Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka baru kasus korupsi E-KTP pada pertengahan Juli lalu, salah satu pertanyaan yang dipergunjingkan di tengah masyarakat kita adalah apakah Novanto akan mengajukan praperadilan untuk statusnya itu?
Beberapa hari sejak penetapan sebagai tersangka itu, Novanto masih mengatakan bahwa dirinya belum terpikir untuk mengajukan praperadilan. Hal yang sama masih dipertegas beberapa hari kemudian.
Namun pada awal September ini, gugatan praperadilan atas status tersangkanya itu diajukan oleh Novanto. Ada 3 hal utama yang dipersoalkan oleh tim advokasi Novanto dalam gugatan itu.
Pertama, kepastian nominal kerugian negara dan keharusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai penghitung. Kedua, penyidik yang berwenang. Ketiga, bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka.
Ketika KPK menyatakan akan memeriksa untuk pertama kalinya Novanto sebagai tersangka, publik kembali bergunjing: apakah Novanto akan memenuhi pemeriksaan itu?
Maklumilah jika ada keraguan bahwa Novanto akan taat memenuhi pemeriksaan tersebut. Kita masih ingat, Novanto pernah tidak memenuhi panggilan KPK.
Ketika awal Juli KPK memanggilnya sebagai saksi untuk kasus E-KTP dengan tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto tidak memenuhi panggilan itu. Lewat surat berkop DPR, Setya Novanto menyatakan tak bisa datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena sakit vertigo. Seminggu kemudian, Novanto memenuhi panggilan KPK yang dijadwalkan ulang itu.
Gugatan praperadilan yang diajukannya juga membuat ada pihak yang sangsi bahwa Novanto-sebagai tersangka- akan memenuhi panggilan pertama KPK itu. Namun koleganya, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, memastikan bahwa Setya Novanto akan hadir.
"Selama ada panggilan, Setya Novanto akan hadir. Tapi memang, kemarin pas sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak hadir karena sakit, sampai masuk rumah sakit. Tapi untuk Senin nanti, saya pastikan hadir," jelas Idrus pada Sabtu (9/9) seperti dikutip CNN Indonesia.
Nyatanya, tidak. Idrus jugalah yang memastikan bahwa ketua partainya tak bisa memenuhi panggilan KPK. Seperti disampaikan Idrus, tersangka kasus korupsi E-KTP itu sedang sakit.
Kita bisa memahami itu. Siapapun bisa sakit dengan berbagai penyebab. Orang yang sedang sakit memang sebaiknya beristirahat. KPK juga mungkin bisa memahami alasan itu. Mungkin.
Sehari kemudian KPK menerima surat permintaan agar menunda penyidikan terhadap Setya Novanto. Penundaan itu dikaitkan dengan proses gugatan praperadilan yang sedang diajukan.
Kalau saja surat itu dikirim oleh pengacara tersangka, itu adalah hal yang lumrah saja. Kalau saja permintaan penundaan penyidikan itu datang sebagai komentar dari seorang pengamat, itu pun hal biasa dalam sebuah wacana publik.
Namun surat itu berasal dari pimpinan DPR dan dikirimkan oleh Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR Hani Tahapsari ke KPK. Itu berarti surat tersebut adalah surat resmi dari satu lembaga tinggi negara untuk KPK -lembaga negara yang ditujukan untuk pemberantasan korupsi. Jelas, hal ini tidak lumrah dan sulit kita pahami arah dan itikadnya. Kok bisa?
Yang dijadikan tersangka oleh KPK adalah Setya Novanto. Individu. DPR, sebagai lembaga negara, bukanlah pihak yang dijadikan tersangka dalam kasus korupsi E-KTP yang sedang ditangani KPK. Jadi, mengapa pimpinan DPR -dan didukung oleh aparat Sekretariat Jenderal DPR- ikut campur dalam proses hukum tersebut?
Fadli Zon, satu-satunya Wakil Ketua DPR yang menandatangani surat tersebut berkilah bahwa surat itu surat biasa. "Sekadar meneruskan pengaduan/aspirasi anggota masyarakat kepada instansi terkait," tulis Fadli Zon dalam klarifikasi yang dikirimkan ke media.
Penjelasan Fadli Zon -yang ditegur oleh partainya karena mengirimkan surat tersebut- tampaknya tak akan mengubah persepsi dan cara publik menalar permohonan penundaan penyidikan atas Setya Novanto yang ia kirim sebagai salah satu pimpinan DPR.
Bagi publik, gambar urusan ini sudah tampak terang: Setya Novanto yang menjadi tersangka adalah Ketua DPR, pengirim surat permintaan penundaan penyidikan adalah pimpinan DPR, pihak yang mengantarkan surat tersebut adalah aparat Sekretariat Jenderal DPR, dan banyak nama-nama anggota DPR yang disebut-sebut dalam perkara korupsi E-KTP -perkara yang kemudian memicu hak angket DPR.
Sulit bagi publik untuk tidak melihat keterkaitan semua hal itu. Sama sulitnya bagi publik untuk tidak menganggapnya sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengintervensi proses hukum. Publik kita bukanlah publik yang tidak mengerti bahwa persoalan hukum dalam sebuah masyarakat demokratis harus diselesaikan secara hukum; bukan secara politik.
Sebagai tersangka, Setya Novanto tentu berhak mengajukan gugatan praperadilan. Ia juga berhak diperlakukan dengan semestinya bersandar kepada asas praduga tak bersalah. Itu semua semestinya berjalan di ranah penegakan hukum.
Surat yang dikirim secara resmi oleh pimpinan DPR menunjukkan arogansi politisi yang duduk di lembaga itu. Surat itu pun seolah mengkonfirmasi anggapan umum bahwa politisi di DPR lebih mementingkan hubungan kolegial ketimbang tanggung jawabnya kepada konstituen. Semua itu malah ikut semakin merendahkan DPR di mata warga negara, para pembayar pajak, dan para pemilih.
Lambannya pembahasan dan penyelesaian undang-undang; Pembangkangan terhadap UU ASN dalam urusan posisi Sekjen DPR; Kehadiran pimpinan DPR yang tidak patut dalam acara kandidat presiden Amerika Serikat; Penggunaan hak angket yang arahnya tidak memperlihatkan penguatan pemberantasan korupsi, adalah sejumlah hal buruk yang masih yang diingat publik. Pengiriman surat permintaan penundaan penyidikan untuk Setya Novanto, tentu saja menambah panjang persepsi buruk tersebut.
Sangatlah wajar pada Pemilu nanti ingatan-ingatan itu memengaruhi preferensi pemilih. Namun bukan itu patut kita cemaskan. Yang perlu dikhawatirkan adalah jika warga negara kehilangan kepercayaan kepada DPR.
Politisi dan partai politiklah yang seharusnya paling depan tanggap untuk mendudukkan kembali DPR sebagai lembaga negara terhormat. Kehormatan itu dibangun dengan kerja politik yang mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang hubungan kolegial. Juga dengan meningkatkan kinerja dan kompetensinya dalam menyerap aspirasi rakyat dan memperjuangkannya di ranah politik secara bermoral, dengan menghindarkan diri dari praktik korupsi, kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya.
Ketika seluruh anggota DPR berhasil meyakinkan warga negara bahwa mereka mendudukkan kembali DPR sebagai lembaga terhormat yang berpihak kepada rakyat, siapapun tak akan keberatan memanggil mereka dengan sebutan "Yang Terhormat". Namun bila sebaliknya, apa yang mesti dihormati.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/surat-itu-merendahkan-lembaga-dpr-yang-terhormat