Semua pihak boleh jadi kaget dengan vonis yang dijatuhkan kepada Ahok oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara Selasa (9/5) kemarin. Majelis hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto menyatakan Ahok bersalah melakukan penodaan agama memvonis lebih berat dari tuntutan jaksa.
Menurut hakim, Ahok telah menganggap surat Al Maidah sebagai alat untuk membohongi umat atau masyarakat. Masih menurut hakim, Ahok telah merendahkan dan menghina surat Al Maidah ayat 51. Dengan begitu Ahok dinyatakan bersalah telah melakukan penodaan agama, dan divonis 2 tahun penjara.
Keputusan hakim tersebut berbeda dengan tuntutan jaksa. Dalam pembacaan tuntutan Kamis (20/4) bulan lalu, jaksa menyebutkan bahwa Ahok tidak terbukti melakukan penodaan agama. Menurut jaksa saat itu, Ahok hanya terbukti menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan dalam masyarakat. Atas dakwaan itu, jaksa menuntut Ahok penjara setahun dengan masa percobaan dua tahun.
Jelas keputusan dan vonis hakim berbeda dan lebih berat dari tuntutan jaksa. Namun hal itu lumrah dan dimungkinkan dalam sistem peradilan kita: hakim boleh memberikan keputusan dan vonis yang berbeda dari tuntutan jaksa.
Selain menyatakan Ahok bersalah melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun penjara, majelis hakim juga memerintahkan agar Ahok ditahan. Penahanan itu dengan pertimbangan bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, Ahok sebagai terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, ataupun mengulangi tindak pidana lainnya.
Karena Ahok menyatakan banding atas keputusan pengadilan tersebut, sehingga proses hukumnya belum inkracht, ada yang mempertanyakan perintah hakim untuk menahan Ahok tersebut. Namun perintah penahanan terdakwa yang menyatakan banding -seperti Ahok- memang dimungkinkan juga dalam peradilan kita.
Pihak yang selama berbulan-bulan mengelola demonstrasi untuk menekan agar Ahok dipenjara mungkin juga kaget dengan keputusan majelis hakim tersebut. Setidaknya, sekali lagi, keputusan itu melebihi tuntutan jaksa.
Bagi mereka yang meyakini bahwa Ahok tidak bersalah atas dugaan penodaan agama, keputusan itu jelas mengejutkan juga. Mereka yang selama berbulan-bulan pula dengan jelas maupun diam-diam menyatakan dukungannya terhadap Ahok tentu kecewa dengan kuputusan itu.
Bukan cuma di Indonesia, kekecewaan dan keprihatinan juga disampaikan oleh sejumlah badan internasional atas keputusan pengadilan tersebut. Dewan HAM PBB, Amnesti Internasional, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia adalah beberapa badan internasional tersebut.
Selain memicu penyataan keprihatinan dari beberapa badan dunia, keputusan pengadilan yang mengagetkan itu juga memunculkan berbagai analisa. Di media sosial, misal, banyak orang memperbincangkan kemungkinan kaitan keputusan pengadilan tersebut dengan prefenrensi politik salah satu hakim yang mengadili kasus tersebut.
Namun analisa itu dimentahkan oleh track record sang hakim, yang pernah tidak menggubris tekanan massa untuk menyeret kasus yang ditanganinya menjadi kasus penodaan agama.
Hendardi, Ketua Setara Institute, menilai bahwa dalam putusan majelis hakim yang mengadili kasus Ahok terdapat trial by mob. Harus diakui, kata Hendardi, majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Ahok.
Kegembiraan, kecewaan, keprihatinan, dan berbagai macam analisa itu tidak akan bisa mengubah keputusan majelis hakim di pengadilan negeri Selasa lalu itu. Ahok sudah menyatakan banding atas keputusan tersebut. Seluruh warga negara harus mempercayai prosedur dalam sistem peradilan kita.
Pihak yang mendukung Ahok maupun yang mengadukannya ke pengadilan harus menghormati proses hukum yang masih berlangsung sampai mendapatkan keputusuan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Apa pun keputusan tetapnya nanti, semua pihak juga harus bisa menerimanya. Begitulah cara kita sebagai warga negara menghormati hukum demi mencapai keadilan secara tertib.
Di sisi lain, selagi proses hukum atas kasus Ahok masih berlanjut, pemerintah harus belajar banyak dari seluruh kejadian yang berlangsung bersamaan selama proses hukum di pengadilan negeri yang lalu. Bukan hanya merespon, pemerintah juga harus mengantisipasi agar bisa menghindarkan pengerahan massa untuk memengaruhi keputusan hakim yang sedang mengadili kasus tersebut pada tingkat banding.
Terlalu banyak perhatian, energi dan biaya yang dihabiskan oleh pemerintah maupun warga negara selama proses pengadilan kasus Ahok yang lalu. Betul, terkadang keadilan tak dapat dicapai dengan mudah dan murah. Namun jika kita bisa bersikap lebih dewasa dan fair sebagai warga sebangsa, keadilan mungkin bisa diwujudkan dengan jalan yang lebih sejuk.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pengadilan-ahok-belum-selesai