Meski mendapat penolakan besar karena dianggap akan merusak lingkungan hidup di kawasan itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memang tidak pernah memberikan gelagat akan menghentikan pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang.
Bahkan Ganjar masih mencoba berkelit ketika Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) untuk membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah tentang izin lingkungan kegiatan penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
PK itu diajukan oleh sejumlah petani Kendeng dan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Keputusan MA pada Oktober tahun lalu itu justru direspons oleh Ganjar dengan mengeluarkan SK yang memberikan izin lingkungan yang baru untuk kegiatan tersebut pada bulan November.
Untuk meredakan protes, Ganjar sempat berkilah bahwa SK tersebut bukanlah izin lingkungan yang baru. Menurut Ganjar, SK baru tersebut sebenarnya laporan Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan yang rutin. Meski judul SK bernomor 660.1/30 Tahun 2016 itu jelas-jelas menyebut kata "izin".
Para penolak pembangunan pabrik semen menyangsikan itikad pemerintah untuk mematuhi keputusan MA. Bagi mereka, keputusan MA yang membatalkan izin lingkungan tersebut berarti pembatalan semua operasi pembangunan pabrik semen. Sementara mereka melihat pemerintah masih tampak bersikukuh melanjutkan operasi pabrik semen tersebut.
Pemerintah tampaknya dengan sengaja dan ringan saja memperlakukan keputusan MA tersebut sebagai perintah untuk merevisi Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) semata. Keputusan MA tersebut dianggap tidak bisa menghentikan operasi pabrik semen.
Persepsi itulah yang terus diusung oleh pemerintah. Itu sebabnya tak sedikit orang meragukan kesungguhan Ganjar yang menyatakan akan segera mengirimkan surat usulan untuk melakukan moratorium pemberian izin pabrik semen di provinsinya. Pernyataan itu disampaikan Ganjar pada saat mendapat tekanan publik terkait keputusan MA tersebut.
"Sampai saya punya pemikiran moratorium dan sudah saya sampaikan dalam rapat. Saya bilang kepada Ibu Menteri, 'saya izin moratorium, mudah-mudahan Ibu berkenan'," kata Ganjar menirukan ucapannya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, seperti dikutip CNN Indonesia.
Tidak perlu waktu yang lama untuk membuktikan keraguan publik atas pernyataan pemerintah perihal moratorium izin pabrik semen itu. Sebulan setelah pernyataan soal usulan moratorium itu, 16 Januari 2017, Ganjar menggelar konferensi pers. Ia mengumumkan pencabutan izin lingkungan pabrik semen Rembang, namun dengan sejumlah embel-embel di belakangnya.
Selain menyatakan mencabut izin lingkungan pada SK sebelumnya, Surat Keputusan Gubernur Nomor 6601/4 Tahun 2017 menyertakan beberapa poin lain, diantaranya:
- Memerintahkan kepada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk menyempurnakan dokumen adendum Amdal dan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).
- Meminta Komisi Penilai Amdal Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan proses penilaian dokumen adendum Amdal dan RKL-RPL yang saat ini sedang berlangsung
Dengan kata lain, izin lingkungan baru bisa diberikan. Pemerintah bersikukuh dengan cara pandang bahwa putusan PK hanya meminta revisi atau penyempurnaan dokumen Amdal; bukan sungguh-sungguh menghentikan operasi pabrik Semen Indonesia.
Orang boleh menganggap tindakan Gubernur Ganjar Pranowo sebagai tindakan yang sewenang-wenang dan melanggar konstitusi. Tapi apakah itu akan menghentikan langkah pemerintah untuk melanjutkan operasi pabrik semen? Tampaknya, tidak.
Sebulan setelah pencabutan izin itu, Ganjar menandatangani Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017 pada Kamis (23/2/2017) malam. Keputusan itu menuangkan izin lingkungan terbaru untuk pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang.
Kita sudah lama melihat bahasa tubuh Gubernur dan Pemda Jawa Tengah memperlihatkan posisinya sebagai pihak yang harus memastikan pabrik semen tetap berjalan dengan jurus apapun. Alasannya jelas: investasi pabrik semen tersebut bernilai Rp5 triliun. Jika pabrik tidak beroperasi, kerugiannya mencapai Rp50 miliar tiap bulan.
Investasi. Uang. Itulah alasan membuat pemerintah dan kalangan legislatif bersikeras untuk tetap melanjutkan pembangunan pabrik semen.
Pertanyaannya, tidakkah persoalan lingkungan hidup dalam kasus Kendeng ini lebih besar ketimbang uang yang akan kita peroleh?
Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara, yang menjadi lokasi tambang Semen Indonesia itu sangat penting bagi lingkungan hidup di Rembang. CAT seluas 31 kilometer persegi ini memiliki potensi suplai air yang sangat besar bagi 14 kecamatan di Rembang. Tidakkah itu sangat berharga?
Sejak 13 Maret lalu beberapa petani Kendeng menyemen kaki mereka di depan Istana Negara Jakarta. Mereka berharap bisa bertemu Presiden. Mereka ingin Presiden menghentikan pembangunan pabrik Semen Indonesia di kawasan pegunungan Kendeng itu.
Aksi para petani ini seperti mewakili banyak orang yang mempertanyakan kepastian hukum dan kesungguhan dalam menyikapi masa depan lingkungan hidup kita. Pemerintah--dan juga wakil rakyat--harus merespons masalah ini dengan tepat.
Ada urusan investasi di dalam isu ini, benar. Namun itu tidak bisa mengabaikan urusan lingkungan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Tahun lalu, merespons para petani Kendeng yang juga menyemen kakinya di depan Istana Negara, Presiden Joko Widodo menyepakati untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terlebih dahulu sebelum melakukan keputusan akhir perihal pabrik semen tersebut. KLHS jelas lebih dari sekadar merevisi dokumen Amdal.
Meskipun Gubernur mempunyai kewenangan sendiri (diskresi), seharusnya pemerintah mengedepankan cara yang bisa diterima lebih banyak pihak dalam memutuskan persoalan pelik semacam ini. Cara itu mungkin akan berimbas kepada kerugian atau pembengkakan investasi. Biar saja.
Tidak semua hal bisa dibayar dengan uang. Kerusakan lingkungan adalah salah satunya.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/jangan-main-main-dengan-kendeng