Dulu, cerita adalah warisan. Ia hidup dari mulut ke mulut, dari halaman ke halaman, dari satu ingatan ke ingatan lain. Cerita adalah cara manusia menyusun pengalaman, membaca waktu, dan mencari arah. Tapi hari ini, bahkan ketika kita diam, kita meninggalkan jejak. Dan jejak itu dibaca sebagai data.
Di era AI, batas antara cerita dan data menjadi kabur. Cerita yang kita tulis, ucapkan, unggah diproses sebagai data. Cerita itu diukur, dikalkulasi, diklasifikasi. Sementara data -angka-angka yang tersimpan di server- disusun menjadi narasi: grafik naik-turun menjadi bukti tren, statistik dibaca sebagai fakta sosial. Tapi di tengah percampuran ini, ada sesuatu yang perlahan terkikis: makna.
Lihat saja ketika seseorang menulis tentang kehilangan pekerjaan dan merawat orang tua yang sakit. Di mata manusia, itu pengalaman yang menyentuh. Tapi di mata sistem, itu sinyal. Pengalaman itu dianggap sebagai konten dengan tema "caregiver stress" dengan engagement tinggi. Maka tulisan itu didorong ke audiens yang serupa. Ia tidak lagi cuma sebuah kisah, tapi juga bahan pelatihan model. Bukan untuk memahami, melainkan untuk mengoptimalkan distribusi.
Dalam proses itu, nuansa hilang. Ironi, ambiguitas, ragu, diam -segala hal yang membuat cerita manusia berlapis- diringkas menjadi metrik: durasi baca, jumlah klik, kategori emosi. Sistem tidak peduli arti. Ia cuma mengenali pola. Maka, yang tidak sesuai pola dianggap tidak layak. Kalimat panjang terlalu lambat. Emosi rumit terlalu sulit diklasifikasi. Padahal justru di situlah letak kemanusiaan kita.
Sebaliknya, data juga makin sering dibingkai sebagai cerita. Kita mendengar: “80% masyarakat merasa…”, “data membuktikan bahwa…”. Tapi data tidak pernah bicara sendiri. Ia selalu butuh narator. Dan narator itu membawa sudut pandang. Kadang bijak. Kadang terburu-buru. Di tangan yang keliru, data bisa menjadi senjata penyederhanaan.
Yang tidak masuk ke dalam data, tidak akan masuk ke dalam cerita. Mereka yang hidup di pinggiran sistem, yang tidak punya akses digital, yang tidak dianggap penting oleh sensor dan statistik itu akan terlupakan. Dan ketika kebijakan publik ditentukan oleh data, yang tidak terekam bisa benar-benar terhapus. Inilah saat di mana cerita menjadi penting lagi, untuk mengisi celah antara angka dan kenyataan.
Sayangnya, di banyak institusi, cerita masih dianggap kalah kredibel dibanding data. Cerita dinilai subjektif, emosional, terlalu pribadi.
Tapi bagaimana kalau justru dalam subjektivitas itulah kita bisa melihat yang tidak tampak oleh grafik? Bagaimana kalau narasi personal bisa mengoreksi kesimpulan statistik yang keliru? Kita perlu berhenti melihat keduanya sebagai lawan, dan mulai menggunakannya sebagai dua cara membaca dunia.
Di balik setiap data, ada keputusan tentang apa yang dicatat dan apa yang diabaikan. Dalam pelatihan AI, keputusan itu menentukan bagaimana dunia direpresentasikan.
Tapi tidak semua data punya cerita. Banyak yang diputus dari konteks. Kalimat dikutip tanpa nada. Gambar diambil tanpa latar. Klik dicatat tanpa niat. Maka cerita-cerita yang dihasilkan AI pun jadi datar, seragam, dan normatif.
Kita sekarang hidup dalam ekosistem narasi yang disusun oleh prediksi algoritma. Segala hal yang kita lihat di layar, apa yang direkomendasikan untuk kita baca, tonton, beli itu disusun berdasarkan pola yang terdeteksi dari data sebelumnya.
Padahal manusia tidak hidup dalam pola. Kita berubah. Kita menyimpang. Kita tidak bisa dipetakan sepenuhnya.
Dalam dunia ini, muncul istilah yang mengganggu: data colonialism. Gagasan bahwa pengumpulan data besar-besaran oleh korporasi global mencerminkan relasi penjajahan gaya baru. Kita jadi ladang data. Cerita-cerita kita dijadikan bahan bakar bagi sistem yang tidak kita kendalikan. Kita bicara kepada mesin, dan gema suara kita dijual ke entah siapa.
Namun kita tidak sepenuhnya tanpa daya. Kita masih bisa memilih untuk tidak sekadar menjadi penghasil data, tapi juga penyusun makna. Kita bisa menciptakan ruang bagi cerita-cerita yang tidak cocok dengan algoritma. Cerita minoritas, cerita lokal, cerita yang tidak viral tapi penting. Ini bentuk perlawanan naratif. Dan ini penting.
Data bisa menunjukkan pola, tapi cuma cerita yang bisa menyingkap makna. Data mencatat gejala, tapi cerita menelusuri sebab. Maka di tengah krisis, kita tidak cuma butuh statistik korban. Kita butuh kisah kehilangan, keputusan, dan duka. Di tengah revolusi digital, kita tidak cukup paham cuma dengan membaca dashboard. Kita perlu mendengar suara yang belum tentu rapi.
AI bisa membantu menyusun fragmen, mengenali tone, menyusun pola. Tapi arti tetap milik manusia. Karena cerita, pada akhirnya, bukan tentang keteraturan data. Tapi tentang hidup yang dijalani—dengan luka, tawa, ragu, dan harapan. Tentang sesuatu yang tidak bisa dimodelkan, tapi bisa dirasakan.
Jadi, ketika cerita menjadi data, dan data menjadi cerita, kita perlu dua kecakapan sekaligus: literasi naratif dan literasi data. Belajar membaca angka tanpa kehilangan rasa. Membaca cerita tanpa lupa bertanya: siapa yang tidak masuk ke dalamnya?
Dan mungkin, kita harus kembali mengingat bahwa bercerita bukan sekadar berbagi. Tapi sebuah keputusan sadar untuk menjaga martabat kita sebagai manusia. Bukan di dalam datanya, tapi dalam cara kita memberi makna atas hidup yang tidak bisa disederhanakan.