Barangkali saya kurang gaul untuk urusan browsing karya-karya seniman Indonesia di Internet. Tapi sungguh saya mendapat sedikit kesulitan untuk mendapatkan proyek-proyek seni orang Indonesia di Internet terkecuali dua hal.
Pertama, beberapa orang atau kelompok memanfaatkan Internet untuk mempublikasikan karya-karya baru -terutama karya tulis- mereka. Kedua, sesungguhnya ini masih berkaitan dengan publikasi karya, beberapa orang atau kelompok mengetik-ulang karya-karya tulis ke dalam format dokumen web, memotret lukisan atau karya installasi, dan lalu menyimpannya di jaringan Internet. Apa yang terjadi selama ini memang melulu konversi format publikasi karya-karya lama dari suatu artefak menjadi dokumen digital.
Tak ada yang salah dengan kegiatan-kegiatan semacam itu. Bagaimanapun, Internet memang telah menjadi sebuah sistem pengantaran (delivery system) baik berdasarkan permintaan (request) -seperti pada proses akses ke situs web sastra, misalnya- maupun pelemparan (push) -seperti pada proses penyebaran karya lewat mailing list. Sebagai sistem pengantaran, Internet telah memudahkan banyak orang untuk mempublikasikan secara luas karya-karyanya dengan tanpa batasan.
Di mata mereka yang terbiasa mengagungkan adanya otoritas dunia seni, boleh saja kemudahan ini dianggap sebagai lorong bagi "eskapisme atau pelarian" untuk menghindarkan diri dari ukuran-ukuran yang dianggap obyektif di dunia seni lewat para aparatnya (redaktur sastra, kurator, dsb). Seperti terekam oleh Veven Sp. Wardhana atas simposium internasional perihal budaya media yang diselenggarakan di Universiteit Leiden atas prakarsa Verbal Art in the Audio-Visual Media of Indonesia (VA-AVMI), pekan pertama April 2001:
'Maknanya, harus ada kreativitas untuk menyiasati media yang berbeda. Dalam bahasa Faruk, sastra di internet harus berbeda dibandingkan dengan sastra cetak yang konvensional karena medianya juga berlainan. Yang ada selama ini sebatas memindahkan sastra cetak ke sastra internet. "Seolah sastra di internet sekadar merupakan eskapisme atau pelarian sastra konvensional yang tak lolos sensor redaksi media cetak," simpul simpel catatan saya pribadi.'
Tapi di mata mereka yang menisbikan posisi otoritas-otoritas semacam itu, kemudahan yang diberikan oleh Internet ini merupakan fasilitas yang baik untuk membebaskan proses publikasi karyanya dari jaring ukuran-ukuran subyektif otoritas dunia seni (sebuah kompleks dari pasar, akademisi, teorisi, dan jurnalis seni). Bagi kelompok ini, Internet telah membuka jalan untuk penyebaran karya-karya hasil eksplorasi artistik dan estetik di luar ukuran tempurung pengetahuan dan citarasa mereka yang secara relatif dianggap mempunyai otoritas di dunia seni.
Dalam pemahaman tertentu, Internet membantu para seniman untuk melakukan tindak subversi terhadap dunia seni. Sekurang-kurangnya, Internet telah membantu seniman untuk menghadirkan karya-karya mereka langsung ke publik tanpa melalui makelar-nilai.
Tapi tentu, Internet bukan semata-mata sebuah sistem pengantaran. Mereduksi Internet sebagai melulu sistem pengantaran adalah tidak fair, malah berbahaya. Betapapun, Internet mempunyai potensi yang cukup kaya sebagai suatu medium.
Yang tidak boleh dilupakan, Internet -pertama-tama dan pada faktanya- adalah sebuah jaringan komputer, yang didalamnya berlangsung berbagai proses lewat berbagai tatacara (protocol) komunikasi antar komputer. Lewat jaringan komputer sekala global inilah antar pengguna saling terhubung dan berkomunikasi. Dalam konteks berkesenian, karakteristik Internet semacam ini telah membuka peluang bagi para seniman untuk melakukan eksplorasi seni yang hyperdimensional.
Sebagai jaringan yang memfasilitasi hubungan dan komunikasi skala luas yang terbuka dan partisipatif, Internet memungkinkan para seniman untuk membebaskan karya dan prosesnya dari batasan-batasan dimensi ruang dan waktu. Para seniman dapat bekerja sama dengan seniman lain di manapun yang sama-sama terhubung ke Internet untuk bersama-sama mengambangkan karya ke dalam berbagai arah, yang hasilnya tak jarang tak terduga sebelumnya.
Meski boleh jadi sebuah karya kolaborasi berbasis network ini -sadar atau tidak- berada dalam suatu matriks dan kerangkakerja yang telah diberikan atau ditentukan sebelumnya, pada level tertentu kebebasan kreativitas individual pada masing-masing seniman yang terlibat dalam proyek seni tetap terjaga dan menjadi sumbangan arahan artistik dan estetik baru bagi karya dan prosesnya.
Proyek Refresh yang mulai berlangsung pada bulan Oktober 1996, adalah sebuah contoh. Pada proyek ini lebih dari 20 halaman web dari para perancang berbeda yang berlokasi di berbagai server yang tersebar di beberapa negara. Di masing-masing halaman web dalam proyek ini disisipkan sebuah meta-tag "refresh" (sebuah perintah dalam HTML), yang memerintahkan halaman web tersebut untuk 'lari' ke halaman web lain yang telah ditentukan setelah beberapa waktu yang ditentukan pula. Yang terjadi kemudian adalah suatu loop antar berbagai karya yang terlibat dan memberikan efek dan pengalaman puitik tersendiri bagi pembuat dan penikmatnya.
Estetika dalam proyek kolaborasi berbasis network boleh jadi tidak ditentukan oleh maksud atau konsep dari (para) pembuatnya. Yang kemudian terasa penting justru terletak pada pengalaman-pengalaman yang berlangsung selama proses penciptaan maupun penikmatan, dan serangkaian aparat serta perkakas teknisnya.
Tentu saja, bekerkesenian di Internet tidak harus selalu berarti sebuah kolaborasi. Seniman secara individual dapat menciptakan karya di Internet, sejauh bentuk-bentuknya dapat cocok dengan struktur Internet sebagai tempat kejadian perkara (berkesenian). Internet merupakan ruang multimedia yang khas dan masih terus berkembang.
Fakta inilah yang merangsang orang untuk melirik gagasan mengenai satu genre seni yang mencitrakan sekaligus memanfaatkan karakteristik Internet, dengan beragam sebutan. Ada yang menamainya sebagai net.art, web.art, atau seni spesifik Internet. Dua label pertama, lebih banyak dipakai.
Namun ada juga orang atau kelompok yang tidak bersepakat untuk menyebutnya sebagai satu genre seni yang baru. Bagi kelompok ini, Internet tidak lebih dari sekadar tempat kejadian perkara (berkesenian) yang memungkinkan genre seni yang telah dikenal sebelumnya untuk menumpang di atasnya.
Terlepas dari perdebatan kategoris itu, eksplorasi para seniman terhadap kemultimediaan Internet telah mengantarkan pengalaman multimedia puitik tersendiri. Apa yang disebut sebagai puisi, di Internet, tidak lagi harus berbentuk deretan teks. Ia bisa saja berbentuk grafis, animasi, suara, film, atau kombinasi dari unsur-unsur multimedia lainnya.[1]
Dalam "The Braille of the Rain" karya Russell Thornton, misalnya, kita tak hanya mendapatkan teks puisi statis, melainkan juga diiringi suara rintik hujan dan gemuruh halus guntur sebagai latar belakang, disertai dengan ilustrasi animatif yang halus dan gerakan fade-in dan fade-out dari teks puisi. Siapapun dapat menikmati karya ini dengan mudah sambil membuka seluruh inderanya, atau menutup matanya, atau menutup telinganya; selain karena bahasa dan gagasan tekstual-nya yang tidak terlalu rumit, juga karena disokong oleh pemanfaatan multimedia.
Pertimbangan-pertimbangan estetis dan artistik dalam penciptaan puisi jenis ini jelas tidak cukup hanya dikonsentrasikan pada gagasan isi puisi, keindahan dan kematangan pilihan serta susunan kata. Ada hal lain yang disertakan dalam pertimbang-pertimbangan tersebut (suara, grafis, gestur animasi) untuk menghasilkan karya yang utuh.
Secara teknis, karya ini dibuat dalam format dokumen flash yang tak terlalu njelimet. Dokumen flash adalah salah satu dokumen yang dapat ditampilkan di web yang dapat memadukan beragam media (audio, visual, audio-visual, animasi) -bahkan interaktivitas- dalam satu format dokumen. Untuk membuat dokumen jenis ini diperlukan kemampuan pemrograman. Itulah sebabnya, dalam "The Braille of the Rain" misalnya, Russell Thornton sebagai penyair dibantu oleh seorang desainer flash, Marnie Richardson.
Berkesenian di Internet mau tidak mau memang merupakan sebuah kegiatan yang mempertemukan seni dan teknologi. Pada prakteknya, hal ini bisa berarti dua hal: mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan estetis DARI sistem teknologi yang ada atau DENGAN kemampuan teknologi yang sudah ada maupun yang sebaiknya ditemukan.[2]
Dan itu mestinya bukanlah soal. Toh pada kenyataannya semua seni itu bersifat teknologi. Lukisan-lukisan minyak karya Johanes Vermeer, misalnya, dianggap berteknologi tinggi pada abad ke 17 di Belanda.
Para seniman yang percaya pada keterlibatan audiens dalam 'menyelesaikan' sebuah karya, dapat memanfaatkan teknologi interaktif dalam Internet. Untuk proyek-proyek seninya, siapa pun dapat memanfaatkan teknologi interaktif dengan beragam cara pemrograman: mulai dari hyperlink sederhana, javascript atau VB script, bahasa lingo yang dipahami dalam dokumen flash maupun shockwave, bahasa scripting untuk common gateway interface, bahasa scripting yang membutuhkan application server tersendiri (seperti ASP, Coldfusion, dsb), sampai bahasa-bahasa pemrogramman yang biasa dipakai untuk membuat piranti lunak games.
Eksplorasi terhadap feature teknologi Internet semacam itu telah melahirkan berbagai karya dan proyek seni interaktif. Pada karya semacam ini, audiens/pembaca/penikmat dilibatkan untuk turut menyelesaikan karya karena pengarangnya membuka beberapa opsi yang memungkinkan audiensnya 'menentukan pilihannya sendiri'.
Kalau boleh dipilah, saya ingin membaginya menjadi 3 jenis interaktivitas yang sampai saat ini berlangsung di Internet:
Pertama, interaktivitas tertentukan. Dalam karya yang melibatkan interaktivitas jenis ini, pengakses hanya disodori oleh sederetan opsi yang telah benar-benar ditentukan oleh pengarangnya. Termasuk ke dalam jenis ini adalah karya- karya yang menyandarkan diri pada link-link yang telah ditentukan; fiksi hypertext, misalnya.
Kedua, interaktivitas acak. Dalam interaktivitas jenis ini, pengakses diposisikan bagai penjudi lotere yang diberi kesempatan memberikan input -baik itu hanya menekan tombol maupun mengisikan suatu data- yang akan diproses secara acak oleh program dengan mengaitkannya dengan data dan struktur yang telah disediakan sebelumnya. Contoh karya macam ini adalah generator puisi dan RoboPoet.
Ketiga, interaktivitas terbingkai. Pengakses, dalam jenis interaktivitas ini, dibiarkan untuk terlibat memasukan data -baik itu teks, suara, gambar, dsb- apa saja sesuai dengan preferensi dan kreativitasnya sendiri namun kemudian diproses oleh program sedemikian rupa sehingga data-data baru tersebut masuk dalam bingkai struktur program tersebut. Contoh karya jenis ini adalah karya-karya semacam 'kisah yang tak pernah selesai'.[3]
Tampak, dari ketiga jenis interaktivitas di Internet saat ini, apa yang sebelumnya saya sebut sebagai 'menentukan pilihannya sendiri' bukanlah sebuah proses bebas dalam memilih; barangkali akan lebih tepat sebagai ilusi pilihan. Dalam beberapa hal, ada benarnya pendapat pengkritik seni interaktif yang menyatakan bahwa seni interaktif cenderung manipulatif dan totaliter. Pilihan-pilihan yang tersedia dalam seni interaktif berbasiskan komputer selalu berada dalam keadaan telah di-program-kan sebelumnya (pre-programmed); dan, betapapun, komputer diciptakan untuk mempermudah kendali.
Meski demikian, tidaklah tepat untuk menuding bahwa seni interaktif (di Internet) telah meminta penikmatnya untuk mengidentifikasi diri dengan struktur mental pembuatnya sambil menghabisi kebebasan asosiasi pribadi penikmat terhadap karya. Ketika saya menikmati karya multimedia interaktif "OBSTACLES STAND ASIDE" karya Peter Horvath -yang disebutnya sebagai sebuah meditasi atas eksistensi perkotaan, anak saya memaksa untuk mengambil alih komputer. Ternyata, di mata anak saya yang belum genap berumur 7 tahun itu, karya seni ini tak lebih dari games yang seinteraktif games Winnie The Pooh yang pernah ia mainkan.
Asosiasi pribadi, dalam proses penciptaan maupun penikmatan karya seni, betapapun, tetaplah daerah bebas, unik, dan tak dapat dikendalikan secara total.
Apapun yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, tidaklah dapat menggambarkan secara lengkap Internet sebagai tempat kejadian perkara (berkesenian). Bukanlah karena semata-mata Internet begitu luas aspeknya, tapi pertama-tama karena Internet masih terus tumbuh, berubah dan berkembang.
(Tulisan ini disajikan dalam "Internet dalam Perspektif Kebudayaan", Jumat/11 Mei 2001, Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM Yogyakarta)
Footnote:
1. Beragam jenis hasil eksplorasi para seniman atas kemultimediaan Internet dapat di jumpai di http://directory.google.com/Top/Arts/Literature/Poetry/Interactive/ . Di directory ini akan tampak betapa banyak nama yang dipakai untuk menyebut puisi khas Internet. [Kembali ke atas]
2. Upaya penemuan browser-browser alternatives selain 2 browser besar -Netscape dan Microsoft- yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya sebagai Browserday adalah salah satu contoh dari dorongan untuk menemukan teknologi baru demi menemukan kemungkinan-kemungkinan baru.[Kembali ke atas]
3. Pernah ada proyek yang disebut BODY_SECTION karya Justin Bird. Pada proyek ini, pengakses dapat terlibat mengirimkan dokumen grafis yang kemudian oleh program akan ditempatkan di salah satu bingkai karya tersebut. Sayangnya, sekarang karya tersebut tak dapat ditemukan lagi. Trace-Root karya Mark Daggett mempunyai kemiripan dengan BODY_SECTION. Untuk jenis fiksi, sayangnya, saya tidak berhasil menemukan contoh karya jenis ini -meski saya yakin saat ini sudah ada.[Kembali ke atas]