Pak Koes, Terimakasih. Kami Sudah Tumbuh

"First Steps, after Millet" karya Vincent van Gogh

"Kamu dicari Pak Koes," kata seorang teman. Itu terjadi tahun 1987. Teman saya adalah salah seorang yang ikut dalam pertemuan antara pengelola Majalah Mahasiswa UGM Balairung dengan Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM waktu itu.

Saya cengengesan. Tidak percaya dengan omongannya karena beberapa alasan. Pertama, karena teman saya itu juga bicara dengan muka cengengesan. Dia pasti bercanda. Kedua, saya belum dekat dengan rektor. Belum lama saya menjadi reporter di majalah mahasiswa itu. Lagi pula  saat itu saya belum sering berurusan dengan rektorat.

Cengengesan saya tidak bertahan lama. Teman lain, juga pengelola Majalah Balairung, ikut nimbrung. Dia mengiyakan omongan teman yang tadi. Dahi saya berkerut.

"Kenapa?" Tanya saya.

Pak Koes, menurut teman saya itu, menanggapi pemberitaan yang diturunkan dalam Balairung edisi kala itu. Dia berpesan, pemberitaan majalah mahasiswa harus menggunakan bahasa yang baik.

"Jangan seperti berita yang bilang saya sewot. Siapa yang menulis berita itu?" tanya Pak Koes seperti ditirukan oleh teman saya tadi.

"Yayan, Pak"

"Mana Yayan?"

Konon, teman-teman cengar-cengir saja karena saya memang tidak ikut dalam pertemuan itu.

"Mosok saya dibilang sewot. Saya tidak sewot. Saya hanya meminta kalian menggunakan cara yang baik dalam menyampaikan pendapat," konon begitu pak Koes menjelaskan.

Ya, saya memang menulis berita tentang Menppora Akbar Tanjung yang waktu itu berkunjung ke UGM. Di Gelanggang Mahasiswa UGM digelar acara untuk mempertemukan Akbar dengan para mahasiswa. Saya lupa persisnya kejadian itu, tapi malam itu Akbar sempat disoraki dan dicemooh oleh para mahasiswa yang hadir. Pak Koes kelihatan gusar dengan kelakuan para mahasiswa yang dianggapnya tidak sopan. Dia mengambil alih mikropon dan -dengan suara tegas- meminta mahasiswa untuk bersikap sopan. Ya, saya memang mememilih kata "sewot" dalam berita itu untuk menggambarkan reaksi Pak Koes.

Terus terang, kaget juga mendengar kabar itu dari teman-teman. Bukan karena Pak Koes tidak suka kata "sewot". Saya kaget karena baru tersadar bahwa rektor kami yang satu ini sungguh memperhatikan mahasiswanya. Dia menyempatkan diri membaca majalah yang diterbitkan oleh para mahasiswa. Saya tidak yakin bahwa rektor-rektor yang lain di era itu punya perhatian kepada para mahasiswanya.

Saya yakin, Pak Koes tidak marah dalam pertemuan dengan pengelola Balairung saat itu. Dia memang sering bicara blak-blakan dengan para mahasiswanya. Dia dikenal terbuka dan hangat. Bukan pemarah.

Diwarnai dengan logat sundanya, sesekali memang terdengar suara Pak Koes agak keras. Seperti sore itu, ketika saya diseret Marjono -teman saya yang juga suaranya sangat keras- untuk bertandang ke rumah dinas rektor. Marjono meyakinkan saya agar bertemu dengan Pak Koes untuk  menyampaikan beberapa gagasan yang sempat kami rembug malam sebelumnya.

"Ngawur. Kalian ini siapa? Yang realistis saja," suara Pak Koes agak meninggi sambil kemudian disusul dengan suara tawanya yang khas. Padahal pada detik-detik pertama obrolan, suara Pak Koes sangat rileks.

Kami berdua -lagi-lagi- cengengesan. Ya, baru saja Marjono menyampaikan gagasan yang kami obrolkan semalaman: mengundang Gorbachev -Presiden Uni Soviet waktu itu- ke UGM. Maklum saja, waktu itu perestroika-nya Gorbachev masih hangat.

Pak Koes selalu mau mendengar omongan kami -para mahasiswanya. Bahkan gagasan yang tidak realistis sekalipun -seperti mengundang Gorbachev tadi- akan dia dengarkan dulu untuk kemudian dia tanggapi. Dia bahkan selalu siap membuka pintu bagi para mahasiswanya hampir setiap saat. Sama sekali dia tidak tergolong birokratis.

Pernah suatu siang saya cukup panik karena pada sore hari kami -para pengelola majalah Pijar Fakultas Filsafat UGM- harus berangkat ke Kaliurang untuk menyelenggarakan pelathan jurnalistik internal. Celakanya, sampai siang, kami tidak berhasil mengumpulkan uang untuk melunasi biaya sewa rumah yang dijadikan tempat pelatihan. Dana yang diterima dari Bidang Kemahasiswaan Fakultas Filsafat jelas tidak cukup untuk menyelenggarakan acara itu. Donatur pun nyaris tak ada.

Andalan terakhir: mengetuk pintu rektorat. Meskipun tanpa perjanjian sebelumnya dan serba mendadak, Pak Koes mau bertemu dengan saya dan teman-teman.

Sebentar saja saya menyebut latar belakang prolem yang kami hadapi. "Kami butuh tambahan dana, pak," saya lagsung tembak.

"Tidak punya dana kok bikin acara?"

"Tadinya kami pikir akan mendapat sumbangan dari alumni," saya berkilah.

"Alumni? Apa alumni filsafat punya dana?" Pak Koes tertawa kecil.

Muka saya mungkin berubah agak merah. Dia benar. Kami terlalu berlebihan jika berharap mendapatkan donasi yang cukup dari alumni Fakultas Filsafat waktu itu. Dengan dibumbui marah seorang bapak kepada anak-anaknya yang grasa-grusu bikin acara, toh tidak butuh waktu lama bagi Pak Koes untuk meluluskan permintaan kami.

"Sudah ijin kepolisian?" Pertanyaan itu tiba-tiba muncul menjelang kami pamitan.

"Belum, Pak"

"Waduh! Kalian ini bagaimana? Kalau kegiatan di dalam kampus, saya bisa jamin. Tapi kalau di luar kampus seperti ini, kalian harus ijin polisi." Pak Koes urung berdiri.

Kami diam.

"Kalau ada apa-apa, telepon saya! Ke kantor atau ke rumah."

"Baik, pak"

"Punya kan nomor telepon saya?"

Teman-teman memandangi saya. Saya mengangguk. Saya memamg menyimpan nomor-nomor penting. Nomor telepon Pak Koes adalah salah satunya.

Mengenang Pak Koes adalah mengenang semangat keterbukaan dan rasa percaya diri. Mereka yang pernah kuliah di UGM pada era kepemimpinannya akan merasakan kerja keras Pak Koes dalam menumbuhkan rasa percaya diri mahasiswa sebagai intelektual muda.

Pada minggu-minggu pertamanya sebagai rektor, di setiap kesempatan bertemu dengan para mahasiswa, Pak Koes berulang-ulang menyindir kegiatan yang melibatkan mahasiswa hanya sebagai panitia penyelenggara saja. Ya, di hampir setiap kegiatan mahasiswa, para mahasiswa hanya akan mengambil porsi sebagai panitia, pembawa cara, penerima tamu, atau seksi konsumsi saja. Seingat saya, memang begitulah kondisinya sebelum Pak Koes menjadi rektor.

Kondisi mahasiswa berubah total sejak dia mempmpin UGM. Ada semacam policy (saya lupa, apakah ini tertulis atau tidak) yang mewajibkan setiap acara seminar atau diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa harus menyertakan mahasiswa sebagai pembicara. "Kalian adalah intelektual muda," Pak Koes selalu mengingatkan kami begitu. Inilah masa permulaan kebangkitan kepercayaan diri di kalangan mahasiswa. Mahasiswa mana yang tidak bangga duduk bersanding dengan dosen, para ahli dan pakar di sebuah seminar atau diskusi di era itu?

Policy ini membuat kami -para mahasswa- melahap buku banyak-banyak; menulis makalah secermat mungkin; mengasah argumentasi dengan diskusi-diskusi kecil di berbagai tempat; bekerja keras untuk menjernihkan retorika kami. Kami harus benar-benar siap sepanggung dengan para ahli!

Sebagai orang yang pernah menjadi aktivis pers mahasiswa, Pak Koes tampaknya tahu betul bahwa pers mahasiswa bisa menjadi tempat yang baik bagi tumbuhnya daya kritis dan intelektuaitas anak muda. Silakan dicatat, dalam era kepemimpinan Pak Koes-lah pers mahasiswa berkembang subur, independen, dan hidup penuh percaya diri.

Jangan salah, Pak Koes bukan cuma memberikan dukungan kepada aktivis pers mahasiswa saja. Dia memberikan dukungan yang sama kepada unit-unit kegiatan mahasiswa lainnya. Para penghuni Gelanggang Mahasiswa UGM akan menganggukan kepala bersepakat, "Pak Koes tidak pernah pilih kasih".

Seseorang, yang nomornya tidak tercatat di handpone saya, malam ini mengirimkan pesan singkat, "Sembari menunggu kabar tentang beliau, mari kita berdoa untuk Bapak Koesnadi Hardjasoemantri" Pesan itu bertanda waktu 07.03.07 21:23. Tadi pagi pesawat Garuda rute Jakarta - Yoga terbakar. Dan Pak Koes adalah salah satu penumpangnya.

Beberapa jam kemudian, bertanda waktu 08.03.07 00:35, sebuah pesan singkat kembali masuk, "Jam 22:30 Kel. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri mengidentifikasi jenasah. Secara resmi keluarga yakin, salah satu jenasah adalah jenasah Pak Koes"

Siapapun pengirim pesan itu, dia pastilah salah satu dari kami -anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kampus yang hangat, egaliter, kreatif, independen dan penuh percaya diri: kampus Koesnadi Hardjasoemantri.

Pak Koes, selamat jalan.

Pak Koes, terimakasih. Kami sudah tumbuh.

Jaringan

Kontak