Orang seringkali bersenandung bahwa masa remaja adalah masa yang paling indah. Tapi agaknya senandung itu betul-betul mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Para remaja -sadar atau tidak- juga menikmati masa-masanya sebagai masa-masa yang sulit dalam hidupnya. Menjadi remaja hampir selalu pasti adalah menjadi orang yang menempati posisi yang paling tidak enak: dalam posisi ditarik ke sana ke mari.
Lihat saja. Secara psikologis, masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Di satu sisi, ia ditarik masuk ke dalam tantangan untuk mematangkan kedewasaannya; di sisi lain, ia masih belum bisa sepenuhnya lepas dari daya tarik masa kanak-kanak. Dan oleh karenanya juga, secara sosial budaya, ia ditarik-tarik oleh kewajiban-kewajiban ala orang dewasa yang (seringkali) belum sepenunnya dipahami; dan sekaligus juga ditarik oleh ransangan untuk mengeksplorasi diri di tengah kenyataan sosial yang dihadapinya. Secara politik, dalam kelabilan psikisnya, remaja diperebutkan oleh berbagai kepentingan politik. Begitu juga secara ekonomi.
Ah, betapa tidak enaknya menjadi seorang remaja!
Puncak ketidakenakan remaja adalah ketika remaja dipelakukan sebagai obyek tudingan. Remaja sering dikhawatirkan bakal jadi "beban pembangunan". Sambil menunjuk tingginya angka kejahatan dan penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh remaja, remaja juga tak jarang dituding sebafai salah satu sumber keresahan. Remaja juga sering mendapat jatah predikat sebagai 'pemberontak sosial budaya', dan lain sebagainya.
Dari beberapa sudut pandang, tudingan-tudingan itu memang ada benarnya. Cuma saja, tak sedikit orang lupa bertanya, "Kenapa remaja jadi beban pembangunan? Kenapa remaja menjadi salah satu sumber keresahan?" Dan sebagainya. Kalaupun ada orang mencoba menjawab pertanyaan itu, kebanyakan jawabannya adalah, "ada yang tak beres dalam mentalitas remaja kita". Lagi-lagi, remaja harus menerima dakwaan bersalah!
Itulah sebabnya, begitu banyak seminar atau diskusi membahas topik seperti yang harus dikta perbincangkan saat ini: FORMAT REMAJA. Topik ini, bagi saya, terasa aneh. Setahu saya, apa yang biasanya harus dipersiapkan formatnya dan diformat terlebih dahulu sebelum dipakai adalah disket atau hard disk komputer. Stelah diformat varulah sebuah disket atau hard disk bisa dipakai dalam komputer sebagai penyimpan data apa saja semau kita -dari data-data rahasia, games, sampai gambar porno sekalipun. Memang, lazimnya, sesuatu yang diformat hanyalah sebuah alat untuk kepentingan si pemakainya. Nah, jika saat ini kita masih bersikeras untuk memperbincangkan "Format Remaja dalam era Globalisasi dan Industrialisasi", itu artinya kita sama-sama memperlakukan remaja tak lebih dari sekadar alat.
Ah, betapa tidak enaknya menjadi seorang remaja!
Menurut hemat saya, kesulitan-kesulitan maupun persoalan-persoalan - baik yang ditimbulkan maupun yang menimpa- remaja justru berawal dari dua hal. Pertama, adanya upaya memformat remaja. Kedua, adanya kerelaan remaja itu sendiri untuk diformat-format! Padahal setiap upaya untuk memformat manusia memang sangat berisiko membuat aus watak khas umat manusia.
Pertama, orang akan terancam kemampuan berinteraksinya sebab upaya memformat manusia cenderung memaksakan orang untuk berjalan dalam satu rel hidup yang sangat ketat sehingga orang hanya mampu bereaksi saja terhadap hidupnya - bahkan tak jarang juga menjebak seseorang menjadi sangat pasif.
Dan oleh karenanya, kedua, memformat orang cenderung juga membuat orang menjadi solipstik, merasa benar sendiri dan bagai memakai kacamata kuda. Hasilnya, orang akan lebih asik memikirkan ke-eka-an dan tidak memperdulikan kebinekaan -yang sesungguhnya menjadi ciri hidup manusia. Orang-orang macam ini lazimnya tak mampu mengantisipasi bebgai perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Ketiga, dalam kekakuan sebuah format, orang relatif kehilangan spontanitas dan improvisasi kreatif. Dalam kondisi ini kreativitas hampir-hampir mustahil terwujud.
Agaknya inilah persoalan yang melanda remaja saat ini. Begitu banyak pihak memformat rem,aja lewat berbagai media - TV, radio, bioskop, majalah maupun koran. Contoh yang paling banyak mengenai hal ini terlihat di bidang ekonomi.
Pelan-pelan - dan sering tanpa disadari- berbagai produsen bukan Cuma menawarkan produk yang dijualnya, emalinkan sekaligus telah memformat budaya remaja menuju nilai-nilai yang dikehendaki oleh sang produsen. Di sela-sela ajakan untuk mebli cokelat yang diproduksinya dalam iklan di TV, misalnya, sebuah perusahaan permen cokelat juga ikut memformat sikap hidup remaja dengan mempropagandakan nilai lewat jargon "yang penting enak!". Jargon ini bukan mustahil akan merembes dan mengendap dalam kesadaran remaja sehingga pada gilirannya sang remaja -tanpa memperdulikan pertimbangan-pertimbangan lain- hanya mengejar 'keenakan' dalam hidupnya. Jika itu terjadi maka jadilah sebuah format remaja yang tergila-gila pada 'keenakan'.
Begitu juga produsen di sektor industri budaya. Mereka bukan saja menjajakan kaset, CD, laser disk, maupun video rekaman. Buktinya sudah banyak: remaja tergila-gila pada musik metal atau rap tanpa mengerti asal-usulnya.
Tak ada salahnya menyukai jenis musik apapun selama itu merupakan pilihan sadar. Maka perkaranya menjadi berbeda ketika seseorang -secara kasar maupun halus, secara sadar maupun tidak- telah 'dipaksa' untuk menyukainya.
Persoalan-persoalan ini patut diberi perhatian terlebih pada masa yang secara populer disebut era globalisasi sebab isitilah 'era globalisasi' pertama-tama harus dipahami dalam arti ekonomi -bahkan, khususnya, dalam arti niaga. Dalam era ini para niagawan memasuki jaman yang penuh keleluasaan dalam menjalankan aktivitasnya. Pasar ekonomi, yang semula terbatasi oleh perbedaan dan batas-batas negara, akan semakin terbuka lebar. Itu berarti perang antar niagawan akan bertambah seru lagi dalam berebut pasar dan konsumen target potensialnya.
Saat ini ada gelagat yang menunjukan kecenderungan untuk memformat remaja menjadi konsumen target potensial. Begitu banyak produk komoditas maupun produk-produk budaya yang disasarkan ke arah remaja: mulai dari es krim sampai parfum, dari model rambut sampai handphone, dari nilai-nilai jargon "lah yauw" sampai "enak, gila!". Sementara itu, remaja di negeri ini sekarang memang cukup rentan terhadap propaganda konsumtif sehingga mereka dengan mudah terseok-seok dalam tarik menarik para niagawan.
Ah, betapa tidak enaknya menjadi remaja!
Memang begitu banyak tantangan yang segera dihadapi oleh remaja dewasa ini. Tantangan-tantangan itu semakin hari semakin berat jika tidak diantisipasi sejak awal. Terutama sekali karena dalam era sekarang telah memungkinkan -bahkan memaksa- setiap orang untuk saling bersentuhan, bergesekan, bertarung, memperebutkan dan diperebutkan oleh orang lain dari segala penjuru dunia tanpa mengenal batas geografis, negara maupun bangsa. Yang paling mengerikan dalam pertarungan pada era iniadalah bahwa hampir tak ada darah yang tercecer di setiap korban-korbannya sebab pertarungan yang terjadi bukan lagi adu fisik. Korban-korban pertarungan era global adalah kebangkrutan budaya sebuah bangsa, kehancuran lingkungan hidup, dan ausnya watak-watk khas manusiawi.
Semakin intensnya interaksi antar orang dan menipisnya batas-batas geografis, negara maupun bangsa dalam era globalisasi ini juga memounyai implikasi lain terhadap kesadaran hukum dan makna solidaritas. Intensitas yang tinggi dalam interaksi antar manusia memungkinkan munculnya friksi dan konflik yang tinggi pula. Dalam konteks inilah kesadaran hukum menjadi memainkan peran utama. Bagaimanapun, hukum menjadi jembatan formal dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Orang dengan mudah dipermainkan rasa keadilannya manakala ia buta hukum di jaman ini. Bersamaan dengan itu, makna solidaritas pun semakin luas -terutama yang menyangkut persoalan lingkungan hidup.
Tantangan-tantangan lain muncul dari wilayah informasi. Era globalisasi -seperti sudah sering disebut-sebut- adalah juga era informasi. Dalam era ini, informasi menjadi kunci bagi sebuah prestasi. Barang siapa miskin informasi, silahkan duduk di pinggiran dan siap dihanyutkan ke sana ke mari oleh mereka yang tengah bertarung. Bersamaan dengan itu, sumber informasi lewat teknologi informasi yang setiap hari semakin berkembang. Dengan memencet satu tombol komputer, misalnya, saat ini Anda langsung dibanjiri oleh informasi yang beraneka ragam dan dengan berbagai versi sehingga tantangannya terletak pada kemampuan untuk menimbang dan memilih informasi yang tepat. Setiap kesalahan dalam memilih informasi hampir saja dipastikan berisiko fatal: masuk dalam jurang tanpa tepi yang gelap.
Dari paparan umum dan sederhana di atas tampaklah bahwa tuntutan yang kita hadapi bukanlah semata-mata berkisar pada tumbuhnya sumber daya manusia yang terampil belaka. Keterampilan dan penguasaan teknologi -yang sering digembar-gemborkan belakangan ini- memang merupakan salah satu kebutuhan agar dapat bersaing dalam mencapai prestasi. Namun, jika SDM kita hanya memiliki keterampilan dan menguasi teknologi saja maka sebenarnya kita hanya siap menjadi sekrup dalam sebuah mesin besar ekonomi global. Hanya sekrup!
Yang lebih juga kita butuhkan adalah suatu dasar pijak (platform) dalam kebudayaan kita yang memungkinkan tumbuhnya manusia yang kritis, berpikir merdeka, sadar hukum, punya kepekaan yang tinggi terhadap persoalan di sekitarnya, seta berwawasan luas. Untuk itu, pertama-tama, remaja ditantang untuk mempunyai mentalitas yang memungkinkan dirinya tidak gampang diombang-ambing dan dihanyutkan oleh arus besar apapun.
Tapi akan sangat keliru jika hanya remaja saja yang dituntut untuk meningkatkan kualitas mentalnya saja. Mereka juga berhak menuntut suatu kondusi yang kondusif bagi berkembangnya mentalitas yang baik. Pembinaan mental remaja tanpa dibarengi oleh pembenahan persoalan-persoalan struktural adalah pemborosan yang luar biasa. Pembinaan yang terbaik tak bisa dilakukan hanya dengan tudingan, cercaan, himbauan, ceramah atau penyuluhan saja. Yang dibutuhkan untuk membina remaja justru keteladanan orang-orang dewasa dan pelaksanaan hukum demi keadilan. Jika tidak, kita harus rela hanya menjadi "tulang-tulang yang berserakan antara Karawang - Bekasi".
Makalah dalam seminar "Remaja, Seks, dan Kriminalitas", Karawang, 29 Agustus 1995