Rupanya Presiden Joko Widodo bisa marah kepada anggota kabinet. Begitu juga dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tidak sembarang marah, tentu. Nada marah muncul karena sejumlah menteri tidak mengindahkan peringatan yang sering disampaikan Presiden atau Wapres agar tidak saling berdebat secara terbuka di ruang publik terkait sejumlah kebijakan.
Perbedaan pendapat di antara para pejabat tinggi negara terkait kebijakan pemerintah sering tampak seperti dipertontonkan di depan publik. Bukan saja menimbulkan kegaduhan, hal itu juga membingungkan masyarakat.
Itulah sebabnya Presiden dan Wapres sering mengingatkan para menteri di kabinetnya. Peringatan itu selama ini disampaikan secara lisan. Namun karena peringatan lisan itu seolah diabaikan, Presiden dan Wapres merasa harus membuat aturan yang menyatukan suara anggota kabinet di depan publik.
Itulah, seperti diakui Wapres Jusuf Kalla, yang melatarbelakangi keluarnya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintahan.
"Kami ingin menghindari, jangan menteri tiba-tiba bicara tak sesuai kebijakan menteri lain agar masyarakat tak bingung," tandas Wapres seperti dikutip Kompas.
Inpres itu mempertegas bahwa simpul koordinasi berada di menteri koordinasi (menko). Kewenangan menko, untuk mengambil kebijakan strategis dan mempunyai dampak yang luas di masyarakat, diperkuat lewat Inpres tersebut. Setiap mengambil kebijakan, para menteri harus meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada menko.
Jika ada perbedaan pandangan terkait rancangan kebijakan, maka hal itu harus diselesaikan dalam rapat di bawah koordinasi menko. Jika tak ada kesepakatan pada fase itu, rancangan kebijakan wajib dilaporkan kepada Presiden untuk dibahas dalam rapat terbatas atau sidang kabinet paripurna. Mekanisme ini tampaknya untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi rancangan kebijakan yang bocor ke publik sebelum ditetapkan.
Masyarakat sungguh memaklumi bahwa perbedaan pandangan di antara pejabat pemerintah adalah hal yang lumrah. Masyarakat juga bahkan memahami perdebatan internal dalam menetapkan sebuah kebijakan itu menunjukkan keseriusan sebuah pemerintahan dalam menyusun aturan bagi masyarakat.
Namun jika perdebatan itu muncul di luar ruang rapat pemerintah, di depan masyarakat, maka kebingunganlah yang akan menjalar di tengah publik. Dugaan-dugaan liar dan beragam teori konspirasi -yang dipertanyakan keakuratan- mudah tersulut oleh ketidakkompakan anggota kebinet. Pada gilirannya hal tersebut mengembangkan kegaduhan yang mengganggu konsentrasi kita dalam membangun dan memajukan negara.
Perbedaan suara pejabat tinggi pemerintah atas suatu kebijakan yang diekspos di depan publik justru memberikan jalan delegitimasi terhadap pemerintah. Apapun yang disampaikan kepada publik oleh pemerintah haruslah suara yang utuh. Satu suara. Hal itu memberikan kepastian sikap, arah, dan kerja pemerintah di depan warga negara.
Kemunculan Inpres tersebut mencerminkan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla tampaknya memang mempunyai persoalan dalam pengelolaan komunikasi publik yang belum mampu diatasi sampai tahun ketiga pemerintahannya.
Problem pengelolaan komunikasi publik itu sudah terlihat pada awal pemerintahan. Masyarakat mencatat ketidakkompakan pemerintah dalam hal sumber pendanaan tiga 'kartu sakti' yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo: Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Saat itu Presiden dan Wapres menyebutkan sumber pendanaannya berasal dari APBN. Sementara Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, pendanaan ketiga kartu itu berasal dari dana CSR BUMN.
Namun pertentangan di antara anggota kabinet di era Presiden Joko Widodo yang mungkin paling diingat oleh masyarakat adalah perseteruan yang sangat terbuka antara Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan Menteri ESDM Sudirman Said yang menajam pada 2016. Masyarakat juga masih mengingat perdebatan antara Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Ketidakkompakan dalam kabinet bisa dirasakan dengan terang benderang oleh masyarakat karena komunikasi publik pemerintah tidak terkelola dengan baik.
Presiden Joko Widodo sebetulnya terlihat sangat memahami pentingnya pengelolaan komunikasi publik dan kekompakan di depan masyarakat. Pada akhir 2015, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, yang dikenal sebagai Inpres Narasi Tunggal.
Inpres itu memperlihatkan keinginan Presiden atas pengelolaan komunikasi publik yang tertata dan terkoordinasikan. Dalam beberapa hal, Inpres itu mengingatkan pengelolaan komunikasi publik di era Orde Baru: segala kebijakan pemerintah dikomunikasikan dalam narasi yang sama -yang biasanya hanya disampaikan oleh Menteri Penerangan dan Menteri Sekretaris Negara.
Pengelolaan komunikasi publik sesuai Inpres Narasi Tunggal itu mengasumsikan koordinasi yang baik di antara kementerian dan lembaga negara. Koordinasi bukanlah tugas yang mudah di tengah kuatnya ego sektoral.
Berhasilkah Inpres Narasi Tunggal itu? Dalam berbagai kasus, simpang siur informasi mengenai kebijakan pemerintah masih dirasakan oleh masyarakat. Pertentangan di antara pejabat pemerintah juga masih kita dengar, misal, dalam urusan impor senjata dan penyelesaian problematika di seputar alat transportasi berbasis aplikasi online.
Apakah Inpres yang mencoba menyatukan suara anggota kabinet dalam soal kebijakan pemerintah kali ini akan berhasil? Itu adalah pertanyaan besar bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Masyarakat tidak memedulikan apakah keberhasilan Inpres itu nantinya akan mendongkrak citra politik Presiden Joko Widodo, atau sebaliknya. Yang dibutuhkan masyarakat adalah kepastian dan kejelasan atas setiap kebijakan pemerintah. Tidak membiarkan anggota kabinet bersilang pendapat di hadapan umum adalah salah satu jalan yang memang harus diambil menuju arah tersebut.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/satukanlah-suara-agar-masyarakat-tidak-bingung