Cermatlah merevisi UU pemberantasan terorisme

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Mari kita ingat kembali sebentar peristiwa yang terjadi Kamis (14/1/2016) tahun lalu di jantung kota Jakarta: Jalan Thamrin.

Hari itu bom diri meledak di Starbucks Coffe. Di luar kafe itu, dua orang teroris sudah menunggu. Keduanya menembak warna negara asing yang keluar dari Starbucks.

Serangan bom bunuh diri juga terjadi di pos polisi yang tak jauh dari Starbucks. Tak berhenti di situ, para teroris menembaki aparat keamanan yang berada di sekitar area itu. Tak terhindarkan, tembak menembak antara teroris dan polisi serta sejumlah aparat yang datang membantu berlangsung sengit.

Serangan terhenti setelah tembak menembak berlangsung hampir satu jam. Teroris berhasil dilumpuhkan. Korban yang jatuh dalam aksi tersebut berjumlah 34 orang: 8 orang meninggal dan 26 orang terluka. Menurut polisi, ISIS berada di balik aksis teroris tersebut.

Menyusul peristiwa yang mengejutkan itu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipandang perlu segera direvisi. Presiden Joko Widodo berharap, seperti disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, revisi tersebut dapat selesaikan oleh pemerintah dan DPR.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ada memang tampak lebih disiapkan sebagai payung hukum untuk tindakan hukum setelah peristiwa terorisme. Sementara penindakan untuk mencegah kegiatan teroris memang tidak terlihat dalam undang-undang tersebut. Itulah sebabnya revisi atas undang-undang itu dirasa perlu.

Revisi undang-undang sebetulnya adalah salah satu dari dua opsi yang tersedia untuk menyesuaikan sejumlah hal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Opsi lain adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Namun opsi menerbitkan Perppu itu dihindarkan karena bisa mengundang perdebatan perihal tingkat kegentingan yang disyaratkan untuk menerbitkan Perppu.

Meski masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2016, revisi tersebut tidak juga selesai dibahas. Bahkan ketika waktu bergerak meninggalkan paruh pertama tahun 2017, ketika dua bom bunuh diri kembali meledak di Jakarta, revisi tersebut belum juga selesai.

ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri yang terjadi di kawasan Kampung Melayu itu. Selain menewaskan dua orang pembom bunuh diri, serangan di Kampung Melayu itu juga menewaskan 3 orang polisi, dan melukai 11 orang.

Serangan teroris pada akhir Mei itu kembali mengingatkan bahwa revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terkatung-katung. Para pejabat pemerintah angkat bicara. Mulai dari Kapolri, Jaksa Agung, Menkumham, Badan Intelijen Negara, Menko Polhukam, sampai Presiden meminta penyelesaian revisi undang-undang tersebut bisa segera dipercepat.

DPR tampaknya tidak mau disalahkan atas lambannya penyelesaian revisi tersebut. DPR berkilah bahwa isu-isu di dalam revisi undang-undang tersebut sangat sensitif sehingga membutuhkan masukan lebih banyak dari masyarakat.

Barangkali hal itu ada benarnya. Sejumlah perubahan dan penambahan dalam revisi tersebut bersinggungan dengan hak asasi manusia, yang memang harus dipertimbangkan dan diputuskan secara cermat dan bijak.

Salah satu hal yang sangat sensitif dalam revisi tersebut terlihat dalam pasal-pasal yang dikenal dengan sebutan pasal Guantanamo. Julukan itu terkait dengan kewenangan penyidik untuk menangkap dan menahan orang terkait terorisme dalam masa yang cukup lama.

Dalam UU Tindak Pidana Terorisme yang berlaku sekarang, penyidik dapat melakukan penangkapan paling lama 7 X 24 jam. Pada draf revisi masa penangkapan itu bertambah menjadi paling lama 30 hari.

Dalam hal penahanan, draf revisi memungkinkan penyidik untuk menahan tersangka sampai 510 hari. Padahal dalam undang-undang yang ada, penahanan hanya bisa lakukan paling lama 6 bulan.

Masa penangkapan dan penahanan itu dikhawatirkan akan berpotensi kepada penyiksaan dan pelanggaran hak tersangka. Hal sensitif seperti ini tentu perlu kajian yang cermat.

Revisi tersebut juga mengandung ketentuan yang memberikan payung hukum bagi penyidik maupun penuntut untuk melakukan penindakan yang terkait dengan pencegahan aksi terorisme. Hal ini adalah bagian penting, dan merupakan alasan perlunya revisi UU Tindak Pidana Terorisme.

Perlu rumusan dan ketentuan yang jelas tentang siapakah yang bisa ditindak dalam kaitannya dengan pencegahan aksi teror. Tanpa rumusan dan ketentuan yang jelas, kewenangan untuk menindak orang-orang yang diduga akan melakukan aksi teror justru berpotensi menjadi kesewenang-wenangan yang mengabaikan hak asasi.

Dalam draf revisi yang sama, TNI dimasukkan sebagai salah satu instansi berwenang yang melaksanakan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme. Kita mungkin membutuhkan keterlibatan TNI di dalam penanggulangan, namun perannya haruslah diperjelas. Dengan begitu peran TNI dalam penanggulangan terorisme tidak melampaui fungsi dan tugas pokoknya.

Selain hal-hal tersebut, ada beberapa hal lain dalam draf revisi UU Tindak Pidana Terorisme yang juga perlu mendapatkan perhatian yang cermat. Pembahasan mengenai izin penjualan dan peredaran bahan peledak tampaknya juga perlu dilakukan selama penyelesaian revisi tersebut.

Kita sangat menyadari perlunya payung hukum yang memungkinkan upaya penanggulangan terorisme mampu jauh lebih baik dari sudah berlangsung saat ini. Namun jelas kita juga menginginkan payung hukum tersebut disusun tidak semata-mata mempertimbangkan urgensi dan kondisi jangka pendek. Terutama sekali, semua pihak harus memastikan payung hukum tersebut tidak bertentangan dengan UU yang lain, atau akan melukai hak asasi manusia.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/cermatlah-merevisi-uu-pemberantasan-terorisme

Jaringan

Kontak