Kenapa harus menyandera seleksi anggota KPU dan Bawaslu

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sungguh berniat untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan atas calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) 2017-2022. Padahal 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu tersebut sudah ada.

Keduapuluh empat orang itu adalah calon yang berhasil lolos seleksi tahap akhir yang dilakukan oleh tim Panitia Seleksi (Pansel) KPU dan Bawaslu. Dalam seleksi tahap akhir itu, tes yang dilakukan oleh tim Pansel lima kriteria. Yakni independensi, integritas, kemampuan dalam soal tata kelola pemilu, kepemimpinan, dan kesehatan.

Hasil kerja tim Pansel yang diketuai oleh Saldi Isra itu diserahkan kepada Presiden Joko Widodo awal Februari 2017 lalu. Hampir bersamaan dengan itu, pihak DPR meminta agar pengiriman hasil Pansel ke DPR itu ditunda. Namun Presiden Joko Widodo tetap menyerahkannya ke DPR.

Berkas dan surat Presiden Joko Widodo mengenai calon anggota KPU dan Bawaslu 2017-2022 itu pun sudah dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR pada 23 Februari 2017. Namun sampai menjelang minggu keempat Maret ini, DPR tidak memberikan gelagat akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan atas para calon itu, yang menjadi kewajibannya.

Awalnya, memang terdengar rencana yang lebih jelas untuk menindaklanjuti proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu itu. Kita sempat mendengar kabar bahwa uji kelayakan dan kepatutan itu akan dijadwalkan setelah reses.

Belakangan kita tahu, terkait uji kelayakan dan kepatutan tersebut, anggota Komisi II DPR belum kompak dalam satu suara. Sebagian anggota meminta uji kelayakan dan kepatutan itu dilakukan segera. Namun ada bagian besar dari anggota Komisi II yang meminta untuk menundanya.

Urusan-urusan prosedural seringkali menjadi dalih atas penundaan tes untuk para calon anggota KPU dan Bawaslu itu. "Kita menunggu surat dari Bamus (Badan Musyawarah DPR). Bamus menugaskan apa, kita baru akan lakukan itu," kata Ketua Komisi II Zainudin Amali. Tapi kita dengan cepat segera tahu, itu hanya jurus berkelit saja. Bukan alasan sesungguhnya menunda tes.

Latar belakang yang menjadi muara sikap enggan DPR untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan atas calon anggota hasil seleksi tim Pansel itu barangkali bisa kita lihat dari dua hal yang sering dikemukakan oleh anggota Komisi II DPR.

Pertama, DPR tampak meragukan para calon yang lolos seleksi tim Pansel. Di beberapa kesempatan terungkap, DPR mempertanyakan alasan tim Pansel meloloskan calon yang menjadi anggota KPU saat ini, namun menolak calon yang menjadi anggota Bawaslu saat ini. Itu sebabnya muncul wacana untuk memanggil tim Pansel ke DPR.

Kita bisa menduga, hal itu terkait dengan ketegangan yang terjadi antara DPR dan KPU saat ini. Kita tahu, saat ini KPU sedang menggugat Pasal 9 huruf UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu menyebutkan, penyusunan dan penetapan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan mensyaratkan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Komisioner KPU menganggap pasal tersebut berpotensi meruntuhkan kemandirian lembaga Pemilu.

Kedua, DPR selalu mengaitkan penundaan uji kelayakan dan kepatutan dengan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Dalam berbagai kesempatan Ketua Komisi II Zainudin Amali menyampaikan perlunya keselarasan antara hasil seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu itu dengan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang sedang mereka bahas itu. DPR menginginkan seleksi anggota KPU dan Bawaslu 2017-2022 itu bersandar kepada UU Penyelenggaraan Pemilu yang baru nanti.

Saat ini ada wacana untuk menambah jumlah anggota KPU dan Bawaslu dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Dan, ini penting, juga ada wacana untuk memasukkan unsur parpol (partai politik) ke dalam KPU.

Wacana masuknya unsur parpol ke dalam KPU menghangat. DPR pun tidak satu suara dalam hal ini. Ada yang setuju dengan gagasan tersebut. Ada juga yang menolaknya.

Alasan penolakan gagasan memasukkan unsur parpol ke dalam KPU adalah soal pentingnya independensi lembaga penyelenggara Pemilu. Kehadiran unsur parpol di dalam KPU memunculkan ancaman ketidakmandirian lembaga tersebut nantinya. Padahal konstitusi mensyaratkan bahwa penyelenggara Pemilu haruslah independen.

Mencermati kedua hal tadi, DPR terkesan tidak happy dengan calon-calon yang lolos seleksi dari tim Pansel. Hasil tim Pansel itu mungkin tidak mengakomodasikan sejumlah kepentingan parpol.

Dua hal yang disebut di atas terasa mengada-ada. Keraguan terhadap hasil kerja tim Pansel seharusnya tidak membuat DPR enggan melakukan fit and proper test. Justru seharusnya tes itu segera dilakukan untuk menjawab keraguan mereka.

Keinginan untuk menyandarkan seleksi anggota KPU dan Bawaslu ke UU Pemilu yang baru nanti, justru lebih absurd lagi. Sebab kita tidak pernah tahu kapan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang baru itu akan selesai dan diundangkan. Padahal, masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu akan berakhir tanggal 12 April nanti. Tinggal 3 minggu lagi dari sekarang.

DPR memang memunculkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu saat ini lewat suatu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Namun bukankah sebuah Perppu hanya boleh dikeluarkan jika ada keadaan darurat? Lalu kedaruratan apakah yang saat ini sedang terjadi sehingga perlu Perppu untuk memperpanjang masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu?

Banyak pihak mengingatkan, penundaan uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU dan Bawaslu akan berpotensi membuat DPR melanggar undang-undang. Pasal 15 Ayat 1 UU No. 15/2011 menyatakan proses pemilihan anggota KPU di DPR dilakukan dalam waktu paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas calon anggota KPU dari Presiden.

Jika DPR melanggar undang-undang tersebut, kita menghadapi persoalan hukum yang baru. Tindakan hukum apa yang bisa dilakukan kepada DPR yang telah melanggar undang-undang?

Dengan keengganannya melakukan uji kepatutan dan kelayakan itu, DPR seolah menyandera pemilihan anggota KPU dan Bawaslu. Hal itu dapat berimplikasi luas terhadap penyelenggaraan Pemilu serentak mendatang.

Ada banyak tahapan yang harus dilakukan agar Pemilu serentak 2019 berjalan dengan baik. Setiap tahapan itu tentulah membutuhkan anggota KPU dan Bawaslu yang definitif. Sebelum itu, pada 2018 pun kita masih menghadapi Pilkada Serentak.

Penyanderaan seleksi anggota KPU dan Bawaslu akan membuat hak pilih warga negara terbengkalai. Dan itu sama sekali tidak mencerminkan sikap wakil rakyat.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/kenapa-harus-menyandera-seleksi-anggota-kpu-dan-bawaslu

Jaringan

Kontak