Adakah yang berani mengatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi di negeri ini perlu diperlemah dan dihentikan? Kiranya, tidak ada. Siapa saja yang tidak menginginkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini semakin baik? Semua warga negara menghendaki upaya pemberantasan korupsi semakin optimal. Itu pasti.
Namun apakah itu berarti harus ada detasemen khusus tindak pidana korupsi (Densus Tipikor) di tubuh kepolisian? Nanti dulu.
Densus Tipikor bukanlah gagasan yang baru muncul baru-baru ini. Yang pasti, gagasan itu selalu muncul dari para politisi yang duduk di lembaga legislatif.
Gagasan mengenai Densus Tipikor pertama kali mencuat pada Oktober 2013 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di tengah uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Pol Sutarman sebagai calon tunggal Kapolri saat itu. Ahmad Yani dan Bambang Soesatyo adalah dua anggota Komisi III DPR yang saat itu melontarkan gagasan tersebut.
Setelah menjadi Kapolri, Jenderal Sutarman sempat memperlihatkan kesungguhannya untuk membentuk Densus Tipikor itu. Namun belakangan, setelah menjadi polemik, Jenderal Sutarman memastikan bahwa Densus Tipikor tidak akan dibentuk.
Wacana mengenai densus sejenis muncul lagi tiga tahun kemudian, beberapa saat setelah Jenderal Tito Karnavian resmi menjabat Kapolri pada Juli 2016. Adalah Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, yang melontarkan gagasan itu. Fahri tidak menyebutnya sebagai Densus Tipikor, melainkan Densus Antikorupsi.
"Pak Tito ambil alih pemberantasan korupsi. Buat Densus Antikorupsi," kata Fahri saat itu. Lontaran gagasan itu berhenti begitu saja, tidak tampak berlanjut dalam pemberitaan.
Pada 2017 gagasan soal Densus Tipikor mencuat lagi di tengah ketegangan KPK dengan DPR, yang membentuk Pansus Angket KPK -menyusul pengadilan atas kasus korupsi e-KTP yang menyebut-nyebut begitu banyak anggota DPR.
Tepatnya, ide tersebut disampaikan kembali oleh salah satu anggota DPR dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kapolri pada Mei lalu. Desakan DPR kepada Polri untuk mebentuk Densus Tipikor bahkan menjadi salah satu kesimpulan rapat tersebut.
Berbeda dengan lontaran ide tersebut sebelumnya, kali ini Polri lebih terlihat lebih sungguh-sungguh mendalami desakan dari para politisi itu. Bukan cuma bersungguh-sungguh, Polri tampak cukup cepat meresponnya.
Lewat berbagai ekspose di media massa, publik mendapatkan kesan bahwa Polri semakin hari semakin siap mewujudkan Densus Tipikor seperti yang diminta para politisi. Tempat bagi unit kerja baru itu, misal, telah disiapkan -yaitu, gedung lama Polda Metro. Bahkan Polri sudah merancang dan berupaya agar Densus Tipikor bisa terwujud pada akhir tahun 2017 ini.
Anggaran operasional untuk unit kerja itu pun bahkan sudah diungkapkan pada pertengahan September lalu oleh Asrena Kapolri, Irjen Bambang S, dalam rapat dengan komisi III DPR. Besarnya mencapai Rp975 miliar. Itu untuk kegiatan operasional saja.
Belakangan Kapolri mengatakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk Densus Tipikor akan mencapai Rp2,6 triliun. Anggaran itu terdiri dari belanja pegawai yang mencapai Rp786 miliar, barang untuk operasional penyelidikan dan penyidikan Rp359 miliar, dan belanja modal Rp1,55 triliun.
Anggaran besar itu dengan asumsi bahwa penggajian anggota Densus sama dengan KPK; begitu juga dengan sistem anggaran penyelidikan dan penyidikan sama dengan KPK: menggunakan sistem ad cost.
Polri tampaknya sungguh menghendaki Densus Tipikor sama dengan KPK. Polri berharap Densus memiliki fungsi penuntutan sendiri seperti KPK, dengan penempatan tim jaksa di dalamnya.
Itu tampak dalam ungkapan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, "Yang kita harapkan sinergi dengan kejaksaan lebih baik seperti kita menangani dari awal sudah diketahui dan sudah disupervisi oleh jaksa. Sama-sama jalan dengan jaksa."
Tapi keinginan menjadikan Densus Tipikor sebagai sebuah sistem satu atap penyelidik, penyidikan dan penuntutan itu tampaknya susah diwujudkan. Kejaksaan Agung menolak untuk bergabung ke dalam Densus Tipikor.
"Saya juga ingin sampaikan bahwa kejaksaan dan jaksa tidak selayaknya ditarik untuk gabung dalam lembaga baru Polri tersebut," kata Jaksa Agung M Prasetyo. "Kami khawatir dengan adanya tumpang tindih dan terdegradasi satu sama lain institusi penegak hukum yang ada," tegasnya.
Tumpang tindih kewenangan antar penegak hukum -KPK, Polri dan kejaksaan- adalah salah satu hal yang dikhawatirkan dari kehadiran Densus Tipikor. Menarik kewenangan melakukan penuntutan ke dalam Densus Tipikor, misal, bisa menyalahi ketentuan KUHAP, seperti yang disinyalir oleh Dio Ashar Wicaksana, Ketua Divisi Data Peradilan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Semua warga negara pasti berharap Polri -seperti juga kejaksaan dan KPK- semakin memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Tapi, bagi Polri, tidakkah lebih baik hal itu dinyatakan dengan memperkuat Bareskrim yang membawahi Direktorat Tipikor?
Seperti diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat ini sudah ada 6 institusi yang mengawasi birokrasi. Tampaknya, akan lebih baik jika keenam institusi itu diperkuat ketimbang membentuk lembaga atau unit kerja baru.
Pemerintah memang sebaiknya bersikap sangat cermat dan hati-hati dalam menghadapi desakan para politisi di lembaga legislatif untuk membentuk Densus Tipikor. Kita tidak ingin niat baik untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi itu malah akan berbalik menjadi pelemahan karena menyediakan celah bagi pelanggar hukum untuk berkelit
Jika unit kerja semacam Densus Tipikor memang perlu dibentuk, sebaiknya didahului dengan kajian dan pendalaman yang lebih komprehensif dan melibatkan banyak pihak. Hal itu untuk memastikan tidak ada celah yang bisa meloloskan 'tikus-tikus' yang menggerogoti uang negara.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/menimbang-nimbang-densus-tipikor