Ada apa dengan hari Selasa tengah bulan Desember ini? Kita mendapatkan kabar dan gambar yang mengerikan dan memilukan pada 13 Desember 2016 itu. Di tempat dan waktu yang berbeda, hari itu terjadi 3 peristiwa yang menunjukkan wajah agresif masyarakat kita.
Belum pukul sembilan pagi waktu setempat ketika Irwansyah memasuki kelas V SDN I Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia langsung menuju ke bangku belakang dan mendekati Naomi Oktoviani Pawali. Lelaki asal Bekasi itu memutar wajah dan menggorok siswi yang sedang belajar di kelasnya dengan pisau.
Bukan cuma Naomi, siswa lain di kelas itu juga diburu oleh Irwan. Meski tidak ada korban jiwa, keberingasan Irwan melukai 7 orang siswa sekolah itu.
Irwan sempat ditangkap dan ditahan. Namun polisi tak bisa menahan amarah massa yang ingin menghakimi sendiri si penyerang brutal itu. Belum sempat mengorek motif penyerangan tersebut, Irwan keburu tewas dirajam massa.
Sekitar pukul 5 sore pada hari yang sama, di jembatan penyeberangan orang di atas jalan Tol Pasirkoja Bandung, Muhammad Aziz Ghozali secara membabi buta mengejar dan menusuk orang yang melintas di sekitarnya dengan pisau dapur. Delapan orang bersimbah darah akibat keberingasan remaja berumur 19 tahun itu. Satu diantaranya bahkan meninggal dunia.
Polisi sedang mencoba mengorek keterangan untuk mengetahui motif penusukkan yang dilakukan anak muda itu. Sebelum peristiwa tersebut, Aziz dikabarkan juga pernah menusuk orangtuanya sendiri di Ciamis.
Dalam kadar yang berbeda, juga pada hari yang sama, keberingasan terjadi di salah satu jalan raya di Jakarta. Dora Singarimbun memaki-maki Aiptu Sutisna yang sedang bertugas di kawasan Jatinegara itu. Beredar video yang memperlihatkan perempuan itu memaki, dan bahkan mencakar polisi itu secara beringas. Saat ini kasus tersebut sedang diselidiki -termasuk mencari tahu penyulut tindakan agresif Dora.
Sehari sebelumnya, keberingasan dan kebrutalan diperlihatkan sekelompok remaja di Bantul Yogyakarta. Sekelompok siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, yang baru pulang dari wisata di Pantai Ngandong Gunung Kidul, diserang secara brutal oleh sekelompok remaja bermotor. Enam orang menjadi korban dalam serangan itu. Satu diantaranya meninggal.
Kejadian yang berturut-turut itu seperti menyadarkan kita bahwa sekarang masyarakat kita begitu mudah tersulut untuk bertindak agresif. Tidak sedikit dari tindakan agresif itu cenderung beringas, bengis, dan brutal.
Kecenderungan menguatnya perilaku agresif dalam masyarakat kita bukan melulu mewujud dalam agresi yang bersifat fisik. Coba perhatikanlah perilaku masyarakat kita di ranah media sosial. Dalam percakapan di media sosial, dengan mudah kita bisa melihat hampir seluruh hal yang terkait dengan tindakan agresi.
Ada agresi verbal di sana. Banyak orang yang mengobarkan amarah dan permusuhan juga di media sosial. Orang cenderung terlalu mudah memilih untuk bertindak agresif, bahkan seperti mengiranya sebagai sikap yang lumrah.
Kecenderungan berperilaku agresif di tengah masyarakat kita tak boleh dianggap enteng. Eskalasi dari kecenderungan itu akan mengobarkan budaya kekerasan yang mengerikan dalam segala urusan. Jelas, bukan itu yang kita harapkan bagi masa depan masyarakat kita.
Sebelum itu, kecenderungan berperilaku agresif pasti muncul karena ada faktor-faktor yang mendorongnya. Dan itu bukan melulu terkait masalah personal. Bahkan situasi dan masalah-masalah sosial budaya lebih banyak menentukan perilaku agresif masyarakat.
Kita tahu bahwa agresi bisa dicetuskan oleh kemarahan, frustrasi, anonimitas, tidak adanya kepatuhan sosial, dan kemiskinan. Di balik faktor-faktor pencetus perilaku agresif tersebut pastilah terkandung masalah-masalah struktural dan kultural.
Perilaku agresif memang bukan hal yang dengan mudah bisa disembuhkan. Yang perlu kita lakukan adalah mengendalikannya. Karena melibatkan masalah struktural dan kultural, pengendalian itu tentu menuntut keterlibatan semua pihak. Tidak bisa menyerahkannya sebagai urusan pemerintah saja; bukan pula sebagai urusan individual warga negara saja.
Salah satu hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian terkait kecenderungan berperilaku agresif tersebut adalah isu pendidikan. Pendidikan, baik yang berlangsung di sekolah-sekolah maupun dalam keluarga, harus benar-benar menyelenggarakan praktik yang tidak mengabaikan pentingnya kecerdasan emosional.
Dalam setiap perilaku agresif selalu ada indikasi bahwa pelakunya tidak mempunyai kecerdasan emosional yang memadai untuk hidup bermasyarakat.
Dan yang paling mendesak saat ini adalah menegakkan kepatuhan sosial. Memudarnya kepatuhan sosial membuka pintu sekaligus merangsang orang untuk berani melepaskan kendalinya terhadap kecenderungan-kecenderungan agresif.
Apakah menegakkan kepatuhan sosial itu berarti kembali menghidupkan pendekatan-pendekatan represif seperti era rejim Orde Baru? Tidak.
Segala upaya untuk membangun kembali kepatuhan sosial haruslah bersandar kepada penegakan hukum, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Tentu hal itu adalah upaya yang kompleks. Meski begitu kita tidak bisa menundanya.
Kita tidak ingin menyerahkan masa depan kita ke budaya kekerasan yang fatalistis bukan?
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/hentikan-keberingasan-di-sekitar-kita