Anak muda ini cekatan sekali memberi saran untuk hampir segala urusan pembelian smartphone di toko tempat dia bekerja. Untuk urusan pembayaran, misal, dia menyarankan menggunakan kartu kredit. “Harganya lebih murah, dan dapat cash back juga,” begitu alasannya.
Untuk urusan jenis handphone yang sebaikya dibeli, dia terlebih dulu akan bertanya soal kebiasaan dan kedoyanan si calon pembeli. Barulah setelah itu ia akan menyarankan calon pembelinya untuk memilih beberapa jenis smartphone.
“Kalau tidak untuk main game, atau tidak banyak membuka aplikasi, smartphone yang ini sudah sangat bagus. Prosessornya quad core dan RAM-nya sudah 1,5 Gb,” katanya sambil menimang smartphone berukur 5 inchi.
“Ada yang RAM-nya 2 Gb?”
“Ada. Tapi kalau membeli smartphone sebaiknya jangan cuma melihat RAM-nya. Yang menentukan kecepatan itu prosessornya. RAM kan cuma untuk menyimpan aplikasi,” katanya sambil menyodorkan smartphone jenis yang lain.
Saya manggut-manggut.
Giliran soal baterai, anak muda yang rambutnya berpomade itu menyarankan, “Kecuali sangat terpaksa sekali, hindari mengisi baterai smartphone dengan charger di mobil supaya baterai lebih awet.”
Sebelum saya sempat bertanya lagi, anak muda ini sudah begitu cekatan memberi wawasan baru, “Listriknya kan beda. Kalau listrik di rumah kan dari PLN. Kalau yang di mobil kan listriknya dari bensin.”
Saya manggut-manggut lagi. Siang itu baru pukul setengah tiga. Magrib masih lama.