Dalam lima tahun terakhir, sejak 2012 sampai 2016, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan peningkatan. Namun peningkatan indeks yang dirilis oleh Transparansi Internasional itu tergolong lamban.
Pada 2012 skor IPK Indonesia adalah 32. Tahun berikutnya, skor tidak berubah. Tahun 2014 skor meningkat 2 poin menjadi 34. Naik lagi 2 poin menjadi 36 pada 2015. Pada 2016 skor naik lagi 1 poin menjadi 37.
Selain lamban, sejak 1995 posisi IPK Indonesia berada di urutan bawah dan tengah di antara negara-negara yang disurvei oleh Transparansi Internasional.
Posisi IPK Indonesia di antara IPK negara-negara lain itulah yang juga sempat disinggung oleh Jaksa Agung M. Prasetyo dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi III DPR Senin (11/9) lalu. Saat itu Prasetyo membandingkan IPK Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Saat ini Malaysia mendapat skor IPK 49 dan menduduki peringkat 55 dari 176 negara yang disurvei. Singapura mendapat skor 84 dan menduduki peringkat 7. Sedangkan Indonesia memperoleh skor 37 dan menduduki peringkat 90.
Oleh Prasetyo, pembandingan skor dan peringkat IPK itu dikaitkan dengan pembandingan kewenangan lembaga antikorupsi di ketiga negara tersebut. Menurut Prasetyo, lembaga antikorupsi di Malaysia dan Singapura hanya mempunyai kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Meski tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan, lembaga antikorupsi di kedua negara itu berhasil mencapai skor dan peringkat IPK yang baik.
Hal itu berbeda dengan Indonesia yang, menurut Prasetyo, "Meskipun penindakan kasus korupsi dengan melakukan operasi tangkap tangan yang dilaksanakan di negara kita yang terasa gaduh dan ingar-bingar namun IPK indonesia dalam beberapa tahun ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan."
Di tengah manuver yang cukup gencar untuk menghadap-hadapkan KPK dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain saat ini, kita bisa melihat bias dalam pernyataan Jaksa Agung tersebut, selain ada nada sinisme di dalamnya. Seolah IPK identik dengan kinerja KPK.
Pernyataan Jaksa Agung itu menyiratkan bahwa dengan kewenangan yang dimilikinya -penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak mampu membuat skor dan peringkat IPK Indonesia membaik. Benarkah demikian?
Selain berlebihan, adalah tidak tepat jika KPK diposisikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perbaikan skor dan peringkat IPK negara kita. Lagi pula, IPK tidak melulu ditentukan oleh penegakan hukum saja.
Penegakan hukum, menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko dalam rilisnya, hanyalah satu indikator dari rantai IPK. Indikator lainnya justru terdapat pada sistem politik, penyalahgunaan sumberdaya publik, suap dan gratifikasi yang melibatkan aparatur negara dengan swasta. Oleh karena itu peningkatan skor IPK harus dipahami dalam keutuhan upaya perbaikan sistem rekrutmen pejabat publik, reformasi birokrasi, dan perbaikan rezim tata niaga.
Jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, lanjut rilis tersebut, kedua negara ini mempunyai keunggulan dalam perbaikan sistem dan manajemen pelayanan publik yang baik. Bukan hanya terbatas pada konteks penegakan hukum atas kasus korupsi.
Jelas, peningkatan skor dan peringkat IPK negara kita tidak semata-mata ditentukan oleh kiprah KPK. Lebih jauh lagi, tanggung jawab pemberantasan korupsi tidak semata-mata ada di tangan KPK. Kejaksaan, Kepolisian, juga kita semua harus terlibat di dalamnya.
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pemberantasan korupsi adalah keseriusan pemerintah dalam membenahi inspektorat. Sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah maupun aparat di berbagai lembaga negara memperlihatkan betapa lemahnya peran inspektorat.
Inspektorat seharusnya berperan besar dalam pengawasan. Namun saat ini seringkali justru inspektorat menjadi bagian dari masalah korupsi. OTT terhadap Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi adalah contohnya.
Kita boleh sedikit punya harapan. Aturan mengenai penguatan inspektorat sebagai lembaga pengawas internal pemerintah sudah selesai dibahas. Setidaknya, demikianlah diakui oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Kita berharap aturan tersebut segera bisa diwujudkan dan diimplementasikan.
Pembenahan-pembenahan di berbagai bidang jauh lebih berguna ketimbang menghabiskan energi untuk memperlemah KPK, dengan menghadap-hadapkannya kembali dengan lembaga penegak hukum lain.
Presiden sudah jelas-jelas menolak pelemahan KPK. Kapolri juga sudah menyatakan bahwa Polri tidak ingin berbenturan dengan KPK. Jaksa Agung pun sudah mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak berkeinginan memangkas kewenangan KPK dalam hal penuntutan.
"Selama ini kejaksaan adalah pendukung utama KPK," tegas Jaksa Agung seperti dikutip Kompas.
Semoga tidak ada lagi pihak yang tergoda oleh sejumlah manuver yang mencoba memperlemah KPK.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/indeks-persepsi-korupsi-bukan-cuma-urusan-kpk