Bijaklah dengan kewenangan besar di UU Ormas baru

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Bagaimanapun, fraksi partai pendukung pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jumlahnya lebih banyak ketimbang oposisi. Banyak orang sudah menebak, Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) akan disahkan menjadi undang-undang. Tebakan yang mudah itu terbukti.

Meskipun tidak berjalan adem ayem -melainkan penuh dengan perdebatan dan interupsi, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas akhirnya resmi disahkan di sidang paripurna DPR Selasa (24/10) kemarin. Mekanisme pengesahan itu berlangsung dalam proses voting fraksi.

Voting itu memperlihatkan tidak semua fraksi partai pendukung pemerintah setuju dengan pengesahan. Fraksi PAN, dengan jumlah anggota 42, menyatakan tidak setuju.

Sedangkan Fraksi Demokrat, selalu menyatakan diri sebagai partai penyeimbang, menyatakan setuju dengan pengesahan itu; namun dengan disertai catatan.

Fraksi PPP dan PKB, yang merupakan bagian dari fraksi partai pendukung pemerintah, juga menyatakan setuju dengan catatan.

"Dari anggota yang 314 setuju Perppu, dan 131 anggota tidak setuju, dengan total 445 anggota yang hadir terdaftar, dengan mempertimbangkan berbagai catatan fraksi, maka rapat paripurna menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi UU," ucap Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang memimpin sidang sambil mengetuk palu.

Sah.

Salah satu konsekuensi yang paling jelas dari pengesahan Perppu Ormas menjadi UU Ormas itu adalah bahwa berbagai gugatan atas Perppu Ormas yang diajukan oleh beberapa pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pasti tidak diterima. Dengan pengesahan itu, maka Perppu sebagai objek gugatan akan hilang.

Dalam kondisi begitu, seperti disampaikan juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono, "Biasanya amar putusannya tidak dapat diterima."

Konsekuensi lain dari pengesahan UU Ormas baru itu adalah bahwa Ormas-ormas yang sudah dibubarkan dengan menggunakan Perppu tersebut, tidak bisa diaktifkan kembali. Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu ormas yang dibubarkan dengan Perppu tersebut.

"Dengan diterimanya Perppu 2/2017 oleh DPR hari ini ada 3 konsekuensi hukum yang intinya: HTI sebagai ormas sudah tamat, tak bisa hidup lagi," tulis mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD lewat akun Twitternya.

Jalan yang bisa dipakai oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui UU Ormas baru itu belum tertutup. Pengajuan gugatan atas UU Ormas baru itu bisa diajukan ke MK. Partai Gerindra dan PAN menyatakan membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan ke MK.

Jalan lain adalah lewat revisi undang-undang tersebut. Beberapa fraksi memang menyatakan perlunya revisi atas undang-undang ormas baru itu. Untuk keperluan itu Badan Legislasi DPR menyatakan sudah menyiapkan slot di Program Legislasi Nasional 2018 untuk merevisi UU Ormas baru itu.

Dari satu sisi, harus diakui, UU Ormas baru tersebut memperluas batasan pengertian tentang paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, yang dalam uandang-undang sebelumnya hanya berfokus kepada Marxisme. Di sisi lain, UU Ormas yang baru itu memang patut dikritisi terkait kewenangan yang terlalu besar yang diberikan kepada pemerintah untuk mengontrol ormas.

Selama dalam perdebatan di DPR, ada tiga hal penting yang membuat Perppu tersebut dianggap perlu untuk direvisi. Pertama, pemerintah bisa membubarkan ormas tanpa melewati proses peradilan. Kedua, pemerintah bisa menafsirkan secara sepihak apakah sebuah ormas bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Ketiga, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anggota atau pengurus ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila itu dinilai sangat berat.

Selama ditujukan untuk penyempurnaan dan memperkokoh kesetiaan kepada Pancasila dan konstitusi, siapapun harus terbuka atas kemungkinan revisi-revisi perundangan.

Jalan menuju revisi dan penyempurnaan UU Ormas yang baru itu masih panjang. Sambil menunggu waktu itu, pemerintah harus menyadari bahwa pihaknya mendapat kewenangan yang besar untuk mengontrol dan mengendalikan ormas dari UU Ormas baru tersebut.

Bukan cuma berharap, warga negara pasti menuntut pemerintah untuk menggunakan kewenangan yang besar itu secara bijak. Kita tidak ingin pemerintah tergoda oleh kewenangan yang besar itu sehingga menggiringnya ke arah perilaku represif yang berlebihan dan tak terukur.

Hal itu harus diperlihatkan oleh pemerintah sejak menerima dan mencatatkan ormas, mengesahkan badan hukum, dan membina ormas. Pendekatan yang teliti dan bijak sejak awal itu bisa menjaga hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul; sekaligus bisa menghindarkan muncul dan membesarnya ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi -yang seharusnya bisa terdeteksi sejak dini.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/jangan-perlambat-reforma-agraria-dengan-polemik

Kontak