Kesetaraan dan prioritas putra daerah

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Program Guru Garis Depan (GDD) menjadi salah satu bentuk nyata kerja pemerintah dalam memperkecil kesenjangan masyarakat yang tinggal di wilayah pinggiran dengan wilayah pusat pertumbuhan. Program GDD menyasar kebutuhan yang cukup besar atas guru berstatus pegawai negeri sipil di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.

Lewat program GGD, diharapkan, lahir para guru yang menjadi pelopor perubahan dan pencerah di daerah. Namun seperti diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, penempatan peserta GGD di daerah tak berjalan mulus.

Sejumlah kepala daerah yang semula meminta dan setuju dengan GGD, belakangan berubah pikiran. Salah satu alasan yang melatarbelakangi perubahan itu adalah semangat untuk mengutamakan pengangkatan putra daerah.

Kebijakan yang memberikan prioritas kepada putra daerah untuk mendapatkan peluang yang ada di daerahnya tampaknya menjadi kebijakan yang banyak diambil baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kebijakan untuk memberi prioritas kepada putra daerah terlihat, misal, dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini.

Upaya untuk memprioritaskan putra daerah itu bukan cuma berlaku dalam rekrutmen CPNS. Wakil rakyat yang duduk sebagai anggota DPRD maupun kepala pemerintahan daerah di sejumlah wilayah juga memberikan penekanan agar pihak swasta mengutamakan untuk merekrut putra daerah sebagai karyawan di perusahaannya. Kabupaten Berau bahkan menyiapkan nota kesepahaman yang harus ditandatangani pihak swasta, dalam kaitannya dengan rekrutmen tenaga kerja yang memprioritaskan putra daerah.

Mengapa putra daerah perlu diperlakukan lebih istimewa? Dalam sejumlah kasus, perlakuan yang lebih istimewa kepada putra daerah itu bersifat obyektif. Tak terhindarkan.

Hal itu terlihat, misal, dalam kasus pengunduran diri sejumlah guru yang semula tergabung dalam program GGD di Kabupaten Sintang. Sampai minggu ketiga Juli lalu, sudah 34 orang mengundurkan diri dari program tersebut. Mereka yang mengundurkan diri itu bukanlah putra daerah.

Medan yang yang berat dan kondisi wilayah yang serba terbatas menjadi alasan pengunduran sejumlah guru tersebut. Dalam situasi itu, sangatlah obyektif jika putra daerah lebih diprioritaskan untuk mendapatkan posisi tersebut ketimbang para pendatang. Putra daerah jelas lebih memahami kondisi daerahnya.

Selain dipengaruhi oleh kondisi obyektif seperti itu, kebijakan yang memprioritaskan putra daerah untuk memperoleh peluang yang tersedia justru lebih sering dilatarbelakangi oleh situasi subyektif daerah tersebut: untuk memenuhi kebutuhan warga daerah setempat dalam memperoleh pekerjaan.

Kebijakan yang lebih bersifat politis itu sering ditempatkan dalam kerangka program yang dikenal dengan sebutan affirmative action. Itulah program yang ditujukan untuk mengatasi hambatan--yang disebabkan oleh situasi tidak adil--untuk mencapai kesetaraan.

Memang harus kita akui bahwa masyarakat yang berada di pinggiran sangat senjang dengan masyarakat yang berada di pusat pertumbuhan. Keduanya jelas tidak dalam kondisi setara. Jika tidak dijembatani dengan program affirmative action, kesenjangan itu bisa memicu kerawanan dan ketidakstabilan sosial.

Memberikan prioritas kepada putra daerah, dalam konteks itu, sebetulnya masih bisa kita pahami sejauh kualitas dan kapasitas sumber daya manusianya (SDM) tergolong memadai untuk kebutuhan nyata daerah tersebut. Jika tidak, kebijakan yang memprioritaskan putra daerah itu harus diiringi dengan sejumlah strategi dan program yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas SDM daerah.

Tanpa disertai upaya peningkatan kualitas dan kapasitas SDM di daerah itu, kebijakan yang memprioritaskan putra daerah akan memberikan pengaruh buruk kepada dua pihak.

Pertama, kepada mereka yang tersisih karena tidak tergolong sebagai putra daerah. Meskipun dalam situasi tertentu bersifat positif, namun affirmative action tetaplah merupakan sebuah diskriminasi. Wajarlah jika hal tersebut menyisakan perasaan tidak fair.

Kedua, kepada daerah itu sendiri. Daerah tersebut terancam dikelola oleh mereka yang diperlakukan lebih istimewa, padahal tidak kompeten. Kita bisa membayangkan betapa berbahayanya arah sebuah wilayah yang dikelola oleh pihak yang tidak mempunyai kualitas dan kapasitas yang memadai untuk mengembangkannya.

Dalam kaitannya dengan membangun wilayah pinggiran dan melangsungkan otonomi daerah yang sehat demi memperkecil kesenjangan, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu memprioritaskan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas SDM di daerah, dengan menyediakan akses yang cukup kepada pendidikan.

Kebijakan yang memberi prioritas kepada putra daerah, maupun bentuk affirmative action lainnya, tak bisa terus menerus diberlakukan. Kesetaraan -dari sisi apapun- harus diraih. Dalam kesetaraanlah kita bisa berdampingan dengan adil.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kesetaraan-dan-prioritas-putra-daerah

Kontak