Sebagai permainan, teka-teki mungkin menyenangkan. Rasa penasaran yang muncul berkat teka-teki itu mungkin membuat kita bergairah. Sebagai sebuah permainan, upaya menjawab teka-teki itu dengan mengumpulkan berbagai serpihan informasi kecil mungkin mengasyikan.
Namun jika terkait dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apa gunanya memasok masyarakat dengan informasi yang mirip teka-teki? Gaya menyampaikan informasi seperti teka-teki itu tak ubahnya menyebarkan desas-desus belaka.
Hal ini kita rasakan ketika pemerintah melontarkan wacana mengenai entitas dalam masyarakat kita yang berseberangan dengan dasar negara.
Mei tahun 2016 lalu, di sela acara Rembuk Nasional Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan ada organisasi besar yang dibubarkan karena organisasi tersebut anti Pancasila. Pernyataan itu memberi kesan bahwa pemerintah telah membubarkan sebuah ormas. Belakangan pers memberitakan bahwa pembubaran ormas tersebut baru pada tahap rencana.
Tjahjo tidak menyebutkan secara jelas organisasi besar yang akan dibubarkan oleh pemerintah. Mengapa Mendagri tidak mau menyebutkan secara jelas organisasi yang dimaksudnya? Tjahjo berkilah bahwa yang berwenang untuk menyebutkannya adalah kepolisian dan kejaksaan.
Tjahjo seperti melemparkan teka-teki begitu saja. Lalu masyarakat bising berspekulasi mengenai organisasi yang dimaksud Mendagri itu.
Dua hari kemudian memang terdengar pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo yang lebih memperjelas organisasi yang disebut-sebut anti Pancasila itu. Prasetyo mengkonfirmasi bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) termasuk organisasi yang bertentangan dengan Pancasila.
Namun, tidak seperti Mendagri yang jelas-jelas menyatakan berencana membubarkannya, Jaksa Agung malah memberikan pernyataan yang mengindikasikan bahwa pembubaran ormas tersebut masih butuh banyak langkah untuk memastikannya.
Enam bulan kemudian Menteri Hukum dan HAM kembali menegaskan bahwa pembubaran ormas tidaklah mudah. Pada akhir tahun 2016, Menko Polhukam Wiranto memastikan bahwa pemerintah akan menertibkan ormas yang anti Pancasila.
Setahun sejak Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan ada organisasi yang akan dibubarkan karena anti Pancasila, pada 8 Mei 2017 Menko Polhukam Wiranto menggelar konferensi Pers. Dalam kesempatan itu Wiranto mengungkapkan rencana pemerintah untuk membubarkan HTI.
Butuh waktu satu tahun bagi pemerintah untuk menyatakan dengan jelas organisasi anti Pancasila yang sudah disebut-sebut akan dibubarkan pada 2016. Itu pun tidak dengan serta merta membubarkannya. Bahkan sampai sekarang pemerintah seperti masih bimbang memilih langkah yang tepat untuk membubarkannya.
Sekarang kembali Mendagri Tjahjo Kumolo melemparkan teka-teki ke tengah masyarakat. Tjahjo mengungkapkan ada tokoh nasional -yang sekarang menjabat sebagai komisaris sebuah BUMN dan juga ketua umum ormas besar- yang berteriak anti Pancasila.
Sama seperti tahun lalu terkait ormas anti Pancasila, di ujung Mei kali ini pun Tjahjo tidak menyebutkan secara jelas siapa yang ia maksud. Lalu, sama juga, masyarakat kembali bising berspekulasi tentang sosok yang dimaksud Tjahjo.
Belakangan mantan Menpora Adhyaksa Dault merasa tudingan Tjahjo mengarah kepada dirinya. Adhyaksa, yang memang pernah menghadiri acara HTI pada 2013 dan menyatakan dukungannya kepada sistem khilafah, mengaku telah berupaya mengklarifikasi perihal sikapnya terhadap Pancasila kepada Mendagri.
Selain merupakan urusan politik, pembubaran ormas anti Pancasila dan perlakuan terhadap tokoh anti Pancasila seharusnya merupakan perkara yang terkait dengan penegakan hukum. Namun mengapa pemerintah mendekati kedua urusan seperti itu tidak dengan langkah yang tegas dan jelas? Bukankah penegakan hukum harus selalu berupa tindakan-tindakan yang tegas dan jelas, dan bukan desas-desus?
Dalam kedua kasus itu, pemerintah secara dini melemparkan informasi yang tidak lengkap dan rencana tindakan yang tidak matang ke tengah masyarakat. Imbas apa yang diharapkan oleh pemerintah dengan cara demikian? Mencari tahu reaksi masyarakat sebelum memilih tindakankah? Jika benar begitu, bukankah penegakkan hukum seharusnya lepas dari pertimbangan reaksi masyarakat?
Pengungkapan informasi secara tidak lengkap dan rencana tindakan yang tidak matang itu hanya membuahkan gunjingan politik belaka. Benar, dalam berpolitik, desas-desus sering menjadi alat efektif untuk membangun persepsi. Persepsi memang penting dalam berpolitik, terutama dalam mengarahkan opini publik untuk mendukung langkah-langkah politik lainnya.
Namun dalam konteks penegakan hukum -seperti pembubaran ormas dan penindakan tokoh anti Pancasila, apa perlunya opini publik? Penegakan hukum lebih membutuhkan ketegasan dan langkah-langkah nyata ketimbang wacana publik.
Pemerintah harus berhenti melemparkan desas-desus ke tengah masyarakat. Jika sungguh ada ada organisasi atau orang yang melanggar hukum, tunjuk saja hidungnya dan proses sampai ke pengadilan.
Jika masih meragukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suatu organisasi atau orang, pemerintah seharusnya menahan diri untuk tidak memancing masyarakat terjerumus ke dalam aneka spekulasi yang malah meresahkan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mengapa-pemerintah-bekerja-dengan-desas-desus