SETELAH sekian jam disuguhi segala macam konflik, maka yang sangat ditunggu-tunggu penonton wayang adalah goro-goro. Babak ini jadi semacam ritus pembukaan katub ketegangan yang berkumpul pada babak-babak sebelumnya. Ketegangan yang dimaksud bisa merupakan ketegangan-ketegangan dalam lakon wayang ini sendiri, bisa juga berasal dari proses pementasan itu sendiri.
Juga dalam babak ini semua tokoh yang telibat dalam pementasan (termasuk penonton) mendapat citra pembebasan. Sudah pasti salah satunya adalah pembebasan dari ketegangan psikologis. Namun sekaligus juga dapat merupakan pembebasan dari kaidah-kaidah konvensional. Dalam arti, tak pernah ada goro-goro yang resmi. Wilayah tema dan ruang cerita menjadi sangat cair. Lewat tokoh-tokoh punakawan, sang dalang bisa melarikan tema perbincangan kekuasaan dalam lakon yang dibawakannya ke proses pementasannya sendiri: mulai dari sosok keluarga pandawa sampai sosok pesindennya sendiri, mulai dari persoalan universal sampai ke yang kontekstual.
Alat yang dipakai dalam goro-goro sebagai pembawa citra pembebasan adalah kritik. Bahkan boleh jadi kritik bukan lagi sejenis alat yang 'sunnah' dalam goro-goro, melainkan 'wajib' hukumnya. Ini wajar saja. Sebab secara fenomenologis kritik merupakan satu-satunya kegiatan manusia yang dilakukan selalu dengan tujuan progresif.
Dengan kritik, segala kewajaran dipatahkan: dijadikan sesuatu yang tidak lazim. Di dalamnya dituntut ruang yang cukup untuk proses rethinking, mengkaji ulang. Pola dialektis merupakan kerangka logisnya. Semuanya berjalan agar ditemukan hubungan-hubungan baru, yang dengan demikian mengantarkan manusia ke wilayah-wilayah kreativitas hidup yang baru pula. Tanpa kritik, tak seorang pun berhak memberi penilaian baik buruk, benar salah, indah jelek. Tanpa kritik, manusia menyentuh titik absurd hidupnya.
Sebagai pelepas ketegangan, kritik dalam goro-goro mendapat pulasan yang khas. Kritik diberi nuansa tawa yang agak dominan. Seseriua apapun sebuah kritik dalam babak tersebut sangat jarang mampu membuat muka merah padam karena amarah. Segala kritik terlontar masuk ke dalam suasana gembira dan bercanda. Kritik gaya goro-goro muncul dari dan ke sikap lapang dada.
Oleh karenanya banyak orang di republik ini sepakat untuk menjadikan goro-goro sebagai patron bentuk penyampaian kritik yang layak kultural dalam kehidupan sosial politik. Goro-goro menyajikan kritik yang tahu tata rama, bukan kritik asal pedas.
Bahkan goro-goro telah menjadi referensi kultural bagi bentuk-bentuk penyampaian kritik yang selama ini hidup dalam kehidupan sosial republik ini.
Kita sangat maklum dan tidak cepat naik darah dengan kritik-kritik nakal para kolumnis di berbagai koran dan surat kabar, seperti Mahbub Djunaidi,Goenawan Muhammad, atau Emha Ainun Najib. Di dunia tarik suara, cubitan-cubitan kritis pun dapat didengar dari suara nakal Iwan Fals, Tom Slepe, atau Doel Sumbang pada awal karirnya. Sementara jagat teater belakangan ini juga mengadopsi konsep goro-goro. Lihat saja Teater Gandrik di Yogya atau Teater Koma di Jakarta, misalnya.
Kemampuan
Meskipun demikian, sebagai alat menuju langkah-langkah yang maju, kritik dalam goro-goro tidal menemukan kemampuannya yang optimal. Ia tak mampu 'menggebuk' orang agar benar-benar tersadar unutk berdialog, melainkan hanya mampu menunggu tidur sebentar saja dengan cubitan: tak mampu menggali realitas yang lebih dalam.
Goro-goro menyajikan kritik tanpa analis. Semua fenomena yang diangkatmasih sangat permukaan. Kritik-kritiknya sering kali tanpa fokus, bahkan tanpa sistematik. Segala hal yang terlihat, terasa, teringat dan terpikir oleh pelakunya (dalang, aktor, teater, penyanyi, atau kolumnis) saat itu juga sangat mungkin mendapat jatah kritik secara spontan.
Terutama dalam jagat teater belakangan ini, etos goro-goro menjebak kritik hanya menjadi alat unutk menggiring orang menuju tawa. Tema-tema yang sangat potensial menuju konsep kritis yang mendalam tiba-tiba lumer jadi bahan lawakan. Dengan demikian para pembaca, pendengar, maupun penonton jarang diajak menuju pengendapan persoalan. Dalam goro-goro kritik lebih sering dimandulkan oleh tawa(baca: semangat melucu).
Ini tidak berarti bahwa goro-goro menjadi tidak penting. Sebagai tradisi, goro-goro merupakan referensi kultural yang masih berharga bagi budaya kritik republik ini. Betapa pun, latar kultural kita tidak terlalu kaya oleh tradisi kritik. Budaya patuh agaknya memang lebih kuat dari pada budaya kritis. Ranggawarsita dalam Kala Tidha mengingatkan kita bahwa tradisi perlawanan terhadap budaya patuh hanya mengambil bentuk dalam sikap asketik, yang tak jarang lebih tampak fatalistik.
Oleh karenanya seminimal apapun kemampuan goro-goro dalam membangun budaya kritik yang mendalam, selayaknya tetap dijaga dari kepunahan,. Bahkan goro-goro selayaknya dijadikan modal awal bagi budaya kritik yang lebih baik, sejalan denga semangat keterbukaan yang belakangan ini sering disebut-sebut.
Jika suatu ketika kritik gaya goro-goro juga mendapat sensor yang agaknya berlebihan, maka budaya kritik masyarakat boleh jadi akan semakin tipis. Jika referensi kultural yang populer ini tiba-tiba hilang dari perpustakaan kehidupan masyarakat, kritik suatu saat boleh jadi juga tak akan pernah ada dalam ingatan. Dan itu artinya bahwa political will menuju keterbukaan terasa sebagai 'sopan-santun berwajah ganda'.
Sebab, pilihan banyak orang terhadap goro-goro sebagai bentuk penyampaian kritik bukan semata-mata disebabkan oleh minimnya pengetahuan akan pilihan bentuk penyampaian kritik lainnya. Melainkan goro-gorolah yang paling membuka peluang bagi kritik dari pada yang lainnya. Menutup kesempatan masyarakat unutk ber-goro-goro tidak mengadaikan bahwa masyarakat akan memilih bentuk penyampaian kritik yang lebih optimal. Justru akan lebih membimbing orang untuk menjauhi segala macam kritik apapun.
Bisa dibayangkan, apa jadinya jagat pewayangan tanpa babak goro-goro? Tanpa goro-goro, bukan semat-mata berarti bahwa penonton kehilangan kesempatan untuk melepaskan ketegangan. Bukan pula berarti bahwa para penikmat wayang tertutup untuk mencapai pembebasan. Bahkan tanpa goro-goro, tak pernah ada pementasan wayang. Secara filosofis, pertunjukan wa-yang mengajarkan bahwa kehi-dupan tak dimungkinkan tanpa kritikan.
(Esai ini dimuat di Harian Yogya Post, 21 Oktober 1990)