Para penulis buku melakukan protes. Sebagai warga negara yang wajib membayar pajak, mereka meminta untuk diperlakukan secara adil oleh negara.
Protes itu semacam seruan yang serius, yang meminta negara untuk memberikan perhatian yang memadai dan memperlakukan secara adil para penulis sebagai wajib pajak.
Tere Liye adalah penulis novel yang membuat isu ini mencuat ke permukaan. Penulis yang buku-buku novelnya tergolong sangat laris itu mengeluhkan besaran pajak yang harus dibayarkan oleh penulis buku.
Di halaman Facebook-nya, Tere Liye menyajikan ilustrasi yang membandingkan pajak yang harus dibayar oleh penulis dengan pajak yang harus dibayar oleh profesi lain dan pengusaha UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).
Ilustrasi itu memperlihatkan bahwa penulis membayar pajak lebih besar ketimbang profesi lain yang dibandingkannya. "Penulis buku adalah orang paling dermawan kepada negara," tulisnya.
Tere Liye bukan sedang berbangga. Ia meminta profesinya diperlakukan secara fair. Sebagai bagian dari protesnya itu, Tere Liye berencana tidak akan menerbitkan buku lewat penerbit dan buku-buku lamanya tidak akan beredar lagi di toko buku mulai 2018 nanti, yang tinggal beberapa bulan lagi.
Sebagai penulis novel yang sangat laris, protes Tere Liye mendapatkan amplifikasi dari jaringan sosialnya. Isu ini menjadi isu hangat bagi pemangku kepentingan perbukuan nasional: mulai dari pembaca, sesama penulis, penerbit, distributor sampai pengelola toko buku.
Protes Tere Liye mendapat perhatian dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyatakan pihaknya akan bertemu dengan penulis buku-buku best seller itu. Sementara Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menganggap Tere Liye "salah persepsi."
Ketidakadilan yang diungkapkan oleh para penulis itu--belakangan bukan hanya oleh Tere Liye, melainkan juga oleh Dee Lestari dan Persatuan Penulis Indonesia--memang sulit untuk dibantah. Pajak Penghasilan Pasal 23, dengan jelas menyatakan bahwa royalti dikenakan tarif 15% atas jumlah bruto, yang jauh berbeda dengan tarif yang dikenakan untuk objek lain semisal sewa atau jasa lainnya yang hanya sebesar 2%.
Penulis yang berpenghasilan bruto setahun kurang dari Rp4,8 miliar memang boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Namun NPPN penulis--masuk dalam Kegiatan Pekerja Seni--lebih tinggi ketimbang profesi lain. NPNN penulis 50 persen, jurnalis berita independen dan pekerja hiburan hanya 35 persen.
Ada dua hal penting yang terkandung dalam soal ketidakadilan perlakuan terhadap penulis ini.
Pertama, negara tidak memahami cara kerja "memproduksi" sebuah naskah buku. Naskah buku bukanlah serupa dengan modal yang ditanamkan dalam sebuah usaha. Naskah buku adalah produk dari penulis, yang melewati suatu proses bisnis untuk menghasilkannya. Oleh karenanya, sangat aneh jika royalti penulis disamakan dengan deviden atau bunga.
Asumsi yang salah itu pula yang boleh jadi membuat NPPN penulis lebih tinggi ketimbang beberapa profesi lain.
Kedua, negara tidak memperlihatkan keberpihakannya dalam peningkatan kualitas manusia, terutama lewat peningkatan minat baca. Tidak banyak orang saat ini berminat dan mampu menjadi penulis buku. Perlakuan yang tidak adil kepada para penulis buku hanya akan makin memperlemah sumberdaya dalam sistem perbukuan nasional kita.
Jika sungguh-sungguh hendak memperkuat kualitas manusia lewat peningkatan minat baca, negara harus mendorong dan memberikan insentif yang cukup kepada seluruh bagian yang terlibat dalam sistem perbukuan nasional kita.
Pemerintah, misal, perlu memberikan dukungan kepada penerbitan buku cetak dengan meninjau ulang pajak yang dikenakan kepada bahan baku buku cetak; yaitu kertas dan tinta. Bahan baku buku cetak tersebut saat ini menjadi komponen produksi yang cukup besar dalam menentukan harga buku.
Selain itu, aturan tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas buku pun perlu ditinjau ulang. Saat ini tidak semua buku mendapatkan pembebasan PPN. Sebaiknya, agar bisa memberikan harga yang terjangkau bagi masyarakat, semua jenis buku dibebaskan pengenaan PPN. Paling tidak dalam jangka waktu tertentu.
Kita bisa memahami bahwa pemerintah memang sedang menargetkan untuk menggali potensi pajak masyarakat. Namun hendaknya hal itu dibarengi dengan pendekatan strategis terhadap sektor-sektor yang sangat memengaruhi peningkatan kualitas manusia kita. Industri penerbitan buku adalah salah satu sektor yang seharusnya memperoleh dukungan dan insentif agar lebih pesat pertumbuhan dan perkembangannya.
Adalah sikap yang sangat keterlaluan jika kita menuntut peningkatan minat baca masyarakat, sambil pada saat yang sama kita mengabaikan, bersikap tidak adil, dan tidak memberikan dorongan yang memadai kepada industri penerbitan buku nasional.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/bersikaplah-adil-kepada-perbukuan-kita