Fenomena

Maaf, Saya Harus Kembali Ke Kamar Saya

"High Society" karya Jean Mirre

Malam ini saya sudah ada di luar kamar saya, baru saja beranjak beberapa meter dari pintu rumah. Ada dua undangan yang menghendaki kehadiran saya pada jam yang sama. Satu undangan berasal dari BPMHF-UGM, untuk berdiskusi. Undangan lainnya disampaikan oleh Kelompok Pecinta Malam Jum'at, dimana saya bergabung sebagai aktivis yang harus 'memperjuangkan' konsep kekeramatan Malam Jum'at.


Kalau anda menjadi saya, saya yakin, anda tak akan kalah bingung untuk menentukan pilihan mana yang harus saya ambil. Sebab keduanya mempunyai signifikansi masing-masing bagi diri saya. Meskipun keduanya mempunyai watak yang sangat berbeda dalam kedudukannya sebagai bentuk "kebersamaan manusia. Jadi, mana yang harus saya pilih? Atas dasar apa pilihan saya diputuskan?

Lepas apa pun yang kemudian saya pilih, persoalan di atas merupakan contoh fiktif kegelisahan orang untuk menentukan kebersamaannya dengan sesamanya. Dan sekaligus menunjukkan adanya dua watak modus kebersamaan yang berbeda. Fuad Hassan membedakan keduanya sebagai KITA dan KAMI.

Dan kalau perbincangan kita malam ini berkisar pada persoalan kelompok, maka pertanyaannya: Dimanakah kelompok harus dimasukkan dalam 'kebersamaan itu ? KITA-kah atau KAMI-kah ? Untuk menjawabnya baiknya kita lihat unsur-unsur yang membentuk sebuah kelompok.

Yang pertama-tama memebedakan kelompok dan bukan-kelompok adalah adanya pihak ketiga atau dalam bahasa William Graham Sumner disebut sebagai Kelompok Luar (out-group). Siapakah pihak ketiga dihadapan masing-masing individu dalam satu kelompok, menentukan jenis pemihakannya. Tak akan ada Kelompok Pecinta Lingkungan kalau tidak ada pihak ketiga yang merusak lingkungan. Tidak ada Kelompok Anti-Kekerasan tanpa pihak ketiga yang sering melakukan tindak kekerasan, dan sebagaiya. Oleh karenanya kebersamaan kita malam ini dalam forum diskusi tidak bisa dikatakan sebagai kelompok, melainkan sebagai forum saja. Sebab diantara kita masing-masing malam ini belum tentu menunjukkan pihak ketiga yang sama.

Unsur berikutnya adalah tujuan bersama dalam kelompok itu sendiri yang bersifat ideologis. Tidak bisa dibaiik bahwa pihak ketiga muncul karena mempunyai tujuan-bersama. Malah, dari adanya kesamaan tentang pihak ketiga yang sama maka segera dibangun dan dirumuskan tujuan-kelompok yang bersifat ideologis. Sebuah forum diskusi bukan merupakan kelompok dengan alasan yang sama; bahwa forum tersebut tidak mrmpunyai tujuan-bersama yang bersifat ideologis.

Dengan adanya tujuan-kelompok maka dibutuhkan pula koordinasi ataupun kontrol untuk mencapainya. Kalau pun pada malam Ini ada koordinasi dalam diskusi kita namun tidak terarah pada tujuan-kelompok. Dengan demikian harus dibedakan antara pengaturan yang bersifat strategi dan taktik kelompok dengan pengaturan yang bersifat menghindari anarkhisme dalam sosialitas yang lebih besar.

Koordinasi maupun kontrol dalam kelompok sebetulnya bisa mengandaikan telah terbentuknya elit kelompok, yang menjadi unsur berikutnya dalam kelompok. Munculnya elit dalam sebuah kelompok di satu pihak muncul secara alami, namun di pihak lain bisa pula merupakan hasil yang telah dikondisikan terlebih dahulu. Dengan demikian dalam suatu kelompok, telah terjadi pembagian yang seringkali kontras antara elit kelompok dan anggota kelompok mayoritas biasa.

Elit-kelompok tidak saja mempunyai keweangan yang lebih besar dalam kerja koordinatif namun seringkali pula menjadi isntasi penentu arah, warna, kebijaksanaan penting kelompok tersebut.

Unsut-unsur kelompok tersebut jelas mempunyai konsekuensi tersendiri buat Aku indiovidu yang masuk di dalamnya. Seorang anggota kelompok yang fanatik akan dengan totalitas penuh menghayati koinsekuensi-konsekuensinya. Kenapa Aku harus masuk dalam sebuah kelompok dengan konsekuensi-konsekuensi yang tak jarang sangat berat.

Dalam analisis filsafat sosial, manusia individu memasuki kebersamaannya justru ntuk mengukuhkan eksistensinya, Manusia adalah diirinya dan sesamanya. Manusia soliter hanya mungkin dalam teori, tapi tidak dalam praktek. Bahkan secara ekstrim, manusia soliter adalah fiktif. Begitulah, filsagaty sosial.

Namun hal ini perlu pemerincian yang lebih jika diproyeksikan kepada asal-muasal kelompok dan alasan afiliasi individu terhadap suatu kelompok. Watak khas afiliasi individu ke dalam sebuah kelompok adalah posisi individu yang konfrontatif dengan pihak ketiga. Aku soliter merasa tidak mungkin bisa mengatasi pihak ketiga. Oleh karenanya Aku-solitter perlu bergabung dengan suatu kelompok untuk membangun kekuatan agar bisa mengatasi pihak ketiga. Kelompok, dengan demikian, terbentuk karena adanya daya yang mendorong orang lebih dari sekedar survive melainkan juga sekaligus sebagai ungkapan kodrat-kehendak-orang-untuk-menguasai.

Keuntungan yang bisa dipetik individu dari kelompoknya itu harus dibayar degan sekian pemenuhan konsekuensi-konsekuensinya sebagai anggota kelompok. Yang paling awal diminta dari seorang individu yang memasuki sebuah kelompok adalah bahwa ia harus rela menyerahkan semua ciri dan tanda pribadi, dan menjadi bagian dari sesuatu yang maha besar, agung dan kokoh tak terobohkan -yakni kelompok. Aku yang baik tidak pernah ada; yang ada adalah Kelompokku yang baik. Tidak ada pula pihak ketiga yang baik. Relasi individu-individu anggota kelompok terhadap pihak ketiga hadir secara bermusuhan.

Namun untuk ke dalam kelompok itu sendiri, anggota kelompok harus menjaga kerukunan dan ketertiban dianatara mereka. Solidaritas antar anggota merupakan kewajiban untuk mempertahankan kelompok. Berhadapan dengan tujuan-keiompok, individu harus setia, rela berkorban, taat dan poatuh pada garis koordinasi kelompok, dan bahkan pada tingkat tertentu kelompok dicirikan dengan kultus kepada elit kelompok. Keluar dari konsekuensi-konsekuensi itu berarti out-group; dan pada sisi tertentu tidak jarang berarti bunuh-diri.

Tujuan-kelompok untuk mengatasi pihak ketiganya, memang, kemudian menjadi sangat transenden. Dengan demikian tidak jarang sebetulnya dalam kelompok yang terpenting adalah sistem dan struktur, bukan manusianya. Apakah akan jatuh korban di pihak Kelompok Pecinta Lingkungan Green Peace, misalnya, dalam sebuah aksinya, tidaklah menjadi soal yang penting sekali. Bahwa saya akan mati ketika menabrakkan bom mobil saya ke benteng musuh, tidaklah menjadi soal bagi seorang anggota milisi yang terlibat pertempuran di Timur Tengah. Tujuan kelompok mengatasi eksistensiKu. Pada saat inilah sebetulnya terjadi pembalikkan: pada mulanya kelompok merupakan alat yang Kupunya demi tujuanku, namun pada gilirannya justu Aku yang menjadi alat kelompok demi tujuannya. Kelompok adalah person yang tak berwajah.

Di dalam kelompok, manusia boleh jadi sebetulnya tidak bisa merealisasikan dirinya sebagai eksistensi. Konsekuensi menunjuk manusia sebagai eksistensi adalah kepercayaan kita terhadap keunikan individual dalam menghayati hidupnya, mengafirmasi diri, mengaktualisasi diri sebagai subyek, sebagai manusia. Ini tak bisa didapati dalam suatu kelompok, dimana "individu terjerat dalam eksistensi anonim yang memaksanya ke arah reduksi-diri dan bisa berkesudahan pada alienasi diri". Individu dalam kelompok hanya tampak dalam fungsi koordinatifnya. Meskipun hal ini bisa tidak menimpa elit kelompok.

kelompok merupakan lingkungan atau cara-berada-bersama yang tepat bagi manusia individu yang gagal atau mengalami kesukaran untuk mengaktuliisasi diri, yaitu individu yang menghayati ancaman kesendirian atau solitaritas. Sampai di sini, sebetulnya sudah tampak bahwa kelompok termasuk modus kebersamaan KAMI, bukan KITA. Sebab dalam KITA, manusia harus menunjukkan Namanya, Subjektivitasnya dan tidak saling menguasai.,

Dari sini pula saya harus bingung. Saya hatus melihat kembali afiliasi saya dalam Kelompok Pecinta Malam Jumat itu. Saya harus bertanya, “Apakah saya cuma onderdil dari suatu mesin besar kelompok itu?” “Dan bagaimana seharusnya manusia dituntut dalam hidupnya?" "Adakah realisasi emansipasi dalam sebuah kelompok ?". Dan yang lebih penting, sebelum saya rela berkorban buat Kelompok Pecinta Malam Jumat itu, saya harus sangat tahu terlebih dahulu apa tujuan-kelompoknya tanpa unsur manipulasi-psikologis maupun manipulasi dari elit kelompok-saya. Ah, saya kira, saya harus kembali ke kamar saya sebelum malam Jum'at semakin larut, dan sebelum saya semakin tidak mengerti diri saya dalam Kelompok Pecinta Malam Jum'at.

Selamat malam.

Karang Wuni, 12 Oktober 1989.

BAHAN BACAAN:

  • Dann Suganda MPA, Koordinasi, alat pemersatu gerak administrasi, Interraedia, Jakarta, 1988.
  • Eric Hoffer, Gerakan Massa, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988.
  • Fuad Hassan, Kita dan Kami, suatu analisis tentang modus dasar kebersamaan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974
  • K.J. Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1986.


Artikel ini adalah makalah kecil untuk diskusi rutin Biro Pembelaan Hak-hak Mahasiswa Fak. Filsafat UGM

Jaringan

Kontak