Dalam Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla, yang tersedia di situs web resmi Presiden RI, reforma agraria dan perhutanan sosial disebut dalam program pemberdayaan yang masuk dalam lingkup pengentasan kemiskinan dan kebijakan afirmatif. Reforma agraria merupakan kebijakan penting yang ditunggu implementasinya oleh banyak warga negara.
Sayang sekali, sampai dengan tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan dan program yang terkait dengan reforma agraria dan perhutanan sosial itu dinilai sangat lamban. Pencapaiannya tidak sesuai dengan harapan. Pencapaian yang diperoleh saat ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada 2019.
Legalisasi aset masyarakat dengan target 3,9 juta hektar tanah, baru tercapai 323.733 hektar. Itu berarti baru 8,3 persen dari target.
Redistribusi tanah dengan skema pelepasan kawasan hutan saat ini baru mencapai 18,2 persen dari target. Yaitu 750.123 hektar, dari target 4,1 juta hektar.
Redistribusi tanah dengan skema hak guna usaha atas tanah terlantar baru terlaksana 46,49 persen dari target. Yaitu 185.985 hektar, dari target 0,4 juta hektar.
Perhutanan sosial baru terlaksana 13,8 persen dari target. Yaitu 1.053.477 hektar, dari target 12,7 juta hektar.
Darmin Nasution, Menko Bidang Perekonomian, mengakui lambannya realisasi kebijakan reforma agraria tersebut. "Ini adalah kebijakan yang sangat fundamental," kata Darmin, "tapi memang tidak mudah mewujudkan dalam jangka pendek."
Khusus perhutanan sosial, sejumlah persoalan -seperti disampaikan beberapa pengamat- berkontribusi terhadap kelambanan capaian target-targetnya. Rendahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk program perhutanan sosial itu, misal, berdampak kepada capaian target.
Masyarakat dilibatkan untuk mengusulkan wilayah yang akan menjadi perhutanan sosial. Syaratnya, wilayah tersebut harus clean and clear (CnC), tidak tumpang tindih dengan izin lain yang telah dikeluarkan untuk wilayah tersebut. Nyatanya, sangat sedikit wilayah yang tergolong CnC. Kalaupun ada, dalam beberapa kasus, wilayah tersebut dikeliling oleh lahan yang sudah mengantongi izin lain sehingga masyarakat susah untuk mengaksesnya.
Sayangnya juga, untuk area yang sudah terbebani izin, tidak ada terobosan yang bisa dipakai untuk menjadi model penetapan perhutanan sosial. Mekanisme kemitraan yang dipergunakan selama ini untuk situasi seperti itu ternyata tidak bisa menyelesaikan konflik yang terjadi.
Persoalan lain yang juga berkonstribusi kepada lambannya capaian program perhutanan sosial adalah koordinasi antar direktorat jenderal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun antar kementerian.
Pemerintah tampaknya sangat menyadari pentingnya peran koordinasi -bukan saja untuk program perhutanan sosial- untuk mempercepat upaya mewujudkan kebijakan di bidang reforma agraria secara keseluruhan. Itu sebabnya, pada Mei lalu, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan perlunya suatu sekretariat dan project management office (PMO).
Pembentukan sekretariat itu, menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, untuk mempermudah penyelesaian masalah yang mengganjal reforma agraria. Dengan sekretariat itu, kata Sofyan, semua masalah dibebankan pada kementerian yang membidangi.
Rencana itu diwujudkan pada pertengahan Oktober ini. Hal itu disampaikan oleh Lukita Dinarsyah Tuwo, Sekretaris Menko Perekonomian, sambil menjelaskan bahwa pembentukan sekretariat ini dilakukan untuk mempercepat proses reforma agraria yang penting untuk mendorong program kebijakan pemerataan ekonomi, pengurangan kesenjangan kepemilikan atau penguasaan lahan serta penurunan angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.
Yang mengherankan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjuk WWF Indonesia sebagai mitra untuk membentuk sekretariat bersama sebagai PMO. Mengapa harus WWF Indonesia?
Bukankah, seperti disampaikan oleh Menko Darmin sendiri, reforma agraria adalah kebijakan fundamental? Jika benar kebijakan fundamental, mengapa diserahkan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang merupakan bagian dari jaringan LSM internasional? Bukankah, untuk kebijakan sefundamental itu, seharusnya negara yang berada di depan?
Menjadi sangat wajar jika pilihan Kemenko Bidang Perekonomian itu mengundang kekhawatiran sekaligus kritik dari berbagai pihak -seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad dan sosiolog Imam Prasodjo. Demi mendapatkan kritik tersebut, Menko Darmin menyatakan akan mengevaluasi kerjasama kementeriannya dengan WWF Indonesia itu dalam satu dua hari ke depan.
Kita berharap, Kemenko Bidang Perekonomian bisa mengevaluasinya dengan lebih cermat, dengan mempertimbangkan aspek kebijakan fundamental tadi dan kesensitifan masalah reforma agraria. Kita tidak ingin upaya yang ditunggu-tunggu sejak lama ini menjadi mentah kembali karena pilihan kerja sama yang mengabaikan betapa sensitifnya segi sosial, politik dan ekonomi dari isu reforma agraria.
Tanpa polemik soal kerja sama Kemenko Bidang Perekonomian dengan LSM saja, kebijakan reforma agraria itu sudah berjalan lamban. Jika harus ditambah dengan polemik itu, kebijakan fundamental itu tidak mustahil bisa macet total.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/jangan-perlambat-reforma-agraria-dengan-polemik