Rabu, 5 April 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Permohonan uji materi undang-udang tersebut diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan sejumlah pemerintah daerah kabupaten di Indonesia.
Dalam perkara itu MK memutuskan mengabulkan sebagian para pemohon. Dari beberapa pasal dan ayat yang diujikan itu, MK hanya mengabulkan sepanjang pengujian Pasal 251 ayat 2, 3, 8, dan ayat 4 saja. Itu pun sepanjang frasa "...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat."
Kabar tentang keputusan itu segera menghias pemberitaan di media massa. Hampir semua media membuat judul hampir serupa mengenai keputusan tersebut: Menteri Dalam Negeri Tak Punya Kewenangan Lagi Mencabut Peraturan Daerah. Begitulah tafsir atas keputusan MK tersebut yang muncul hampir di semua media massa Kamis (6/4/2017) lalu.
Tafsir tersebut dengan segera memunculkan persepsi bahwa penanganan terhadap peraturan daerah (Perda) yang tidak selaras dengan peraturan perundangan di atasnya akan sangat sulit dilakukan. Ini jelas bisa menjadi masalah.
Banyak pihak menilai saat ini jumlah Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun kepentingan umum masih sangat banyak. Biasanya Perda sejenis itu lazim disebut Perda bermasalah.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 Perda dan Peraturan Kepala Daerah yang dianggap bermasalah. Tujuannya? Seperti dikutip Kompas, Presiden Joko Widodo menyatakan, "Saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran dan memiliki daya saing."
Kata "toleran" dan "memiliki daya saing" dalam pernyataan itu memang merujuk ke dua problem utama yang dimunculkan oleh Perda-perda bermasalah itu: diskriminasi dan birokrasi perizinan yang menghambat investasi di daerah.
Perihal diskriminasi, misal, Komnas Perempuan pernah menyatakan bahwa sejak 2009 sampai Agustus 2016 terdapat 421 aturan yang diskriminatif. Kebanyakan aturan itu berbentuk Perda.
Indeks Demokrasi Indonesia yang diluncurkan United Nation Development Programme (UNDP) pada Maret 2016 lalu, contoh lain, mencatat ada belasan peraturan daerah diskriminatif di tiga provinsi. Ketiga provinsi itu adalah Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat.
Jumlah Perda yang cenderung menyumbat pembangunan dan investasi di daerah pun sangat banyak. Itu jelas sekali tersirat dalam pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta agar para gubernur, bupati, wali kota, serta pimpinan dan anggota DRPD agar atauran-aturan yang dibuatnya dapat mendorong pembangunan di daerah.
Jika keputusan MK tadi ditafsirkan sebagai pencabutan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam mencabut Perda, maka sangat wajar menimbulkan kekhawatiran bahwa upaya deregulasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini bakal terhambat.
Benar bahwa Perda masih bisa dicabut lewat mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Namun cara itu diragukan akan cukup efektif karena proses akan lebih panjang. Selain itu, MA pun dianggap tidak dapat bekerja dengan cepat. Itulah sebabnya keputusan MK tersebut dianggap keputusan yang tidak melihat situasi nyata di lapangan.
Implikasi lain dari tafsir bahwa Perda bermasalah tidak dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri adalah terputusnya kesatuan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemutusan kesatuan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah bentuk federalisme. Padahal konstitusi jelas menyebutkan negara kita adalah negara kesatuan, bukan negara federal.
Konsep otonomi daerah yang diterapkan di negeri kita lebih mengarah kepada desentralisasi kekuasaan untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan di daerah serta menghindarkan sentimen separatisme. Bukan untuk memisahkan diri secara total dengan pemerintah pusat seperti dikenal dalam federalisme.
Jika kita simak lebih teliti, keputusan MK tersebut lebih menyangkut kepada ayat 2, 3, 4, dan 8 Pasal 251 Undang-undang Pemda tersebut. Ayat-ayat tersebut lebih terkait dengan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam membatalkan Perda kabupaten atau kota.
Sedangkan perihal pembatalan Perda provinsi oleh Menteri Dalam Negeri terdapat dalam ayat 1 Pasal 251 tersebut, yang berbunyi "Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri."
Dan ayat itu sama sekali bukan bagian yang dicabut dalam keputusan MK. Artinya, Menteri Dalam Negeri masih mempunyai kewenangan dalam membatalkan Perda-perda bermasalah.
Dengan makin sempitnya kewenangan membatalkan Perda bermasalah, pemerintah pusat seharusnya sekarang melibatkan diri secara lebih intens dan jeli dalam proses pembahasan rancangan Perda. Dengan begitu Perda yang bertentang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, maupun kesusilaan dapat dicegah sejak dalam pembahasan rancangannya.
Kita berharap, kewenangan membatalkan maupun pembahasan rancangan Perda yang masih dimiliki oleh pemerintah pusat itu dapat dipergunakan untuk menekan kemungkinan munculnya peraturan yang diskriminatif dan menghambat pembangunan daerah.
Kewenangan-kewenangan itu harus dipergunakan secara optimal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera serta memperlakukan seluruh warga negara secara setara tanpa memandang SARA dan jendernya. Begitulah seharusnya kita merawat Indonesia.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mencari-jalan-keluar-dari-perda-bermasalah