tanah adat; tanah yang secara adat dimiliki komunal--bukan tanah waris perorangan.
Sengketa yang terjadi di Cigugur Kuningan tersebut serupa dengan kasus-kasus sengketa lain yang melibatkan masyarakat adat. Masyarakat adat dihadapmukakan dengan pendekatan hukum positif yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat maupun hukum adat itu sendiri.
Dengan pendekatan semacam itu, masyarakat adat dipinggirkan dan menjadi pihak yang paling diabaikan. Di banyak kejadian, masyarakat adat dikriminalisasi justru ketika mereka mencoba mempertahankan hak-haknya.
Bukan saja mengorbankan keberadaan masyarakat adat beserta hukum dan tradisinya, kriminalisasi itu pun mengalihkan perhatian publik dari isu penting--mengenai penghormatan terhadap hak-hak mendasar salah satu bagian masyarakat kita--menjadi isu kriminalitas atau perselisihan perdata biasa belaka.
Hampir di setiap keberadaan masyarakat adat, selalu disertai dengan masalah tanah adat. Untuk sekadar menunjuk contoh, selain kasus Cigugur itu, kita tentu masih ingat kasus sengketa tanah adat masyarakat Dayak Meratus di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Di Jambi, sengketa tanah adat Suku Anak Dalam sudah berlangsung puluhan tahun. Sengketa terkait dengan tanah adat juga terjadi di Ende.
Penentuan wilayah konservasi yang dikuasai negara dan wilayah konsesi yang diberikan oleh negara kepada korporasi hampir selalu disertai dengan sengketa tanah adat. Sengketa-sengketa itu mengindikasikan adanya masalah besar dalam hal hubungan negara dengan masyarakat adat.
Satu tonggak penting terkait tanah adat adalah Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan MK terkait dengan uji materi Undang-undang Kehutanan itu menegaskan bahwa hutan negara tidak termasuk hutan adat. Dengan putusan itu, jutaan hektar hutan adat--yang semula diakui sebagai hutan negara--mendapat pengakuan dan bisa dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.
Pengakuan tersebut sangatlah penting bagi masyarakat adat. Pengakuan itu bisa menghindarkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat ketika mereka menggarap hutan adat dengan kearifan lokalnya.
Namun, rupanya implementasi atas putusan tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan. Banyak pihak belum tahu hak yang dijamin oleh konstitusi itu. Belum lagi, implementasi atas putusan MK itu juga berpotensi menghadapi resistensi di tingkat daerah.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebetulnya memberikan harapan baik atas persoalan tanah adat ini. Setidaknya, niat baik pemerintah sudah ditunjukkan dengan pemberian hak pengelolaan hutan adat pada akhir 2016 lalu. Sebagai tahap awal saat itu, hak pengelolaan hutan adat diberikan kepada sembilan kelompok masyarakat adat, dengan luas total mencapai 13.122,3 hektare.
Jumlah itu tentu masih sangat kecil dibandingkan dengan komunitas masyarakat adat yang ada di negara kita. Presiden Joko Widodo menjanjikan langkah itu akan disusul ke area lain yang akan mencapai 12,7 juta hektare hutan.
Terkait hal itu, banyak pihak sedang menantikan langkah konkret yang segera dari pemerintah. Sebab, selepas seremoni pengakuan hak atas hutan adat di ujung 2016 itu, kita masih menyaksikan sengketa dan kriminalisasi seperti yang terjadi di Cigugur, Tanah Bumbu, dan Kelimutu itu.
Tak kalah penting, seharusnya kita bersama memahami bahwa masalah-masalah di seputar pengakuan tanah adat sebetulnya baru puncak gunung es dari problem sesungguhnya. Jauh lebih dalam dari itu, persoalan mendasarnya adalah penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu sendiri, yang sebetulnya jelas-jelas diakui oleh konstitusi.
Konstitusi kita menjamin penghormatan dan pengakuan negara atas kesatuan-kesatuan masyarakat adat, hak tradisionalnya, serta identitas budayanya. Hal itu terlihat dalam Pasal 18A ayat 2 dan Pasal 28I ayat 2 konstitusi kita, UUD 1945.
Itu artinya, sebagai bagian dari penghormatan dan pengakuan itu, kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat pun seharusnya diakui oleh negara. Selama ini, meskipun tidak diberangus, kepercayaan-kepercayaan asli masyarakat adat tidak diakui oleh negara. Masyarakat Baduy, misal, tidak dapat mencantumkan Sunda Wiwitan sebagai agama dalam Kartu Tanda Penduduk.
Sangatlah miris melihat kenyataan bahwa ada kelompok masyarakat kita tidak bisa menyatakan kepercayaan yang mereka anut dalam dokumen formal kependudukan. Padahal kepercayaan-kepercayaan itulah yang menjadi sumber dari kearifan lokal, yang selama ini mempunyai peran besar dalam menjaga harmoni dalam masyarakat adat beserta lingkungannya.
Kita sedang menantikan keputusan MK terkait hal tersebut. Kita berharap para Hakim Konstitusi memberikan putusan yang adil, yang memberikan pengakuan formal keberadaan kepercayan-kepercayaan yang sudah ada terlebih dahulu dalam masyarakat kita -jauh sebelum negara ini terbentuk itu.
Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat adalah keharusan politik sebagai jalan menuju keadilan sosial bagi seluruh masyarakat yang bhineka ini.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/jangan-abaikan-lagi-masyarakat-adat