Dengan revisi undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), yang mulai berlaku sejak 28 November lalu, seorang warga negara punya hak untuk meminta agar penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus informasi dan dokumen elektronik tentang dirinya yang tidak relevan. Hak ini memang tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan lewat sebuah penetapan pengadilan.
Hak itu muncul dalam rangkaian ayat 3, 4, dan 5 di bawah pasal 26 UU ITE, di bawah bab tentang nama domain, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan hak pribadi. Ketiga ayat itu bena-benar sebuah tambahan baru.
Ketiga ayat ini sering disebut sebagai ayat-ayat tentang hak untuk dilupakan (right to be forgotten). Konsep mengenai hak untuk dilupakan menguat bersamaan dengan perkembangan budaya siber (cyber culture).
Di era Internet, semua hal yang pernah tercatat dan tersimpan akan selalu bisa diakses kembali. Berita tentang vonis bersalah seorang koruptor, misal, masih bisa ditemukan lewat mesin pencari meski sang koruptor telah membayar kesalahannya dengan menjalani masa hukumannya. Internet mempersulit orang untuk melupakan masa lalu.
Dari situlah muncul keinginan orang untuk terbebas dari ingatan tentang kehidupan masa lalunya, yang berpotensi menjadi stigma buruk yang membayangi sepanjang hidupnya. Orang menginginkan hak untuk dilupakan. Orang meminta hak untuk menghapus dokumen atau informasi tentang dirinya yang tidak dianggap relevan lagi dengan situasi terbaru.
Salah satu kasus yang terkenal terkait dengan hak untuk dilupakan adalah kasus Mario Costeja Gonzalez. Lelaki Spanyol ini menggugat Google agar menghapus link ke artikel digital surat kabar La Vanguardia yang terbit tahun 1998.
Artikel itu berisikan berita tentang pelelangan rumah Gonzalez yang disita terkait dengan utang yang belum lunas ia bayar. Ia berkeberatan dengan link ke artikel tersebut karena situasi dirinya saat ini berbeda dengan masa lalunya. Ia menganggap hal itu melanggar privasinya. Dalam kasus itu Pengadilan Eropa memerintahkan Google untuk menghapus data tersebut karena dianggap lemah dan tidak lagi relevan.
Kasus semacam itulah yang tampaknya menginspirasikan tambahan 3 ayat "hak untuk dilupakan" dalam revisi UU ITE.
Pertanyaannya, apakah hak untuk dilupakan itu benar-benar ada sehingga perlu diwadahi dalam sebuah undang-undang di negeri ini?
Dalam pemikiran filsafat, hak itu dibedakan dalam 2 kategori. Pertama, hak untuk bebas berbuat. Kedua, hak untuk mengklaim.
Hak bebas berbuat itu tidak terkait dengan suatu tugas yang harus dipenuhi oleh orang lain. Seseorang berhak untuk membaca buku di dalam kereta, misal. Tidak ada tugas yang harus ditunaikan oleh pihak lain agar hak itu terpenuhi.
Sedangkan hak untuk mengklaim hanya bisa dipenuhi jika pihak lain menunaikan tugasnya. Misal, seorang pekerja berhak mendapatkan gaji, yang wajib dibayar oleh perusahaan tempat ia bekerja.
Lalu, hak untuk dilupakan itu masuk dalam kategori hak yang mana? Jelas, hak untuk dilupakan tidak tergolong dalam kategori hak untuk bebas berbuat. Sebab hak untuk dilupakan menuntut pihak lain untuk memenuhi sebuah tugas: melupakan.
Apakah berarti hak untuk dilupakan itu masuk kategori hak untuk mengklaim? Tidak juga. Bagaimana mungkin seseorang menugaskan orang lain untuk melupakan suatu hal? Tak ada hak yang bisa membatasi apa yang boleh diingat, dilupakan, atau dipikirkan oleh orang lain. Kebebasan mengingat, melupakan, atau memikirkan sesuatu itu melekat dalam eksistensi manusia.
Ayat 3, 4, dan 5 yang ditambahkan dalam Pasal 26 UU ITE memang tidak secara eksplisit menyebut tentang hak untuk dilupakan. Namun susah bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan hal tersebut.
Ayat-ayat tersebut lebih menyebut tentang informasi dan dokumen "yang tidak relevan". Ayat 3 Pasal 26 berbunyi, "Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan."
Ada sejumlah persoalan untuk menerapkan ayat tersebut apabila pelaksanaannya tidak dipandu oleh peraturan yang rinci dan jelas. Yang paling terlihat adalah gesekannya dengan hak warga negara untuk mendapatkan informasi. Bagaimana hendak menegakkan hak untuk mendapatkan informasi jika ada hak lain untuk menghapus informasi?
Selain itu, tanpa penjelasan yang jernih tentang siapa yang dimaksud dengan penyelenggara sistem elektronik, ayat ini berpotensi menuntut negara menghapus catatan-catatan penting seorang warga negara. Sebab di era Internet ini negara juga menjadi penyelenggara sistem elektronik, bukan?
Informasi dan dokumen elektronik yang dimaksud dalam ayat itu pun perlu diperjelas secara rinci. Tanpa ada penjelasan dan pendefinisian yang jernih, karya jurnalistik dan karya ilmiah juga bisa dituntut untuk dihapus.
Kita patut menghormati privasi orang lain. Tetapi sangatlah absurd untuk menugaskan orang lain melupakan peristiwa yang pernah terjadi. Menghalangi orang untuk mengakses informasi saja sudah tergolong melanggar hak asasi, apalagi jika menghapus informasi dan dokumen yang secara legal tidak melanggar hukum.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/hak-untuk-dilupakan-itu-absurd