Berbeda pendapat itu wajar. Berbeda pandangan juga lazim saja. Dalam konteks mengelola pemerintahan, perbedaan-perbedaan semacam itu di antara para pejabat merupakan dinamika yang lumrah.
Masyarakat tidak akan mempersoalkan, dan tidak ingin mengakui sebagai persoalan, selama perbedaan dan pertentangan di antara pejabat pemerintah itu dibahas dan dirembug di dalam organisasi pemerintahan itu sendiri. Para pejabat pemerintah yang berniat mengabdikan diri kepada negara tentu akan lebih fokus kepada kekompakan tim dan penyelesaian-penyelesaian nyata ketimbang memperuncing pertentangan di antara mereka sendiri.
Kekompakan tim pemerintah bukan saja penting bagi pemerintah itu sendiri, melainkan juga bagi ketenteraman masyarakat. Pemerintahan yang tidak solid tidak akan dianggap mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik.
Sangatlah kekanan-kanakan, tidak profesional, dan melanggar kepatutan jika ada pejabat yang menyeret pertentangan yang terjadi di internal pemerintahan ke ranah publik. Bagaimana pun, dalam konteks bernegara, publik adalah ranah politik. Membawa persoalan internal dari tim pemerintahan ke area publik selalu mengandaikan kehadiran kepentingan-kepentingan politik -dalam bentuk permintaan dukungan atau penolakan politik dari publik.
Tentu saja, siapapun boleh berpolitik, bisa mempunyai kepentingan politik masing-masing. Namun sebagai sebuah tim yang mengelola dan menjalankan pemerintahan, para pejabat pemerintah sudah sepatutnya tidak membiarkan dinamika yang terjadi dalam timnya ke luar dari bilik pemerintahan.
Itu sebabnya kegaduhan terkait pengadaan senjata yang muncul di ujung September lalu sangat disesalkan. Seharusnya isu tersebut tidak disampaikan ke ranah publik, jika hal tersebut memang melulu terkait "masalah internal" saja. Terlebih kemudian isu tersebut tidak segera reda setelah Panglima TNI menghadap Presiden. Malah, kegaduhan berlanjut dengan isu impor senjata oleh Polri.
Di luar spekulasi dan imajinasi liar yang bisa muncul di tengah publik berkat isu tersebut, masyarakat menunggu ketegasan dan kejelasan pemerintah -bukan saja atas isu tersebut, melainkan juga atas kekompakan timnya. Kesolidan pemerintahan perlu dikonfirmasikan secara tegas dan cepat.
Presiden Joko Widodo tampaknya membaca keinginan masyarakat itu. Hal itu tampak dalam arahan Presiden saat membuka Sidang Kabinet Paripurna Senin (2/10) kemarin.
"Sebagai Kepala Pemerintahan, sebagai Kepala Negara, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, saya ingin perintahkan kepada Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing. Terus bekerja sama, terus bersinergi, jaga stabilitas politik, jaga stabilitas ekonomi," tegas Joko Widodo.
Dengan menyatakan secara eksplisit kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan, Kepala Negara, dan Panglima Tertinggi TNI, arahan tersebut mempunyai makna yang sangat penting. Terutama sekali karena tidak setiap saat Presiden Joko Widodo secara eksplisit menyatakan kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Baru tiga kali, termasuk arahan dalam sidang kabinet paripurna itu, Presiden Jokwo Widodo tercatat mengucapkannya secara eksplisit.
Presiden Joko Widodo untuk pertama kalinya menyatakan diri sebagai Panglima Tertinggi TNI pada saat menjelang penunjukan Panglima TNI yang akan menggantikan Jenderal Moeldoko pada 2015. Saat itu muncul polemik di tengah masyarakat tentang penggiliran pengisian jabatan Panglima TNI di antara angkatan-angkatan ketentaraan.
Jika mengikuti tradisi penggiliran angkatan yang sudah berlangsung sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, jabatan Panglima TNI pada 2015 itu akan diisi oleh Angkatan Udara. Namun Presiden Joko Widodo punya pilihan lain. Ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo, yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.
"Saya sampaikan bahwa pencalonan panglima hak prerogatif presiden. Saya gunakan kewenangan saya sebagai panglima tertinggi TNI untuk mencalonkan KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo," ujar Presiden Joko Widodo saat itu.
Untuk kedua kalinya, pernyataan tentang kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi TNI, disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada November 2016. Hal itu diucapkannya beberapa hari setelah aksi unjuk rasa yang berlangsung pada Jumat (4/11), dan di tengah desas-desus penggantian Panglima TNI -yang kemudian terbukti tidak benar.
"Sebagai Panglima Tertinggi TNI, saya telah memerintahkan agar tidak mentolerir gerakan yang ingin memecah belah bangsa, mengadu domba bangsa dengan provokasi dan politisasi!" kata Presiden Joko Widodo di hadapan prajurit TNI Angkatan Darat saat itu.
Melihat peritiwa-peristiwa yang menyertai latar belakangnya, ketiga pernyataan itu adalah isyarat yang disampaikan Presiden bahwa tak ada tempat bagi perpecahan dan adu domba dalam pemerintahannya. Pernyataan itu juga menyiratkan tuntutan Presiden agar para pejabat pemerintahan, yang menjadi bagian dari timnya, untuk memenuhi janji dan tugasnya.
Itu adalah isyarat yang lugas dan tegas, yang seharusnya sangat mudah dipahami oleh seluruh pejabat pemerintah, terutama para pihak yang bersengkarut pada isu senjata ilegal.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/mencermati-isyarat-dari-panglima-tertinggi