Pembekuan dana reses politicking kelas senator

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Ada banyak jalan untuk menaklukkan lawan politik. Menggalang dukungan lewat pembentukan opini publik, itu baru satu cara. Memilih jalur hukum di pengadilan, itu cara lain. Atau, memakai urusan administrasi sebagai alat untuk memaksa lawan mengubah sikap dan dukungan politiknya.

Lalu, jurus politik apa yang dipertontonkan oleh para politisi kepada kita di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) awal minggu lalu?

Senin minggu lalu (8/5) DPD menyelenggarakan sidang paripurna. Sidang itu dihadiri oleh 72 anggota DPD, dan sebagian ada yang izin, menurut Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto.

Terkait pencairan dana reses, sidang yang dipimpin oleh Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) dan dua Wakil Ketua DPD yang baru - Nono Sampono dan Darmayanti Lubis- itu memutuskan bahwa tiap anggota harus menyerahkan dua kelengkapan. Pertama, laporan reses sebelumnya. Kedua, surat pernyataan kehadiran dan persetujuan atas pelaksanaan sidang paripurna penutupan masa sidang yang sekaligus menandai dimulainya masa reses.

Kalau saja tidak ada kekisruhan politik di DPD, keputusan tersebut tampak sebagai keputusan yang wajar dan normatif saja. Cuma saja, kita tahu, DPD terpecah menjadi dua kubu terkait kepemimpinan yang sekarang. Dalam situasi begitu, keputusan paripurna DPD itu lebih terasa sebagai tekanan politik bagi kubu yang berseberangan dengan pimpinan DPD yang baru: dana reses tidak akan cair bagi anggota DPD yang tidak mendukung kepemimpinan OSO.

OSO tentu bisa membantah anggapan tersebut. Menurut OSO, pembekuan dana reses tersebut merupakan sanksi kepada anggota DPD itu tidak menghadiri rapat Paripurna. Hal tersebut, bagi OSO, adalah bagian dari menegakkan disiplin di lembaga yang dipimpinnya.

Namun isu kedisiplinan prosedural rasanya tidaklah relevan diusung di dalam lembaga yang di dalamnya sedang terjadi konflik tajam soal kepemimpinan di antara anggotanya. Mereka yang menolak kepemimpinan DPD yang sekarang, tentu tidak akan hadir dalam sidang paripurna sebagai bentuk sikap penolakan kepemimpinan yang ada.

Begitu mereka hadir atau menandatangani surat pernyataan -seperti yang dimaui oleh sidang paripurna itu, seketika hal itu menjadi bentuk dukungan dan pengakuan kepada kepemimpinan yang semula ditolaknya.

Konflik terkait kepemimpinan di DPD sudah terlihat sejak sidang paripurna awal tahun 2016 lalu. Saat itu Panitia Khusus Tata Tertib DPD mengangkat isu mengenai masa jabatan pimpinan DPD. Muncul klaim, banyak anggota DPD lebih setuju masa jabatan pimpinannya hanya 2,5 tahun saja ketimbang 5 tahun yang mengikuti rejim Pemilu.

Lewat voting, sidang paripurna akhirnya memutuskan masa jabatan pimpinan hanyalah 2,5 tahu saja. Meski begitu, pada Rapat Paripurna Penutupan Persidangan III Maret 2016, Irman Gusman -yang saat itu menjadi Ketua DPD- tidak mau menandatangani draf Tata Tertib yang memuat periode masa jabatan pimpinan DPD itu.

Setelah sempat ricuh, akhirnya draf Tata Tertib itu pun ditandatangani oleh pimpinan DPD. Masa jabatan baru itu pertama kali diterapkan ketika Mohammad Saleh dilantik sebagai Ketua DPD, menggantikan Irman Gusman yang dicopot karena tersandung kasus suap.

Keputusan mengenai masa jabatan yang baru itu tidak memuaskan semua pihak. Untuk memastikan lama masa jabatan pimpinan lembaganya, beberapa anggota DPD mengajukan permohonan uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

MK menolak uji materi tersebut. Sedangkan MA memerintahkan kepada pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan DPD 1/2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tata Tertib. Artinya, aturan tentang masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun itu dibatalkan.

Namun pada April lalu, DPD terbelah menjadi dua. Kubu pertama bersikeras menginginkan pemilihan pimpinan baru DPD karena masa kepemimpinan Mohammad Saleh dianggap telah selesai sesuai dengan Tata Tertib yang membatasi masa jabatan 2,5 tahun itu. Kubu lainnya, berdasarkan keputusan MA tadi, menganggap masa jabatan pimpinan DPD tetap 5 tahun.

April itu pemilihan pimpinan DPD tetap dilangsungkan. OSO, Nono Sampono serta Damayanti Lubis ditetapkan sebagai pimpinan DPD. Yang mengejutkan, ketiganya dipandu mengucapkan sumpah jabatan oleh Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Suwardi. Padahal MA memerintahkan pencabutan peraturan DPD yang menentukan masa jabatan 2,5 tahun itu.

Para senator yang menentang pemilihan itu menganggap pimpinan DPD yang sekarang illegal. Mereka tidak mengakui kepemimpinan OSO, Nono Sampono serta Damayanti Lubis.

GKR Hemas dan 11 anggota DPD lain sudah mengajukan permohonan pembatalan tindakan administratif pemanduan sumpah oleh Mahkamah Agung terhadap ketiga orang tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Diperkirakan, PTUN akan memutus permohonan tersebut paling lambat 8 Juni nanti.

Melihat rentetan sebab akibat tersebut, sukar bagi kita untuk tidak melihat pembekuan dana reses tersebut sebagai bagian dari upaya menundukkan lawan politik.

Mengingat dana reses adalah hak setiap anggota DPD untuk menjalankan kewajibannya berkegiatan demi konstituen saat masa reses maka, terkait dengan langkah pembekuan itu, bolehlah kiranya masyarakat bertanya, "Etika politik macam apa yang dijunjung oleh kebanyakan senator di DPD?"

Di luar isu etika politik para senator, pembekuan dana reses tersebut juga memunculkan pertanyaan tentang sikap tepat yang harus dijalankan oleh aparatur sipil negara untuk menjaga netralitasnya di tengah konflik kepentingan politik.

Yang pasti, pembekuan dana reses bagi sebagian senator tersebut hanya akan memperkuat citra DPD sebagai lembaga yang lebih sibuk politicking di lembaganya sendiri ketimbang mengurus kepentingan para pemilihnya. Dan tentu saja, itu memalukan.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pembekuan-dana-reses-politicking-kelas-senator

Jaringan

Kontak