Dalam minggu ini, kita pelan-pelan mulai menjadi terbiasa dengan istilah yang sebelumnya jarang atau bahkan belum pernah kita dengar: persekusi. Istilah ini untuk sebagian orang mungkin baru masuk menjadi bagian perbendaharaan katanya sejak ada kasus-kasus intimidasi yang beredar viral di media sosial.
Lembaga swadaya masyarakat Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) memandang kasus-kasus semacam itu bukan semata bentuk intimidasi. Kasus-kasus tersebut lebih cenderung merupakan bentuk persekusi.
Persekusi menggambarkan adanya upaya sistematis dan terorganisasi untuk memburu seseorang atau sejumlah warga yang berlatar identitas tertentu -pilihan politik tertentu, misal- untuk kemudian dirampas hak-hak dasarnya.
Menurut catatan SAFENet, sejak Januari sampai Mei 2017, ada 59 orang yang ditarget dalam aksi persekusi tersebut, dengan kecenderungan yang naik drastis. Kenaikan drastis persekusi pada bulan Mei itu, menurut SAFENet, bersamaan dengan vonis hukuman terhadap Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.
Ada dua kasus yang sekarang dibicarakan banyak orang terkait persekusi. Pertama, kasus yang menimpa Fiera Lovita. Kedua, kasus yang menimpa Mario Alvian.
Fiera Lovita, seorang dokter umum yang bertugas di RSUD Kabupaten Solok, mendapatkan intimidasi terkait dengan postingan di akun Facebook-nya. Di akun Facebook-nya, Fiera menulis kritikan terhadap Rizieq Shihab -pemimpin Front Pembela Islam (FPI)- yang sedang terjerat kasus pornografi.
Yang terjadi kemudian, ada pihak yang dengan sengaja meng-capture tulisan di akun Facebook Fiera itu dan menyebarkannya, sambil disertai dengan ajakan untuk membenci dan menghujat dokter itu. Tidak hanya sampai di situ, beberapa hari kemudian sejumlah orang mendatangi Fiera di tempat kerja dan mengintimidasi ibu beranak dua itu karena dianggap telah melecehkan dan menghina Rizieq Shihab. Fiera ditekan untuk menandatangani pernyataan permintaan maaf atas tulisannya di akun Facebook.
Selesai? Tidak. Intimidasi tetap dirasakan oleh Fiera lewat berbagai cara. Fiera akhirnya dievakuasi ke Jakarta.
Hampir serupa dengan Fiera, Mario mengalami hal serupa. Bocah berumur 15 tahun itu juga mengkritisi Rizieq Shihab, serta menyebut FPI sebagai kumpulan pengangguran. Beberapa hari kemudian rumah kontrakan Mario disatroni serombongan orang -diantaranya terekam beratribut FPI. Selain mengalami pemukulan, Mario dipaksa untuk menandatangani surat penyataan telah melakukan penghinaan terhadap Rizieq Shihab sebagai imam besar FPI.
Video yang merekam aksi intimidasi terhadap Mario beredar luas di media sosial. Polisi bergerak cepat dan menangkap dua orang dalam kaitannya dengan kasus tersebut. Sementara Mario dan keluarganya diamankan ke safe house.
Mengaca kepada dua kasus itu, suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa persekusi muncul bersamaan dengan menguatnya politik identitas di masyarakat kita. Tanpa politik identitas, seandainya juga dianggap melanggar hukum, tindakan Mario maupun Fiera hanya akan menjadi kasus hukum biasa saja; tidak akan memicu perburuan dan intimidasi.
Upaya yang sistematis untuk mengumpulkan data-data target persekusi, seperti yang disebut-sebut oleh SafeNet, sangatlah masuk akal dilatarbelakangi oleh politik identitas. Politik identitas juga yang memberikan alasan untuk mendistorsi sebuah kasus perseorangan menjadi seolah-olah kasus identitas kelompok tertentu untuk mengarahkan orang kepada pertarungan kelompok. Pertarungan kelompok itulah yang menjadi kerangka persekusi.
Pada saat yang sama, sebagai bagian dari kerja politik, persekusi ditujukan juga untuk membangun persepsi bahwa pelakunya adalah pihak yang dominan dan kuat secara politik. Tentu persepsi bahwa pelaku persekusi secara politik dominan dan kuat itu belum tentu benar. Namun hal itu dibutuhkan untuk menunjukkan pengaruh politik dan meningkatkan dukungan dari mereka yang belum mengkonfirmasi keberpihakannya kepada kelompok tersebut.
Pasti, faktor penting yang bisa mendukung suburnya persekusi adalah ketidakstabilan politik dan pembiaran. Ekspose yang luas dan pembiaran terhadap persekusi akan menjadi kombinasi yang bisa mematikan.
Kita tahu belakangan muncul sejumlah seruan di tengah masyarakat untuk menggalang perlawanan terhadap persekusi. Perlawanan terhadap persekusi tidak bisa diserahkan melulu kepada masyarakat. Negara harus turun tangan untuk menghindarkan gesekan horisontal di masyarakat kita.
Langkah polisi yang cepat dalam menangani persekusi patut diapresiasi. Begitu juga kebijakan Kapolri untuk menempatkan personil yang tangguh dan tegas di lapangan adalah langkah yang tepat dalam situasi ini.
Persekusi harus dieliminasi segera. Hal itu perlu dilakukan untuk meruntuhkan ilusi seolah-olah negara sedang tidak terkendali; seolah-olah satu pihak boleh mengangkangi pihak lain di luar proses hukum.
Melawan persekusi adalah bagian dari upaya kita agar tidak kehilangan martabat sebagai makhluk beradab dan berbudaya.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/melawan-persekusi