Empat bulan lalu, ketika pada bulan Oktober 2016 KIP (Komisi Informasi Pusat) membacakan putusan sengketa informasi antara Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan Kementerian Sekretariat Negara (Setneg), kita bisa berharap akan segera melihat secara lebih gamblang penuntasan kasus pembunuhan aktivis Munir. Harapan itu tampaknya tidak bisa segera terwujud dalam waktu dekat ini.
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Kamis (16/02/2017) lalu membatalkan keputusan KIP atas sengketa informasi itu. Akibatnya, pengumuman hasil Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir kepada publik -yang sangat ditunggu oleh masyarakat- itu tidak lagi diwajibkan kepada pemerintah.
Emosi masyarakat memang seperti diaduk-aduk dalam urusan pengungkapan kematian Munir.
Pada akhir September 2016 Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya untuk menuntaskan kasus Munir. Dalam pertemuan dengan 22 pakar dan praktisi hukum di Istana Merdeka itu secara spesifik Presiden Joko Widodo menyebut kasus kematian Munir.
"PR (pekerjaan rumah-red) kita mengenai pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk di dalamnya kasusnya Mas Munir juga ini perlu diselesaikan," kata Presiden Jokowi saat itu seperti dikutip detikcom.
Masyarakat menangkap gelagat yang bagus dari pernyataan Presiden itu. Kita berharap kasus pembunuhan Munir akan lebih terlihat gamblang.
Apalagi dua minggu kemudian, dalam sengketa informasi antara KontraS dan Kementerian Setneg, KIP memutuskan agar pemerintah wajib mengumumkan secara resmi hasil TPF kasus Munir. Selain itu, pemerintah juga wajib mengumumkan alasan yang menjadi penyebab belum mengumumkan secara resmi hasil TPF kasus Munir itu.
Masyarakat berharap keputusan KIP itu akan menjadi jalan awal menuju terbukanya informasi yang lebih nyata seputar pembunuhan aktivis Munir, yang diracun dalam penerbangannya menuju Belanda.
Harapan masyarakat itu agak sedikit terusik ketika pemerintah tidak memperlihatkan itikad untuk memenuhi keputusan KIP atas sengketa itu. Pemerintah menganggap keputusan KIP tersebut multitafsir. Di satu sisi, pemerintah wajib mengumumkan hasil TPF.
Di sisi lain, pemerintah juga wajib mengumumkan alasan yang menjadi penyebab belum diumumkannya hasil TPF tersebut. Dalam sidang sengketa informasi itu memang terungkap bahwa Kementerian Setneg tidak memiliki laporan hasil TPF tersebut. Dan itulah penyebab belum diumumkannya hasil TPF selama ini.
Harapan masyarakat atas terungkapnya kasus Munir bergeser menjadi polemik tentang hilangnya laporan hasil TPF. Apakah laporan itu hilang atau dihilangkan? Berada dimanakah laporan itu sekarang?
Emosi masyarakat memang seperti diaduk-aduk. Baru saja punya harapan besar kasus Munir akan terungkap, tak lama kemudian berubah menjadi geram karena laporan hasil TPF itu tak jelas berada dimana.
Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung M Prasetyo untuk menelusuri keberadaan dokumen hasil TPF. Prasetyo, yang mengaku belum pernah membaca laporan TPF itu, sempat berharap pihak-pihak yang pernah terlibat dalam TPF tersebut dapat memberikan salinan untuk mempermudah penelusuran.
Bahkan, jika pihaknya tidak bisa memperoleh dokumen itu dari tim yang terlibat di TPF, Prasetyo berencana menemui Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana itu tidaklah berlebihan. Pembentukan dan penyerahan laporan hasil TPF itu berlangsung pada era Presiden SBY.
Dalam polemik tentang dokumen TPF, masyarakat memang kemudian menoleh kembali ke era Presiden SBY. Orang bertanya-tanya apa yang terjadi saat itu?
SBY merespon. Dalam konferensi pers yang digelar di kediamannya, pihak SBY membantah selentingan bahwa pemerintah di era SBY dengan sengaja menghilangkan dokumen hasil TPF.
"Saya pastikan, yang kami lakukan dulu juga serius dan sungguh. Terutama dalam konteks penegakan hukum," kata SBY saat itu seperti dikutip BBC, sambil menekankan bahwa dirinya mendukung Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus Munir tersebut.
Sudi Silalahi, mantan Menteri Sekretaris Negara yang juga hadir dalam konferensi pers itu, menyatakan akan mengirimkan salinan dokumen hasil TPF yang ada.
Sesuai janjinya, melalui kurir, Sudi Silalahi mengirimkan salinan dokumen tersebut sehari kemudian ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dalam di lembar akhir salinan dokumen tersebut tertera tandatangan Marsudi, yang menyatakan bahwa salinan tersebut sesuai dengan aslinya. Marsudi adalah Ketua TPF tersebut.
Kita mungkin sempat berharap, pemerintah akan memusatkan perhatian untuk memastikan keakuratan informasi dalam salinan itu, sambil menelusuri keberadaan dokumen asli hasil TPF Munir. Nyatanya, tidak. Pemerintah malah menggugat keputusan KIP ke PTUN.
Hasilnya, seperti kita tahu tadi, mementahkan keputusan KIP. Kewajiban pemerintah untuk mengumumkan hasil TPF pun dimentahkan. Ini sungguh mengaduk-aduk emosi dan akal sehat kita.
Kewajiban pemerintah untuk mengumumkan hasil TPF itu dengan jelas tertera dalam Keputusan Presiden nomor 111 tahun 2004 tentang pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. Bagaimana mungkin PTUN mementahkan kewajiban itu?
Kita sebetulnya lebih berharap pengadilan mendorong pemerintah untuk menunaikan kewajibannya untuk mengumumkan hasil penyelidikan TPF, berbekal salinan dokumen yang sudah diterimanya itu. Dorongan itu akan memastikan seberapa serius pemerintah berkemauan untuk menuntaskan kasus Munir.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/seriuskah-pemerintah-mau-menuntaskan-kasus-munir