Cyber Culture

Dari Borderless Sampai Jurang Digital

"Le Pont de Trinquetaille" karya Van Gogh

Dapatkah perkembangan teknologi dengan serta merta melahirkan generasi baru tanpa prasangka-prasangka lama? Peran apakah yang dapat dimaikan oleh agen-agen harmoni?

Tanpa batas (borderless). Inilah kata (-kata) yang selalu muncul menyertai pemahaman kita mengenai perkembangan di bidang ICT (information and communication technology); terutama sekali Internet. Inilah kata yang seringkali, oleh para pendukungnya, dijadikan propaganda bagi optimisme terhadap masa depan.

Mereka, yang sangat peduli pada semangat kerjasama dan kesetaraan, merasa betapa Internet akan dapat memfasilitasi terbentuknya harmoni di tengah keberagaman. Bahkan, diyakini, bakal muncul satu generasi yang pelan-pelan terbebas dari prasangka-prasangka lama dalam tataran politik dan kebudayaan global.

Dalam "Being Digital", Nicholas Negroponte, yang oleh banyak orang dianggap sebagai bapak era digital, menulis,

"Sementara para politisi berjuang dengan pertimbangan sejarah, sebuah generasi baru muncul di wilayah digital yang bebas dari prasangka-prasangka lama. Anak-anak terbebas dari batasan-batasan geografi sebagai satu-satunya basis bagi persahabatan, kerja sama, permainan, dan pertetanggaan. Teknologi digital dapat menjadi kekuatan alami untuk mengajak orang ke dalam dunia harmoni yang lebih besar"

Pada faktanya, secara teknis, Internet tak lebih dari sebuah jaringan komputer global. Komputer-komputer saling terhubung dalam jaringan ini. Dengan fakta teknis ini, tidaklah berarti bahwa yang terjadi adalah orang sedang berbicara dengan komputer. Jaringan komputer global ini dipakai untuk menghubungkan orang dengan data, orang dengan orang; dipakai orang untuk berinteraksi.

Benar bahwa jaringan ini melampaui batas-batas geografis dan negara. Seorang pengguna Internet dari satu negara tak memerlukan passport atau visa untuk berbicara dengan orang lain atau mengakses data yang terdapat di sebuah komputer yang terletak di negara lain. Mereka bisa saling berhubungan dengan cepat dan langsung dengan menisbikan keberjarakan dan batas-batas. Borderless.

Tapi apakah fakta ini dengan serta merta memberikan cukup alasan bagi kita untuk optimis bahwa Internet akan menjadi kekuatan alami yang dapat membangun dunia harmoni dan semangat egalitarian?


Batasan dalam ketanpabatasan

Ruang cyber, yang terbangun oleh Internet, secara nature boleh jadi melampui batas-batas geografis; dan boleh jadi inilah satu-satunya fakta tentang ketanpabatasan Internet. Namun secara kultur, ruang cyber bukanlah melulu sebuah ruang yang berurusan dengan dimensi nisbi geografi. Seperti halnya ruang real, secara kultur ruang cyber pun terdiri atas lapisan-lapisan ruang lain.

Cara paling mudah untuk melihat dan merasakan lapisan-lapisan ruang lain di dalam ruang cyber adalah dengan masuk dan terlibat di dalam komunitas virtual di Internet dan praktek-praktek komunikasi yang dimediasikan komputer (CMC, computer mediated communication) lainnya.

Cobalah masuk ke sebuah server IRC (Internet Relay Chat), tempat yang lazim dipakai oleh pemakai Internet untuk berbincang-bincang. Atau, perhatikanlah daftar mailing list di situs web populer. Atau, amatilah deretan newsgroup di sebuah USENET server. Yang pertama-tama kita dapatkan di tempat-tempat itu adalah nama-nama: nama-nama channel di IRC, nama-nama mailing list dan newsgroup. Nama-nama itu, sebenarnya, tidak saja memberi petunjuk tentang subyek yang diperbincangkan. Melainkan juga memberikan petunjuk bagi pemakainya tentang sebuah ruang tempat ia berinteraksi. Inilah ruang-nama.

Sebagai ruang, ruang-nama mempunyai dimensi batas yang memisahkan wilayah ruang, dan menyertakan domain sosial, kognitif, simbolik dan lainnya. Implisit, di era ruang cyber sekalipun, orang masih menganggap penting arti batasan. Betapapun, interaksi antar orang dibentuk juga oleh identifikasi atas ruang.


Prasangka-prasangka lama tetap hidup

Ruang-nama ini agak mementahkan keyakinan mereka yang optimis bahwa gender, ras, geografi, kebangsaan, dan usia menjadi tidak penting dalam interaksi online. Ruang-nama dalam ruang cyber justru memperlihatkan hal yang sebaliknya.

Cobalah masuk ke server irc.dal.net. Di server ini kita akan menemukan nama channel yang merujuk geografi (#jakarta, #bandung, #surabaya), ras (#ch1nese), usia (#teens) dan lainnya. Begitu juga di mailing list dan newsgroup. Bahkan di luar perkara ruang-nama, batas-batas gender, usia dan lokasi tetaplah dianggap penting dalam interaksi online. Mereka yang terbiasa berkomunikasi dengan IRC akan terbiasa pula dengan pertanyaan pembuka, "A/S/L?". A/S/L adalah kependekan dari Age/Sex/Location.

Ini berarti bahwa dengan nature-nya yang borderless Internet tidaklah dengan serta merta memunculkan generasi yang terbebas dari prasangka-prasangka lama. Batasan-batasan yang muncul pada ruang-nama dalam komunitas virtual maupun dalam CMC bukanlah semata-mata merupakan sebuah bentuk identifikasi diri dan ruang; di dalamnya juga dapat memberikan tempat bagi prasangka-prasangka lama untuk tetap tinggal.

Bahkan dengan cara tertentu, interaksi di dalam ruang cyber juga mereplikasi bias-bias, kontradiksi-kontradiksi, dan prasangka-prasangka yang hidup dalam masyarakat kita di ruang real. Terutama sekali, sangat terlihat, dalam hal gender dan ras.

Misal, ini sangat terlihat pada bagaimana pengguna memilih nickname (nama alias) dalam berinteraksi. Perhatikan beberapa nickname yang pemah muncul di channel #bawel di server IRC Dalnet berikut: ce_sexy36B (dibaca: perempuan seksi berukuran dada 36 B), ce'chn'aussie'23 (dibaca: perempuan ras cina sedang berada di Australia berumur 23), co_cr_ce_sexy (dibaca: lelaki mencari perempuan seksi), CO_UI_CARI_CE_BAIK2 (dibaca: lelaki dari Ul mencari perempuan baik-baik).

Juga, karena -pada kebanyakan- penampakan fisik seseorang belum termanifestasikan secara online, tak ada jaminan bahwa seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai ce_sexy36B tadi -misalnya- benar-benar seorang perempuan di dunia nyata. Ini, lagi-lagi, memberikan peluang untuk suatu komunikasi identitas yang berbasiskan stereotipe dan prasangka.


Data, informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan

Di dalam komunikasi tradisional tatap-rnuka (face-to-face), interaksi antar orang diperkaya oleh isyarat-isyarat dan tanda-tanda sehingga semua yang terlibat di dalamnya mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain secara lebih akurat. Dengan demikian, mereka yang terlibat dalam jenis interaksi ini dapat memegang tanggungjawab (accountable) atas tindakan-tindakannya.

Tidak demikian halnya dalam interaksi online -dan CMC pada umunnya; terutama sekali dalam komunikasi yang melulu mengandalkan teks (email, newsgroup, dan beragam jenis text chat). Dalam interaksi online, komunikasi benar-benar mengandalkan kemampuan berimajinasi pelakunya. Kemampuan berimajinasi ini akan mencari rujukan kepada basis pengetahuan yang sudah terlebih dahulu didapatnya dalam masyarakat real-nya; termasuk di dalamnya berbagai stereotipe dan prasangka budaya yang hidup dalam dunia real.

Betapapun, menyandarkan diri kepada stereotipe dan prasangka merupakan cara termudah untuk mengidentifikasi pihak lain dalam interaksi online yang tidak memanifestasikan penampakan fisik. Meski tidak memberikan identifikasi yang otentik mengenai pihak lain, sterotipe dan prasangka-prasangka budaya dianggap dapat memberikan pegangan awal sehingga interaksi dapat dilangsungkan.

Seberapa lama sterotipe dan prasangka-prasangka ini dipegang dalam interaksi sangatlah tergantung pada sebarapa dalam dan intens interaksi itu berlangsung serta psikososial orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kemampuan berbahasa dan keunggulan gagasan menjadi sangat penting.

Pertukaran gagasan dan upaya saling saling memahami antar orang dalam proses interaksi online memang cukup kompleks. Kemampuan berimajinasi para pelakunya, barulah salah satu faktor dan kompleksitas tersebut.

Faktor berikutnya terletak pada fakta bahwa era informasi menciptakan era percepatan pertukaran data dan informasi. Apa salahnya dengan kecenderungan pada percepatan pertukaran data dan informasi? Tidak ada yang salah dari hal tersebut. Terkecuali bahwa percepatan pertukaran data dan informasi berisiko memunculkan kesalahpahaman sebagai akibat dari hilangnya fokus di tengah-tengah informasi dan data yang dipertukarkan secara deras dan cepat. Data dan informasi tidaklah selalu berarti pengetahuan dan kebijaksanaan (wisdom).

Data menjadi informasi ketika disampaikan ke pihak yang tepat. Informasi menjadi pengetahuan ketika ia dikaitan dengan suatu masalah. Pengetahuan menjadi kebijaksanaan ketika ia dipetakan dengan tepat dan menjadi sumber inspirasi bagi pengambilan sikap dan tindakan-tindakan.

Padahal, harmoni dan sikap saling memahami antar manusia yang beragam itu dibentuk oleh pengetahuan dan kebijaksanaan; bukan oleh semata-mata data dan informasi.


Peluang-peluang

Dengan kenyataan ini, haruskah kita skeptis terhadap kemampuan ICT -beserta interaksi online yang ada di dalamnya- untuk berperan dalam menumbuhkan dunia harmoni yang penuh dengan semangat kerjasama dan egalitarian pada tingkat global?

ICT memang tak bisa mentransformasikan informasi menjadi pengetahuan. ICT tak mempunyai kemampuan untuk dengan serta merta mencuci para penggunanya dari prasangka-prasangka lama, bias-bias, dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam masyarakatnya. Namun ICT dapat membantu membawakan informasi ke orang yang berpengetahuan, yang mempunyai kemampuan mengaitkan informasi dengan masalah-masalah. Juga, ruang cyber yang dibangun oleh ICT, mempunyai potensi untuk menjadi egalitarian untuk membawa orang ke sebuah tatanan jaringan.

Benar, seperti telah diungkap sebelumnya, bahwa pada prakteknya ruang cyber beserta CMC yang berlangsung di dalamnya tidaklah membersihkan penggunanya dari prasangka-prasangka lama. Narnun, ruang cyber memberikan peluang-peluang untuk berkomunikasi lebih luas ketimbang sebelumnya.

Setidaknya, ruang cyber dapat menjadi semacam pintu di setiap dinding kamar yang dihuni oleh orang yang selama ini terkurung di kamarnya, yang selama ini hidup di dunianya sendiri beserta sekian prasangka dan bias. Peluang-peluang berkomunikasi secara lebih luas, yang tersedia di ruang cyber, memberi ia kesempatan untuk menguji dan menghadapmukakan prasangka-prasangka yang terdapat di basis pengetahuannya kepada pihak lain. Memang tak ada jaminan bahwa proses -yang entah berapa lama akan memakan waktu- ini akan berakhir dengan sikap saling memahami. Namun sekurangnya proses ini akan mampu memberikan cakrawala baru mengenai arti keberagaman.

Yang sering tidak disadari bahkan oleh mereka yang menjalani kehidupan di ruang cyber adalah bahwa keterhubungan mereka dengan cakrawala baru telah memunculkan dorongan mencari tahu (curiosity) yang luar biasa mengenai banyak hal yang tak pemah terpikir sebelumnya. ltulah sebabnya, situs-situs web pencarian (search engine) merupakan situs-situs web yang cukup populer bagi pengguna Internet. Dan rasa penasaran adalah modal yang bagus menuju sikap saling memahami.


Politik informasi

Tinggalah kemudian, yang sangat penting dalam interaksi online, adalah memeriksa politik informasi yang berlangsung di ruang cyber. Tingkat kesadaran politik atas informasi di ruang cyber harus melebihi tingkat kesadaran politik atas informasi di medium lain. Ini tentu saja berkaitan dengan watak ICT yang menyediakan kemudahan, kebebasan, dan keluasan jangkauan pertukaran, penyebaran, dan penyimpanan informasi di ruang cyber. Dengan keleluasaan yang disediakan oleh ICT, informasi yang disimpan atau dipertukarkan di Internet bisa berarti apa saja secara politik dan budaya atau bahkan bisa tidak berarti apa-apa.

Sebuah contoh terkenal tentang kesalahan mengambil sumber informasi di Internet adalah berita tentang kehadiran Pol Pot di Swedia pada tahun 1997 yang disebarkan oleh kantor berita Reuters. Wartawan Reuters mengutip berita ini dari sebuah situs web bernama TASS.NET. Sang wartawan mengira, situs web tersebut adalah situs web resmi kantor beritas Tass. Celakanya, semuanya itu salah. Berita itu tak lebih dari banyolan yang dibuat oleh agensi pendesain web yang berada di belakang situs web TASS.NET.

Contoh lain adalah tersebarnya foto-foto lewat email yang diklaim sebagai foto korban perkosaan pada peristiwa Mei 1998 di Indonesia. Tersebarnya foto-foto ini telah menambah kemarahan kaum huaren (etnis cina yang tersebar di seluruh dunia), disusul dengan maklumat perang cyber oleh mereka yang mengklaim diri sebagai hacker etnis cina. Belakangan diketahui bahwa foto-foto tersebut tidak otentik. Beberapa foto itu telah terpampang jauh sebelum peristiwa Mei di situs web tentang penyiksaaan yang terjadi di Timor Timur; beberapa yang lain justru berasal dari situs porno.

Contoh paling dekat adalah tersebarnya link menuju situs yang menggambarkan bagaimana penguasa Taliban memperlakukan perempuan dan anak-anak di Afganistan. Informasi ini menyebar ke seantero dunia lewat email beberapa waktu setelah peristiwa penghancuran menara kembar WTC 11 September 2001. Terlepas dari benar atau tidaknya informasi ini, para penerima informasi sudah sepatutnya mempunyai kesadaran bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah perang informasi.

Kesadaran politik informasi mengandaikan sebuah sikap kritis terhadap informasi yang dipertukarkan. Di tengah-tengah peredaran informasi di ruang cyber yang begitu deras dan cepat, diperlukan sebuah ruang yang memadai untuk menguji sumber, kebenaran, dan implikasi-implikasi dari informasi tersebut. Tanpa kesadaran politik informasi, para pengguna ICT akan mendertia penyakit kaki gajah informasi: meraka tak mampu melangkah sedikit pun justru karena begitu banyaknya informasi yang membebani kaki mereka.

Agen-agen harmoni sebenarnya dapet mengambil peran dalam menumbuhkan kesadaran politik di kalangan pengguna Internet. Terutama sekali dalam masyarakat yang belum lama menerima kehadiran Internet. Di tengah masyarakat yang gagap teknologi, seringkali terjadi salah-urus dan salah-perlakuan terhadap teknologi. Bahkan di masyarakat kita, sampai saat ini, masih banyak yang memperlakukan teknologi tak lebih dari suatu kelangenan yang cukup mewah, bukan sebagai suatu alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk berperan serta dalam peradaban global -dalam pengertian meningkatkan basis pengetahuan atas keragaman kultur.


Jurang digital

Tidak itu saja. Agen-agen harmoni sudah sepatutnya pula terlibat dalam mengantarkan potensi egalitarian yang bisa digali dari ruang cyber secara lebih luas ke segenap penjuru keragaman budaya umat manusia; dengan terlibat dalam menjembatani apa yang dikenal sebagai jurang digital (digital divide).

Belum semua orang dapat mencicipi keuntungan dari perkembangan ICT yang tengah berlangsung saat ini. Ini menciptakan sebuah pemisahan yang sangat jelas, dalam, dan berjarak antara kelompok masyarakat yang telah beruntung mencicipi pemanfaatan ICT dengan mereka yang masih di pinggir ICT. Terciptalah sebuah jurang antara si miskin dan si kaya dalam informasi, antara si cepat dan si lamban dalam bekerja dan menyelesaikan persoalan maupun membangun kreativitas.

Dalam konteks pembangungan dunia harmoni dan tanpa dominasi antara satu kultur terhadap kultur lain, jurang digital berarti sebuah jarak yang tegas antara si terjajah dan si merdeka dalam epistemologi, antara mereka yang mengambil keuntungan dalam berkomunikasi dengan mereka yang terisolasi.

Jurang digital pertama-tama barangkali memang berkait dengan kesempatan untuk memakai teknologi, untuk mendapatkan akses kejaringan informasi. Tapi itu bukanlah satu-satunya isu dalam jurang digital. Andai hari ini semua orang mempunyai komputer yang terhubung ke jaringan Internet, tidaklah berarti bahwa persoalan jurang digital telah terselesaikan. Hanya mempunyai akses terhadap ICT belumlah secara langsung membuat orang menjadi lebih baik.

Jurang digital juga meliputi isu literacy. Di dalamnya, termasuk isu tentang literacy di bidang teknologi, yang memungkinkan seseorang dapat mengoperasikan alat teknologis di hadapannya. Juga literacy dalam informasi, yang memungkinkan orang mempunyai kesadaran politik atas informasi, seperti yang telah dikupas sebelumnya.

Andai semua orang saat ini mempunyai akses ke ICT, melek teknologi dan melek informasi maka tidak berarti jurang digital akan merapat dan terselesaikan. Isu lain yang penting dalam jurang digital adalah isu muatan (content). Muatan yang terdapat di Internet -sebagai sebuah jaringan informasi- saat ini belum mampu melayani seluruh kelompok budaya. Isu muatan terdiri atas masalah-masalah mengenai hambatan bahasa, menu sajian, serta cara penyajian.

Jelas, bahasa dominan di Internet saat ini adalah bahasa Inggris yang dituliskan dengan huruf latin. Dominasi ini tentunya akan menyisihkan mereka yang tidak mempunyai kemampuan berbahasa Inggris dan mereka yang tidak mempergunakan huruf latin.

Menu sajian di Internet saat ini pun belum menyentuh beragam lapisan orang. Anak-anak di Indonesia, misalnya, belum mendapatkan tempat di Internet. Tak ada menu sajian yang tepat untuk mereka.

Begitu pula halnya dengan cara menyajikan. Cara menyajikan informasi di Internet yang paling dominan saat ini adalah dengan menggunakan teks. Mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis teks, akan menjadi tertinggal di belakang. Memang ICT saat ini menyediakan altematif lain untuk menyajikan informasi di luar penggunaan teks; misalnya dengan menyajikanya lewat gambar bergerak atau suara. Ini diyakini mampu menjembatani mereka yang tertinggal dalam kemampuan menyerap teks, serta mereka yang cacat. Namun untuk mengimplementasikannya membutuh bandwidth Internet yang cukup mahal.

Jelas, yang pertama-tama tersisih di seberang jurang adalah mereka dari kelompok miskin baik yang berada di negara miskin maupun di nega kaya. Menyusul kemudian, kebanyakan kaum tua, bocah, perempuan, kaum cacat, dan kaum minoritas.

Tugas penjembatanan jurang digital akan memerlukan keterlibatan banyak pihak dan kemampuan. Ini tidak melulu masalah teknologi. Dan celakanya, tugas ini harus dilangsungkan dengan segera mengingat perkembangan ICT pun melaju terus tanpa bisa diperlambat atau bahkan dihentikan.

Tanpa penjembatanan, jurang digital akan semakin meniadakan kesempatan egalitarian bagi setiap kelompok budaya untuk berkomunikasi dan saling memahami; proses dekolonisasi epistemologis menjadi terhambat sehingga menyisakan daerah-daerah kultur yang bisu, gelap, penuh prasangka dan bias dalam peta peradaban.

Dimuat di Majalah Mitra Budaya)

Jaringan

Kontak