Jurnalis seringkali dianggap sebagai salah satu profesi yang cukup berisiko. Dalam melakukan pekerjaannya, jurnalis tidak jarang harus berhadapan dengan ancaman dan kekerasan yang membahayakan keselamatannya. Kehilangan nyawa ketika kerja adalah salah satu risiko yang dihadapi jurnalis dalam bekerja.
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia mencatat, jumlah kasus kekerasan yang menimpa jurnalis sepanjang 2016 cukup tinggi. Ketua Umum Aji Indonesia Suwarjono menyatakan, sejak Januari sampai Desember 2016 setidaknya terjadi 78 kasus kekerasan dan 1 kasus pembunuhan terhadap jurnalis.
Dari 78 kasus itu, hampir separuhnya berupa kasus kekerasan fisik. Yaitu 35 kasus. Sedangkan kasus pengusiran atau pelarangan liputan mencapai 17 kasus.
LBH Pers punya angka berbeda mengenai jumlah kasus kekerasan yang menimpa jurnalis sepanjang 2016.
"Sepanjang tahun 2016, kami mencatat sedikitnya telah terjadi 83 kasus kekerasan terhadap jurnalis," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin seperti dikutip Kompas akhir tahun 2016 lalu.
Padahal, dalam catatan LBH Pers, kekerasan terhadap jurnalis tahun 2015 berjumlah 45 kasus. Itu artinya ada peningkatan kasus kekerasan yang sangat tinggi dibanding tahun sebelumnya.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh AJI Indonesia. "Jumlah kekerasan itu jauh lebih tinggi dibanding jumlah kekerasan terhadap jurnalis dalam sepuluh tahun terakhir," kata Suwarjono
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah salah satu rangkaian kegiatan yang bisa memicu tindak kekerasan kepada jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya.
Dalam Pemungutan Suara Ulang kedua Pilkada Kabupaten Mamberamo Raya Papua di 9 TPS Juni tahun lalu, misal, sejumlah jurnalis diintimidasi ketika menjalankan tugasnya. Dengan ancaman senjata tajam, sejumlah jurnalis yang sedang meliput pemungutan suara di TPS diusir oleh orang yang dikenal sebagai tim sukses salah satu pasangan calon dalam Pilkada itu.
Hal serupa, contoh lain, juga dialami seorang jurnalis ketika meliput kegiatan debat kandidat dalam Pilkada Takalar akhir Desember tahun lalu. Ia mengaku dicekik dan dipukul saat meliput kegiatan itu. Foto-foto hasil liputannya pun diminta dihapus.
Masih di bulan Desember tahun lalu, kita masih ingat sejumlah jurnalis juga mengalami tindak kekerasan ketika meliput aksi demo anti Ahok, salah satu Calon Gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta. Belum lama ini, masih dalam rentetan aksi menentang Ahok sebagai Calon Gubernur, sejumlah jurnalis juga mengaku mengalami tindak kekerasan ketika meliput kegiatan yang dikenal dengan sebutan Aksi 112 di Masjid Istiqlal Jakarta
Tentu kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi dalam rangkaian kegiatan yang terkait dengan Pilkada. Namun harus diakui kompetisi yang ketat dalam Pilkada seringkali mendorong munculnya pihak-pihak yang dengan sengaja menghalangi kegiatan kerja para jurnalis.
Lazimnya ada 3 jenis alasan yang sering menjadi pendorong tindak kekerasan. Pertama, munculnya pihak yang tidak menginginkan adanya ekspose atas fakta yang ditemukan jurnalis. Kedua, ada pihak yang memandang jurnalis tidak bekerja secara fair dan independen. Ketiga, ada anggapan bahwa media tertentu merupakan media penyokong salah satu calon yang ikut dalam Pilkada.
Alasan pertama sama sekali tak bisa dijadikan pembenar untuk tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers menjamin para jurnalis untuk bekerja secara merdeka dan tanpa larangan.
Jurnalis mendapatkan jaminan hukum untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Bahkan, menurut undang-undang tersebut, siapa pun yang menghambat atau menghalangi kerja para jurnalis akan dipidana.
Ya, jurnalis pasti bukan makhluk sempurna. Pers juga mempunyai kewajiban "memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah", seperti diamanatkan oleh undang-undang.
Jika dalam bekerja maupun hasil pekerjaannya dianggap tidak sesuai dengan kaidah jurnalisme, kode etik jurnalistik, dan undang-udang pers maka masyarakat berhak untuk mengoreksi pers. Tidak dalam bentuk tindak kekerasan, tentunya.
Warga negara berhak memberikan tanggapan atas fakta yang diberitakan oleh jurnalis jika dianggap merugikan nama baiknya. Warga negara juga berhak membetulkan informasi keliru yang disiarkan oleh pers. Kedua hak itu dikenal sebagai hak jawab dan hak koreksi.
Jurnalis memang bukanlah satu-satunya pihak yang mempunyai kepentingan atas pers nasional yang sehat jaminan hak untuk mendapatkan informasi. Undang-undang pers memungkinkan semua warga negara "untuk memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers".
Namun tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan pihak mana pun untuk menghambat dan menghalangi kerja para jurnalis. Jurnalis hadir dalam sebuah peristiwa untuk menjalankan kewajibannya: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Laporan atas tindak kekerasan yang menimpa jurnalis dalam kerja pers sudah seharusnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis harus sampai ke proses pengadilan.
Proses pengadilan akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat apakah tindakan kekerasan terhadap jurnalis itu sungguh terjadi atau tidak. Bersamaan dengan itu, proses pengadilan juga memberikan kepastian hukum kepada para jurnalis bahwa hukum melindungi aktivitas kerja jurnalistik mereka.
Dengan cara itulah kita berharap bisa tumbuh sebagai masyarakat yang dewasa dalam berdemokrasi.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/kekerasan-terhadap-jurnalis-harus-ditindak