TIDAK seperti bunyi kalimat lirik lagu kacangan, SDSB jelas bukan sekedar 'iseng-iseng berhadiah',. Dalam prakteknya, juga terlihat bahwa SDSB hanya menjadi bagian dari kegiatan pengisi waktu luang. Bahkan boleh dibilang, SDSB sudah menjadi satu katagori 'lapangan kerja' baru, terutama bagi para penggemarnya.
Lebih jauh lagi, pada saat ini SDSB sudah pantas dilihat sebagai suatu strategi kebudayaan. Dan agaknya kita harus berani mengatakan bahwa SDSB merupakan bentuk strategi kebudayaan kontemporer yang paling berhasil meraih dukungan partisipasi terbesar dan terluas dari masyarakat. Cobalah simak pernyataan Mentri Sosial Haryati Soebadio (Bernas, 13/9/91) yang menegaskan bahwa tujuan diadakannya pengelolaan dana melalui SDSB untuk mengurangi dan meniadakan praktek penyelenggaraan undian liar dan lotere dan buntut (kupon putih ) yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat secara bertahap, berencana dan terarah.
Bukankah pernyataan tersebut mencerminkan cara berpikir strategis dalam kerangka kebudayaan? Pembicaraan di luar strategi kebudayaan, seperti diutarakan Ignas Kleden, selalu berdasarkan apa yang mereka terima sebagai warisan kebudayaan dari para leluhur. Sebaliknya, tambah Kleden, "kalau kita berbicara tentang strategi kebudayaan maka sudah diabdaikan bahwa kita sendirilah yang sanggup mengarahkan, mengembangkan, dan menciptakkan kembali nilai-nilai baru yang barangkali tidak dikenal atau bahkan ditolak dalam warisan budaya yang semula kita terima."
Oleh karena selalu sederhana dan singkatnya kutipan diatas sehingga terkesan bahwa strategi kebudayaan cenderung hanya mengutak-ngatik persoalan kebaruan nilai. Namun sesungguhnya setiap perbincangan mengenai strategi kebudayaan senantiasa menyejarah. Artinya selalu melibatkan the survival dan the arrival, lama dan baru, konstinuitas dan diskontinuitas beberapa warisan budaya.
Dalam konteks SDSB, yang menjadi warisan budaya yang hendak dihentikan kesinambungannya adalah undian liar dan lotere buntut. Bukan undian atau loterenya yang hendak dihentikan, melainkan keliarannya. Lalu ditawarkan antitesisnya. Keterlibatan? Agaknya, bukan. Lebih cepat, the arrivala (kalau memang bisa disebut demikian) yang ditawarkan adalah keseragaman yang resmi dan legal. Dengan tetap menyisakan (the survival) praktek-praktek undian dan lotere beserta implikasi kultural yang dikandungnya. Dengan demikian tersirat beberapa hal pokok yang tengah dibangun lewat strategi kebudayaan ala SDSB.
Berpikir legal dan formal
Pertama, sebagai strategi kebudayaan, SDSB tengah mencoba membentuk corak berpikir seragam yang legal. Implikasinya, seperti yang sudah menggejala, pengalaman etik kita tangah mengarah kepada legalisme etik. Baik dan buruknya, tidak berdasarkan pertimbangan akibat atau efeknya; melainkan keabsahan atau dan kesesuaianya dengan hukum negara yang tertulis, yakni Undang-Undang No 22/1954 (kompas, 13/9). Bahkan, misal lainnya, hasil penyelidikan panitia Khusus DPRD Timor-Timur, yang menyebutkan bahwa SDSB telah mendorong masyarakar malas bekerja, tak dapat merintangi penyelenggaraan undian tersebut dan malah frekuensi penarikannya ditambah lagi (Tempo, 10/8).
Barangkali harus dicatat bahwa legalisme memandang kenyataan maupun kebenaran lebih berdasarkan pada sisi formal daripada material. Bahkan pada tingkat ekstrim, hal ini memperlihatkan diri dalam system kesadaran yang bulat tertutup berdasarkan aturan-aturan yang disusun lepas dari kenyataan. Artinya, disengaja atau tidak, strategi kebudayaan ini potensial membangun inkonsistensi antara bentuk dan isi pada dataran kesadaran dan pengalaman.
Dengan kebudayaan yang berorientasi pada bentuk (form) ini pertama-tama memunculkan kerepotan dalam melihat perubahan dan mengukur perkembangan kultural dalam hubungannya dengan pergaulan kultural dunia dan proses akulturasi. Lewat cara berpikir ini kita jadi terbiasa silau oleh produk material modernitas, sementara nilai-nilai modernitasnya sendiri terabaikan. Kita sering merasa menjadi manusia modern hanya karena memiliki antena parabola tanpa perlu paham dan menghayati makna nilai komunikasi global. Kita menjadi terbiasa dengan perubahan-perubahan semu, sebab kebudayaan pertama adalah kredo nilai yang bersifat ruhaniah, yang pada gilirannya mendorong kreasi formal sebagai suatu peradaban.
Berpikir legalistik dan formal menghasilkan manusia-manusia taklid dan dogmatis. Cara pandang legalisme dan formalisme memang tidak mementingkan pemahaman makna yang dikandungnya, melainkan cukup ketaatan pada format aturan. Oleh karenanya yang lahir kemudian adalah corak kebudayaan yang reaktif, sebab kreativitas mengandaikan daya kritis yang tajam dan bukan ketaklidan. Dalam iklim kebudayaan demikian mobilisasi yang massif akan sangat mudah dilakukan, tanpa mempertimbangkan suatu tindakan partisipasi yang sadar.
Keseragaman, yang terandaikan pada mobilisasi, lebih gampang diakomodasikan lewat orientasi pada bentuk. Benar bahwa pada kenyataannya ragam bentuk lebih kaya daripada ragam isi. Namun orientasi pada bentuk tidak membuka peluang bagi perbedaan dan plurarisme penghayatan maupun aktualisai makna.
Pendekatan ini sungguh akan merepotkan perbincangan mengenai ke-bhineka tunggal ikaan kebudayaan. Bahwa keragaman kebudayaan kita bukan semata-mata terletak pada keanekaan bentuk dan jenis tarian-tarian, melainkan sekalligus menunjukan keragaman pengahayatan dan ekpresi makna. Ataukah keseragaman yang dikehendaki SDSB sebagai suatu strategi kebudayaan hanyalah keserempakan ikrar pada pecandunya, "Berundian satu, undian resmi SDSB?"
Dominasi negara
Berikutnya, disamping membangun corak berpikir legalistik dan formal, SDSB sebagai suatu strategi kebudayaan memperkokoh posisi budaya sebagai palaku kebudayaan yang terpesonfikasi. Personifikasi negara sebagai pelaku kebudayaan sudah berlaku sejak kita terbiasa memilahkan segala sesuatu berdasarkan "resmi dan tidak" atau "negeri dan tidak negeri", seperti halnya "undian liar dan "undian resmi" dalam SDSB. Negara menjadi sejajar dengan kekuatan-kekuatan sosial budaya lainnya sebagai pelaku kebudayaan, memiliki pandangan, orientasi, maupun kepentingan sendiri.
Belakangan, sebagai pelaku kebudayaan, kedudukan negara semakin dominan. Hal itu, salah satunya, dapat ditunjukkan pada hilangnya persoalan "halal dan tidaknya" dalam diskusi etika penyelengaraan SDSB. Dalam hal ini negara berhasil memarjinalisasi kekuatan-kekuatan sosial budaya lainnya.
Dengan personifikasi negara tersebut, memang konflik antara negara dan kekuatan-kekuatan sosial budaya lainnya dalam masyarakat, tak bisa dihindarkan. Bahwa selama ini konflik-konflik dalam menginterpretasi, menghayati, merumuskan dan mengekpresikan kebudayaan tersebut tak pernah membesar dan melebar merupakan indikasi bahwa terdapat kekuatan yang tak berimbang diantara keduanya. Dalam hal ini dominasi berada di pihak negara, karena bagaimanapun negara mempunyai kekuatan penekanan yang tak dipunyai oleh kelompok kekuatan sosial budaya lainnya.
Dominasi negara tersebut sekurang-kurangnya memberikan dua resiko fatal. Pertama, seperti pada pengalaman kultural belakangan ini, dominasi negara meminta sedikit kerelaan dari pihak-pihak di luarnya untuk berpuasa kreativitas yang sekiranya dipandang 'liar dan tidak mendidik'. Peristiwa Opera kecoa
dan 'Cekali', misalnya, merupakan aktualisasi dari hal tersebut. Kedua, dominasi negara cenderung melahirkan heteronomy, dengan mengingat bahwa sesungguhnya kelompok-kelompok kekuatan sosial budaya lain yang tak bisa mengimbangi daya negara itu pun mempunyai basis kesadaran kultural sendiri yang tak mudah dihapus. Sehingga dengan menghubungkannya kepada potensi inkosistensi kultural yang terkandung pada corak berpikir lega-formal, dominasi negara cenderung membangun hipokrisi kultural.
Dalam konteks SDSB, dominasi negara tersebut masih bisa dipetik keuntungannya, dan tentu, oleh para pecandu SDSB. Setidaknya, para pecandu SDSB mempunyai rasa aman untuk mengumbar kecenderungan mistiknya. Boleh jadi dengan terselenggaranya SDSB banyak pihak masih bisa memetik manfaat dari sikap-sikap mitis itu dalam rangka pengelolaan dan masyarakat. Bagaimanapun cukup menggiurkan memperhatikan dana yang terserap YDBKS pada paruh pertama 1991 sebesar Rp 93,81 milyar (kompas, 13/9) atau hampir 8 kali lipat dari APBD Kabupaten Sleman tahun 1991/1992. meskipun toh pengumbaran sikap-sikap mistis itu terasa ganjil ditengah tantangan-tantangan modernitas dan lubernya kaum terpelajar di republik ini.
Bercermin dari strategi kebudayaan ala SDSB ini, beberapa tantangan dimasa depan sudah jelas tampak. Strategi kebudayaan kita berikutnya pertama-tama berhadapan dengan hipokrisi kultural sebagai virus utama dalam pengalaman kultural kita selama ini. Hipokrisi kultural yang berkepanjangan hanya akan menempatkan kita menjadi binatang pemamah dan konsumen dalam pergaulan kebudayaan dunia. Hipokrisi cultural menutup kemungkinan bagi kita untuk mengenali jati diri kultural. Padahal progresi kutural mensyarakatkan pengenalan jati diri ini pada mulanya. Kegagalan mengeliminasi hipokrisi kultural lebih mendorong manusia-manusianya menjadi gamang, apatis dan putus asa tanpa kreativitas.
Mau tidak mau, setiap perbincangan mengenai kebudayaan selalu menggarisbawahi manusia, kebebasan berkreasi, serta jaminan terselenggaranya perimbangan kekuatannya demi menjalin dialog kreativitas yang sehat. Negara, dalam hal ini, terlibat untuk memberikan jaminan dan kepastian atas kebebasan berkreasi dan perimbangan kekuatan individu-individu yang menjadi pelaku kebudayaan. Resmi atau tidak, kreasi orang per orang merupakan syarat suatu progress cultural dengan, tentu, mempunyai visi akan kesadaran kolektif. Tinggallah kemudian, kesadaran kolektif mana yang menjadi prioritas. Nasionalisme? Globalisme? Berhubung batas-batas kolektivitas kultural pun saat ini sudah kabur. ***
(Esai ini dimuat di Harian Yogya Post, 30 September 1990)