Fenomena

Dari Demi Moore Sampai Nirwan Dewanto

"Melody Of Youth" karya Sergey Sovkov

Jika anda pada tahun ini masih termasuk kaum muda dan bebe-rapa tahun kemudian ditanya, "Kenangan apakah yang paling membekas di tahun 1991 ?", bagaimanakah anda menjawaznya ? Saya sepakat jika anda menjawab, "Saya terkenang pada seorang gadis yang terkesan manis, lucu dan imut-imut karena rambutnya dipotong pendek seperti lelaki. Saya terkenang pada Demi Moore".

Di tahun 1991 Demi Moore lebih dari sekedar aktris film Amerika. Ia bisa saja saudara, teman atau mungkin tetangga kaum muda. Demi Moore merupakan lambang gaya '91, yang sempat banyak ditiru kaum muda dan juga bahkan sempat dikonteskan.

Lebih dari itu, Demi Moore telah menjadi simbol pergaulan global kaum muda. Hanya oleh proses globalisasilah Demi Moore dapat dikenal. Dan tak terlalu sukar bagi kaum muda kita untuk terlibat dalam proses globalisasi jenis ini.

Pertama-tama, kaitan saling pengaruh dalam proses globalisasi seiring dengan watak kaum muda di manapun yang sangat terbuka terhadap perubahan dan nilai-nilai baru. Di sisi lain, generasi terdahulu tak cukup berhasil mengenakan akar budaya kepada mereka karena gaya pendidikan kebudayaan saat ini jarang mendapat simpati kaum muda. Sehingga pada gilirannya, kaum muda menganggap warisan tradisi tak lebih sebagai serum yang disuntikan ke tubuhnya dalam proses inkulturasi dengan khasiat yang tak begitu mujarab. Oleh karenanya benda-benda asing relatif lebih mudah diterima dan mempengaruhinya.

Resipien globalisasi

Lewat fenomena Demi Moore pula dapat terlihat watak hubungan kaum muda dengan proses globalisasi, yang dicirikan oleh dua hal. Pertama, makna globalisasi dihayati sejauh berkenaan dengan kebudayaan pop. Kelompok musik, lagu maupun film yang tengah populer di Amerika atau Eropa dengan cepat dikenalinya, trend fashion di pusat-pusat mode dunia dengan segera ditanggapinya. Namun sangat sedikit dari kaum muda yang, misalnya, mampu menarik garis hubungan global dari suatu krisis di mancanegara dengan situasi di negerinya sendiri. Banyak faktor yang mendorong kecenderungan ini. Dan pertama-tama adalah faktor pendidikan, selain tentunya faktor kerja sistem kapitalisme yang menjadi bapak dari globalisasi.

Kebudayaan pop tersebut sesungguhnya selain menawarkan ukuran-ukuran standar hidup subyektif yang baru seperti mode dan gaya hidup, juga mengenalkan ukuran obyektif yang baru seperti derajat minimal pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan par-tisipasi sosial, ekonoewadan sebagainya. Yang terlihat kemudian, penawaran dan pengenalan tersebut memancing pergeseran ukuran hidup di tengah kaum muda, yang disesuaikan -bahkan terkadang disamakan- dengan yang mereka lihat di bioskop, majalah, kaset, dan lainnya. Ukuran-ukuran baru inilah yang kemudian ramai dikejar oeh kaum muda. Inilah ciri kedua, yakni bahwa kaum muda berada paa posisi resipien dalam arus globalisasi.

Sayang sekali, tak semua ukuran baru itu dapat diraih. Jika berhasil dicapai maka hal itu menjadi mode dan kriteria nilai 'trendy'. Namun jika gagal, yang lahir kemudian adalah penyakit sosial: tindak kriminal atau penyimpangan perilaku seksual. Data Polda Jateng dan DIY yang menunjukkan bahwa kejahatan tahun ini didominasi oleh kaum muda, bukan mustahil berkaitan dengan si- nyalemen ini. Setidaknya, kasus perampokan dan pembunuhan di Karangkadri Cilacap Agustus lalu yang dilatar belakangi motivasi mencari modal bekerja, telah menunjukkan hal itu.

Krisis Berorganisasi

Status resipien di atas boleh jadi sebenarnya dikenakan kepada mayoritas-bisu kaum muda saat ini. Padahal dalam kerangka kebudayaan, status resipien itu tabu bagi makhluk berjenis manusia. Torlebih sejarah ibu pertiwi terlanjur menggariskan ideologi bahwa kaum muda -terutama kalangan terpelajar- harus duduk sebagai agen pembaharu dan perubahan sosial yang serba kritis.

Sejauh sebagai suatu ideologi, hal itu masih tetap mampu bertahan meskipun di lingkungan minoritas aktivis mahasiswa. Seperti yang telah sering dicatat, sejak pertengahan 80-an sejumlah aktivis mahasiswa mencoba untuk membangun kembali citra mahasiswa yang telah ambruk sebelumnya bersamaan dengan relatif lunturnya keperdulian sosial mahasiswa selama lebih dari satu dekade. Meskipun sampai akhir 80-an kuda-kuda gerakan mereka masih terlihat rapuh, toh pada 1991 ini idealisme itu tetap dicoba untuk dilanjutkan.

Cuma saja pada 1991 krisis berorganisasi yang menjadi salah satu faktor penyebab kerapuhan gerakan kaum muda (GKM) ini lebih muncul ke permukaan. Hal itu bisa dilihat dari meruncingnya friksi diantara sesama aktivis sampai Aksi Mogok Makan beberapa aktivis di Yogya yang menuntut pembubaran 'organisasi bentukan dari atas'. Khusus mengenai Aksi Mogok Makan, pada satu sisi merupakan kritik kaum muda terhadap tingkat independensi organisasi formalnya dari pusat kekuasaan; pada sisi lain, juga merupakan otokritik terhadap kenyatan bahwa kebanyakan kaum muda tidak becus berorganisasi.

Krisis berorganisasi bukan milik para aktivis mahasiswa belaka. Krisis tersebut lebih merupakan kecenderungan di tengah kaum muda pada umumnya. Berorganisasi dalam arti kerja banyak orang secara bersama sebagai sebuah sistem yang mempunyai mekanisme tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula, agaknya sudah lama tak menjadi bagian dari budaya kaum muda. Apa yang biasanya disebut 'berorganisasi' lebih sering berarti 'kumpul bersama' atau sekedar 'kesempatan untuk sharing' saja. Dalam pemahaman demikian, wajar jika seseorang secara berkelakar berkata, "Dalam waktu satu jam, kaum muda kita bisa membentuk ratusan biro, kelompok atau komite ini itu".

Beberapa faktor penyebabnya bersifat obyektif, namun pada kebanyakan lebih bersifat subyektif. Sangat sedikit kecenderungan krisis tersebut didasarkan atas perbedaan pandangan prinsipil diantara kaum muda sendiri. Pada kebanyakan, krisis itu terbentuk oleh keberhasilan struktur hidup masyarakat moden ini dalam mengembangkan mentalitas individualistiis dan egoistis, serta oleh kurang matangnya diri mereka sendiri.

Isu gerakan

Namun, lagi-lagi, krisis ini pun tidak menyurutkan GKM. Bahkan terlihat jenis dan bentuk aksi GKM semakin beragam. Dan GKM 1991 ditandai dengan pengkayaan isu. Mulai dari isu besar seperti hak azasi manusia sampai soal pengembalian orangutan, dari persoalan tanah rakyat sampai pemangkasan pohon trotoar, dari nasib buruh sampai SDSB. Semakin kayanya isu yang dipilih GKM dimungkinkan oleh interaksi kaum muda dengan kondisi nyata persoalan saat ini yang semakin kompleks, dimana persoalan tidak beronggok pada satu bidang saja.

Dari sekian GKM yang digelar tahun ini, aksi menentang SDSB merupakan aksi yang paling fenomenal, diikuti oleh jumlah massa yang besar dan di berbagai daerah pula. Banyak yang mengira bahwa hal itu disebabkan oleh ketepatan analisis sosial ekonoewa kaum muda terhadap kondisi masyarakatnya. Namun itu kurang tepat. Sebab yang lebih banyak tampil dalam aksi menentang SDSB justru idiom-idiom agama. Sementara analisis sosial ekonoewapada aksi ini ditampilkan secara casual sebagai pelengkap rasionalisasi saja. Oleh karenanya,apada pihak lain, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa kantong massa GKM masih bertahan pada basis agama seperti pada tahun-tahun sebelumnya, baik dalam kasus tabloid Monitor maupun peristiwa Tanjungpriok.

Seperti pada aksi menentang SDSB, aksi turun ke jalan agaknya masih menjadi primadona gerakan kaum muda (GKM). Setidaknya, karena hal itu lebih saring tampak fenomenal. Dan sekuranggnya terdapat tiga keadaan yang memberikan dasar kemunculan aksi turun ke jalan.

Pertama, strategi pembangunan yang selama ini berjalan tambal sulam telah mengakibatkan keadaan justru semakin akut; dan hal ini secara psikologis telah merangsang kegusaran luar biasa kaum muda, yang sangat sensitif terhadap keadaan. Kedua, alternatif penyelesaian masalah lewat jalan dialog yang lebih persuasif sering menghadapi jalan buntu karena birokratisasi yang ketat telah membuat kemacetan komunikasi antara kaum muda dan establishment. Dan sebenarnya dialog dalam arti sesungguhnya tak pernah berlangsung; yang ada hanyalah acara tatap muka dalam jalinan kerangka monolog. Ketiga, dalam menghadapi kegelisahan kaum muda pada segala hal, establishment lebih sering menggunakan pende7atan 'pamer kekuatan kekuasaan' baik pada tingkat fisik seperti turun tangannya militer dalam menangani pelajar yang bandel maupun pada tingkat kesadaran seperti pada pelarangan saresehan aktivis pers mahasiswa se-Indonesia di Bandung Juli lalu. Pada gilirannya, ini merangsang kaum muda untuk menghadapinya dengan unjuk gigi massa di jalan.

Selama ketiga keadaan di atas masih terus melembaga dalam perilaku politik kita maka selama itu pula besar kemungkinan aksi turun ke jalan akan terus menjadi pilihan GKM. Namun berbeda dengan karakter GKM pada masa terdahulu, aksi turun ke jalan saat ini bukan bentuk aksi politik atau perubahan sosial, yang memang agaknya sukar ditangani kaum muda saat ini sehubungan dengan pergeseran konstelasi peran dalam struktur kultural. Aksi itu lebih tampak sebagai aksi kritik dan bentuk budaya-tanding kaum muda. Sebagai budaya-tanding, dengan aksi turun ke jalan mereka menawarkan kesahajaan, keberanian, kelugasan dan kejujuran suara hati untuk menghadapi kecenderungan eufemisme maupun pencagihan bahasa yang njelimet dan dapat membuat distorsi makna yang akan menjebaknya pada inkonsistensi dan hipokrisi.

Serba salah

Baik sebagai resipien maupun kreator,apada tahun ini kaum muda kita masih menampilkan wajah gusarnya. Seolah-olah kegusaran telah menjadi bahasa ujaran mereka. Dan kesemuanya itu menimbulkan kecurigaan ideologis dari ganerasi tua yang agak berlebihan (lihat juga bahasan Lambang Trijono di Bernas 17/12/91). Dalam hal ini, kaum muda terpojok sebagai kelompok yang serba salah.

Bagaimanapun, di satu sisi generasi tua senantiasa mengharapkan peran aktif kaum muda karena sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa kebangkitan sebuah bangsa selalu didahului oleh kebangkitan di kalangan kaum mudanya. Namun di sisi lain, generasi tua terlanjur taat kepada ideologinya yang perenealistik sehingga ide-ide dan nilai-nilai baru yang relatif lebih ditawarkan oleh kaum muda menjadi sesuatu yang subversif. Bagi generasi tua, kaum muda tak lebih dari sosok pembangkang dan pemberontak.

Kesenjangan antara generasi tua dan kaum muda berlangsung pada tingkat kesadaran dan ideologi sampai pada persepsi dan perilaku. Dalam situasi ini, bahasa kaum muda tak pernah dapat dipahami secara utuh, tindak-tanduknya pun dicurigai. Misalnya, seorang pelajar putri mengaku (Tempo no. 35/XXI), "Saya pernah tidak diperkenankan masuk ke pusat perbelanjaan untuk membeli buku. Alasannya, kami tergolong 'mereka yang memakai abu-abu putih'". Dan, contoh lainnya, GKM di jalan-jalan dianggap sebagai "cara menyelesaikan masalah sosial yang bersifat memaksakan kekerasan fisik" (Kompas, 14/12/91).

Kaum muda sebagai konsumen

Selain bersumber pada prasangka ideologis generasi tua, kecurigaan terhadap kaum muda juga dikondisikan oleh pelembagaan logika niaga dalam kesadaran banyak orang saat ini. Padahal dalam logika niaga, kaum muda merupakan kelompok konsumen yang menjadi sasaran terbesar dari hasil produksi. Dalam budaya ekonoewa saat ini, konsumen sudah hampir bisa dipastikan identik dengan status resipien.

Hal tersebut mengandaikan pula bahwa selama ini fenomena kaum muda diidentikan dengan fenomena psikologis. Padahal dalam pende7atan ini, kaum muda berada pada posisi yang rawan. Bahkan dalam psikologi tradisional Jawa kaum muda sangat laten mendapat status durung njawa, yang biasanya dikenakan kepada bocah-bocah kecil dan orang-orang tolol. Durung njawa itu sendiri berkonotasi 'belum berbudaya'.

Dalam hal ini, kaum muda dipersepsi sebagai sosok yang labil dan tidak matang kepribadiannya, cenderung emosional dan tidak dewasa dalam bersikap dan bertindak maupun berpikir. Oleh karenanya, dalam pende7atan psikologis, kaum muda cenderung tersubordinasi oleh generasi tua yang dianggap pemegang sah status kedewasaan. Asumsi-asumsi dibalik pende7atan ini pada akhirnya berujung pada dua hal. Pertama, asumsi-asumsi tersebut membangun rasa tidak percaya diri pada kaum muda sendiri, dengan resiko berjangkitnya sikap apatis mereka terhadap banyak persoalan. Kedua, melahirkan ketidakpercayaan generasi tua terhadap kemampuan kaum muda sehinga partisipasi mereka cenderung dianggap remeh dan dilupakan.

Fenomena kelas budaya

Itulah sebabnya banyak orang takjub dan terheran-heran ketika Nirwan Dewanto muncul dalam Kongres Kebudayaan Nasional 1991 yang didudukkan sebagai wakil kaum muda. Mereka seolah-olah baru menukan sekeping batangan logam mulia dalam septic tank, dan merasa tak percaya bahwa apa yang dikemukakan oleh Nirwan memang keluar dari mulut seorang anak muda. Sementara banyak anak muda justru terheran-heran dengan ketakjuban banyak orang atas kehadiran Nirwan. Tanpa berpretensi untuk memungkiri bahwa Nirwan adalah sosok anak muda yang cerdas dan cendikia, mereka hanya menyesali betapa terlambatnya banyak orang menyadari keberadaan kaum muda secara potensial. Dan memang, seperti diselorohkan oleh seorang anak muda, "Sejak beberapa tahun lalu, sosok anak muda semacam Nirwan Dewanto sebenarnya sudah dapat ditemukan setiap lima langkah kaki".

Kehadiran Nirwan Dewanto pada tahun ini merupakan preseden yang baik bagi menguatnya kepercayaan diri kaum muda. Namun ini saja jelas tak cukup. Yang lebih penting dari itu semua adalah keberanian untuk melihat fenomena kaum muda tidak terbatas sebagai fenomena psikologis.

Boleh jadi hal ini harus dimulai dengan melihat fenomena kaum muda sebagai fenomena kelas secara kultural. Sebagai sebuah kelas budaya, kaum muda tak bisa dilepaskan dari struktur nyata yang ada beserta seluruh dialektikanya. Bahasa mereka harus dipahami dan dihayati secara mendalam, bukan hanya didengar lewat telinga polos dan dilihat dengan mata telanjang; kegelisahan, apatisme maupun kegusarannya bukan nasib bawaan, melainkan dibentuk oleh struktur hidupnya saat ini.

Dengan cara demikian, kaum muda benar-benar dihitung dalam konstelasi pasrtisipasi yang nyata secara struktural. Namun ini tidak berarti bahwa kaum muda akan menjadi generasi manja yang selalu minta dilayani. Malah mereka akan memahami kehadiran dan perannya sendiri, yang pada akhirnya memperkokoh elan kreatif dalam proses yang dilektis.

Bagaimanakah kaum muda di masa depan ? Yang pasti, mereka terlanjur bergulir di tengah saat yang menentukan di tahun 1992.

(Berita Nasional, 20 - 21 Desember 1991)

Jaringan

Kontak