Hindari pembiaran yang kebablasan

 

"Banyak juga yang bertanya kepada saya," ungkap Presiden Joko Widodo dalam pidato di acara pengukuhan pengurus Partai Hanura (22/2/2017), "apakah demokrasi kita itu sudah terlalu bebas dan sudah kebablasan?"

Presiden tidak seketika melanjutkan pidatonya. Ia menundukkan dan mengarahkan wajahnya ke kertas teks pidato beberapa saat.

Setelah wajahnya kembali berpaling ke arah hadirin, barulah Presiden berkata, "Saya jawab, iya. Demokrasi kita itu sudah terlalu kebablasan."

Hadirin bertepuk tangan.

Tunggu dulu. Demokrasi itu, singkatnya, adalah sistem pemerintahan yang di dalamnya warga negara menjalankan kekuasaannya lewat wakil-wakil yang dipilihnya. Lalu, apakah dalam pidato itu Presiden Joko Widodo membicarakan sistem pemerintahan yang kita anut?

Tampaknya bukan. Presiden tidak menyinggung sistem pemerintahan dalam pidatonya. Presiden, dalam pidato yang sama, juga tidak membahas demokrasi yang merujuk ke pengertian "kekuasaan mayoritas".

Pada menit kelima sampai menit kesembilan pidatonya malam itu, Presiden Joko Widodo sebetulnya lebih membicarakan perihal praktik politik yang mengeksploitasi ruang kebebasan yang tersedia dalam sistem demokrasi kita. Akibat dari praktik politik seperti itu, Presiden menyinggung perihal peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem" "yang bertentangan dengan ideologi kita".

Secara spesifik Presiden menyebut suasana dan kondisi politik kita 4 sampai 5 bulan belakangan. Itu artinya, merujuk ke momen saat tensi politik nasional meninggi terkait dengan Pilkada DKI 2017. Sejak momen itu masyarakat sangat merasakan ruang kebebasan dalam demokrasi kita dieksploitasi dengan isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Masyarakat juga bisa merasakan bahwa sejumlah pihak terus menerus, bukan saja menyulut percekcokan di media sosial, mengobarkan agitasi dalam beragam bentuk media komunikasi untuk memperuncing perselisihan.

Jujur saja, susah untuk menyangkal bahwa dalam 5 bulan terakhir ini kohesivitas masyarakat kita cukup dirongrong oleh fitnah, kabar bohong, dan bara kebencian yang terus ditiup oleh pihak-pihak yang mengeksploitasi ruang kebebasan yang disediakan oleh demokrasi.

Hal semacam itu akan sulit sekali terjadi sebelum kita memasuki Era Reformasi. Pada era Orde Baru tidak cukup tersedia ruang kebebasan bagi keterlibatan warga negara karena kekuasaan cenderung dijalankan secara otoriter.

Memasuki Era Reformasi kebanyakan dari kita sepakat untuk membangun masyarakat yang lebih demokratis ketimbang era sebelumnya. Sejumlah perundang-undangan dibuat atau diperbaharui untuk mendukung langkah menuju kehidupan yang demokratis itu.

Ruang-ruang kebebasan pun terbentuk bagi warga negara untuk mendapatkan hak-hak politiknya, untuk berserikat dan berkumpul, untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya. Kebebasan untuk menyatakan pendapat adalah darah segar bagi demokrasi.

Itulah sebabnya, didorong keinginan membangun sistem yang demokratis, salah satu undang-undang yang pertama-tama terbentuk pada Era Reformasi adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Sejak saat itu demonstrasi dan berbagai bentuk dan cara menyampaikan pendapat terasa jauh lebih bebas ketimbang era sebelumnya

Ruang-ruang kebebasan itu tersedia untuk seluruh warga negara. Tidak pandang bulu, termasuk juga bagi warga negara yang -secara terang-terangan, malu-malu maupun diam-diam- sebetulnya menentang prinsip demokrasi dan konstitusi negara. Dalam praktik politik belakangan ini, ruang-ruang kebebasan itulah yang bisa dieksploitasi oleh pihak-pihak yang mengembangkan "artikulasi politik yang ekstrem"

Demokrasi memang paradoksal. Selain memberi keleluasaan kepada para penyokongnya, demokrasi memberi ruang juga bagi penentangnya bahkan untuk merongrong prinsip demokrasi itu sendiri. Untuk mempertahankan diri dari rongrongan semacam itu, sistem demokrasi mensyaratkan adanya hukum dan penegakan hukum yang memastikan tak ada seorang warga negara pun terrampas hak politiknya akibat eksploitasi ruang kebebasan oleh warga negara lain.

Meski mungkin belum sempurna, agar tidak merongrong demokrasi itu sendiri, kita sebetulnya memiliki sejumlah undang-undang dan peraturan untuk mengelola kebebasan-kebebasan yang muncul dalam sistem demokrasi. Kita sudah memiliki undang-undang untuk menangani fitnah, kabar bohong, hasutan, ujaran kebencian, maupun penentangan terhadap dasar negara dan konstitusi.

Cuma, dengan melihat 5 bulan ke belakang saja, masyarakat bisa melihat justru pemerintah tampak ragu menegakkan hukum. Bahkan dari serangkaian kejadian dalam kurun waktu itu, kita bisa melihat ada elit politik dalam pemerintah yang bergelagat akan memakai pendekatan politik untuk menyelesaikan beberapa urusan hukum.

Seharusnya pihak eksekutiflah yang pertama-tama secara solid berkomitmen menegakkan hukum. Kita tidak mungkin mengharapkan penegakan hukum dari eksekutif yang tidak kompak. Seluruh elemen dalam pemerintahan yang berkuasa saat ini seharusnya secara kompak menegakkan hukum kepada siapa pun yang jelas-jelas mengumbar fitnah, kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan, dan penentangan terhadap dasar negara dan konstitusi.

Upaya untuk menyelesaikan secara politik kasus-kasus hukum semacam itu adalah bentuk lain dari pembiaran terhadap pelanggaran hukum. Hal itu sungguh melukai demokrasi dan rasa keadilan.

Sekecil apa pun, pembiaran tak boleh terjadi. Apalagi jika sudah kebablasan, pembiaran sungguh tidak bisa diterima.

Selain itu, warga negara tentu sangat berharap pihak legislatif tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari praktik politiknya. Sebaliknya, pihak legislatif menggunakan kekuasaan legislasinya untuk tujuan bernegara yang lebih luas.

Itu sebabnya pihak legislatif juga harus memberikan dukungan dalam menyediakan undang-undang yang mampu mempersempit peluang bagi siapa pun yang berniat mengeksploitasi ruang kebebasan berdemokrasi untuk kepentingan yang bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/hindari-pembiaran-yang-kebablasan

Jaringan

Kontak