Keluar dari kemelut perdagangan orang

Ilustrasi oleh Kiagus Aulianshah/Beritagar.id

 

Rabu (25/01/2017) ini 13 terdakwa diadili di Pengadilan Negeri Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur) dalam kasus perdagangan orang (human trafficking). Ketigabelas orang itu disidangkan terkait dengan dakwaan pemalsuan dokumen dan perekrutan tenaga kerja secara ilegal.

Empat di antaranya--Eduard Leneng, Marta Kaligula, Putri Novitasari, dan Gostar Moses Bani--disidangkan secara terpisah. Keempatnya berperan sebagai perekrut tenaga kerja.

Mereka didakwa telah merekrut dan memberangkatkan korban yang saat itu masih di bawah umur dan memalsukan dokumen korbannya. Salah satu korban mereka adalah Yufrinda Selan.

Perempuan itu dikabarkan hilang pada 2 September 2015. Saat itu tak ada yang tahu kemana Yufrinda pergi. Kedua orangtuanya mengira Yufrinda mencari kerja di Kupang. Tapi dugaan itu keliru.

Hampir setahun kemudian petugas dari BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) NTT membawa kabar buruk: Yufrinda tewas bunuh diri di Malaysia pada bulan Juli 2016. Sehari setelah kabar kematian Yufrinda sampai ke orangtuanya, jenazah perempuan berusia 19 tahun itu tiba dalam peti mati di bandara El Tari Kupang.

Tentang penyebab kematian anaknya, orangtua Yufrinda tidak percaya begitu saja. Ia meminta pihak kepolisian melakukan otopsi. Ditemukan sejumlah kejanggalan dalam jasad Yufrinda, yang mengindikasikan bahwa perempuan itu korban penyiksaan. Bahkan merebak dugaan, selain menjadi korban penyiksaan, Yufrinda juga menjadi korban penjualan organ tubuh.

Yufrinda bukanlah satu-satunya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) asal NTT yang meninggal sepanjang tahun 2016. Seperti diberitakan BBC Indonesia, pada tahun 2016 jumlah TKI asal NTT yang meninggal dunia mencapai 54 orang.

Melihat tingginya angka kematian TKI asal NTT itu, sejumlah pihak mencoba mengantisipasinya. Seperti dilaporkan oleh Timor Express, Bupati TTU (Timor Tengah Utara) Raymundus Sau Fernandes, misal, mengambil kebijakan moratorium pengiriman TKI asal TTU ke luar negeri.

Namun tampaknya upaya tersebut tak banyak membuahkan hasil. Banyak warga TTU menyiasatinya dengan mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkannya di kabupaten tetangga seperti Kupang dan Belu.

Pemerintah memang sudah melakukan sejumlah hal untuk menegaskan komitmennya dalam pemberantasan perdagangan orang. Pertengahan tahun lalu, misal, tujuh lembaga pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman tentang pencegahan dan penanganan warga negara Indonesia yang terindikasi atau menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di luar negeri.

Ketujuh lembaga itu antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Dalam nota kerja sama yang ditandatangani 23 Agustus 2016 itu, ada sejumlah hal yang menjadi fokus pemerintah. Yaitu, pertukaran data dan informasi, identifikasi korban, pemulangan TKI, dan rehabilitasi korban.

Kita memang membutuhkan upaya yang serius dalam menangani masalah perdagangan orang. Jumlah WNI yang menjadi korban trafficking cenderung meningkat.

Dalam jumpa pers tentang bedah kasus perdagangan orang di Senggigi, Lombok Barat, awal Desember tahun lalu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan BHI Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa WNI yang menjadi korban perdagangan orang di luar negeri sampai November 2016 mencapai 470 orang.

Angka itu jauh lebih tinggi dari tahun 2015, yang mencapai 296 orang. Sedangkan pada tahun 2014, menurut Iqbal yang dikutip Republika, terdapat sebanyak 425 korban. Tahun 2013 sebanyak 328 orang.

Data-data tadi memberikan gambar betapa seriusnya persoalan perdagangan orang yang kita hadapi. Hal itu tentu menyangkut tata kelola penempatan dan perlindungan TKI.

Salah satu pintu masuk perdagangan orang adalah proses perekrutan dan pemberangkatan tenaga kerja. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyerahkan proses penting itu kepada swasta. Negara nyaris tidak terlibat dalam proses tersebut.

Padahal sejumlah kasus menunjukkan bahwa perdagangan orang, pertama-tama, dimungkinkan dengan mengakali proses perekrutan dan pemberangkatan. Tak ada proses pelatihan, misalnya. Syarat dan kualifikasi TKI pun diabaikan.

Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil peran lebih besar dalam proses perekrutan dan pemberangkatan. Pemerintah juga harus menunjukkan kesungguhannya dalam memberantas pemalsuan data dan dokumen yang diperlukan untuk memberangkatkan TKI, yang tak jarang melibatkan aparat negara.

Keterlibatan aparat negara dalam pemalsuan data dan dokumen TKI seperti sudah menjadi rahasia umum. Dalam kasus perdagangan Yufrinda, misal, terkuak bahwa staf Kantor Imigrasi Kelas 1A Kupang terlibat dalam menyediakan paspor dengan data yang dipalsukan.

Perdagangan orang harus dihentikan sejak langkah awalnya. Untuk mulai menghentikan perdagangan orang, kita tidak perlu menunggu peti mati berikutnya yang berisikan jenazah warga negara kita yang bekerja di luar negeri.

TKI di luar negeri adalah warga negara kita yang sedang bekerja. Mereka bukan sedang mengemis. Mereka bukan juga budak atau komoditas yang boleh diperdagangkan. Mereka adalah saudara kita.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/keluar-dari-kemelut-perdagangan-orang

Jaringan

Kontak