Pada April tahun ini beberapa kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ditolak di beberapa kota. Kegiatan Forum Khilafah Indonesia di Semarang ditolak oleh beberapa organisasi keagamaan. Tablig akbar HTI di Bantul tidak mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Di Makssar polisi tidak memberikan izin tablig akbar HTI karena kegiatan tersebut mendapat penolakan dari masyarakat.
Penolakan terhadap HTI bukan baru tahun ini saja terjadi. Pada Oktober 2013 sejumlah kalangan bereaksi keras terhadap Gema Pembebasan -oraganisasi saya mahasiswa HTI- yang menolak Sumpah Pemuda di Palangkaraya. Hampir bersamaan, berbagai kelompok mahasiswa menolak keberadaan HTI di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dua tahun kemudian, 2015, penolakan terhadap HTI masih terus berlangsung di NTT. Adalah Gerakan Pemuda Anshor dan Majelis Ulama Indonesia yang menolak pawai HTI yang akan berlangsung 16 Mei di Kupang.
Akhir November tahun yang sama, giliran masyarakat Purwokerto yang menunjukkan penolakannya terhadap HTI. Forum Cipayung Purwokerto saat itu menolak Kongres Muslimah HTI.
Pada 2016 berbagai muktamar HTI mendapat penolakan juga di berbagai kota. Beberapa diantaranya sebut saja masyarakat di kota Jombang, Jember, Bogor, dan Bojonegoro. Kongres Khilafah HTI juga ditolak di Tangerang pada April lalu.
Itu semua adalah beberapa kejadian yang memperlihatkan benturan dalam masyarakat yang dipicu oleh kegiatan HTI.
Benturan yang ditimbulkan oleh kegiatan HTI adalah salah satu alasan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, ketika mengumumkan pembubaran HTI dalam konferensi pers Senin (8/5/2017) lalu. Benturan itu, menurut Wiranto, dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Kegiatan-kegiatan HTI itu, lanjut Wiranto, terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UU nomor 17 tahun 2013 tentang ormas. Itu sebabnya pemerintah akan membubarkan HTI.
Gelagat pemerintah yang akan membubarkan HTI sudah tercium tiga hari sebelumnya. Tanda-tanda itu semakin kuat terlihat ketika Jumat (5/5) Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji payung hukum untuk membubarkan ormas yang dinilai anti-Pancasila.
Pemerintah menjanjikan bahwa ikhtiar pembubaran HTI tersebut akan dilakukan melalui langkah-langkah hukum dan berdasarkan hukum. Pembubaran ormas memang tidak bisa hanya lewat pengumuman pemerintah. Dalam Undang-Undang 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, pembubaran ormas bisa dilakukan setelah melewati beberapa langkah administrasi dan hukum.
Artinya, HTI tidak serta merta bubar sejak pemerintah menyatakan perlunya membubarkan ormas tersebut.
Bagi sebagian kalangan, sikap jelas pemerintah ini terlihat lambat. HTI telah cukup lama melakukan kegiatan yang secara terang-terang melakukan kegiatan propaganda yang mengusung khilafah sebagai sistem kenegaraan, menolak demokrasi dan konsep kebangsaan. Propaganda ini semakin hari semakin masif. Keresahan masyarakat atas propaganda tersebut terlihat dari banyaknya aksi penolakan HTI di berbagai kota.
Selama ini tak ada respon pemerintah atas propaganda, yang memang terasa menantang konstitusi itu. Propaganda khilafah pun semakin terlihat agresif.
Mengapa pemerintah baru meresponnya sekarang? Ada kesan, pemerintah terlalu berhati-hati -kalau bukan tampak ragu- untuk mengambil sikap. Pemerintah seperti takut dicap anti-demokrasi.
Namun bagi kalangan lain, pengumuman perlunya pembubaran HTI ini terasa tergesa-gesa dari sisi prosedur. Ada sejumlah langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah secara prosedural sebelum menyatakan perlunya membubarkan HTI. Ketergesa-gesaan itu bisa menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Berkat pengumuman perlunya pembubaran HTI, sebagian orang mungkin akan mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam menjamin hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Sebagian lain mungkin akan tersulut isu dengan sentimen agama.
Apa boleh buat. Pemerintah sudah mengumumkan sikap dan rencananya untuk membubarkan HTI.
Itu artinya, pemerintah harus sungguh bisa mengikuti prosedur dan meyakinkan pengadilan bahwa HTI tidak sejalan dengan dasar negara dan konstitusi Indonesia. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus sungguh mempunyai langkah yang bisa mengantisipasi kegaduhan yang mungkin muncul.
Makna yang lain pemerintah juga mesti tegas terhadap ormas atau kelompok lain yang aktivitasnya tidak sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi, juga konstitusi negara. Bila dicermati, saat ini bukan hanya HTI yang mengusung khilafah. Bahkan menyebarkan ujaran kebencian dengan menyatakan Pancasila diletakkan di pantat dalam tayangan video.
Kesetiaan kepada dasar negara dan konstitusi adalah kewajiban bagi semua warga negara. Pada saat yang sama, hukum harus dihormati.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/sesak-nafas-di-lapas-lapas